Laporan tahunan Bank Dunia tentang ekonomi Indonesia bersifat rutin dan selalu digunakan untuk dua maksud. Pertama, untuk menunjang rencana pinjaman luar negeri Indonesia. Kedua, menilai situasi ekonomi Indonesia dalam pandangan Bank Dunia. Tahun ini laporan itu mempunyai arti khusus sehubungan dengan bubarnya IGGI. Bulan depan sebuah badan baru CGI (Colsultative Group on Indonesia) di bawah pimpinan Bank Dunia akan bersidang di Paris. Dengan bergantinya kepemimpinan sidang dari Belanda ke Bank Dunia akan semakin menempatkan Bank Dunia pada posisi yang lebih sentral. Jadi laporan Bank Dunia tahun ini yang berjudul "Indonesia: Pertumbuhan, Prasarana, dan Sumber Daya Manusia," akan mempunyai arti yang lebih penting dari sebelumnya, termasuk laporan tahun lalu yang bertema pengembangan sektor swasta. Ada baiknya ulasan ini diawali dengan jumlah bantuan luar negeri yang direkomendasikan Bank Dunia, yang secara langsung berpengaruh pada situasi anggaran dan neraca pembayaran luar negeri. Bank Dunia merekomendasikan pinjaman luar negeri untuk tahun fiskal 1992/1993 sebesar US$ 4,3 milyar, US$ 0,9 milyar bersifat fast disbursed, atau cepat bisa dicairkan. Indonesia secara keseluruhan membutuhkan total sebesar US$ 4,8 milyar, sama dengan tahun anggaran 1991/1992. Kekhawatiran Bank Dunia yang menonjol tampaknya tertuju pada stabilitas neraca pembayaran, di mana neraca transaksi berjalan menjadi US$ 4,5 milyar pada 1991/1992, atau 4,3% dari PDB (Produksi Domestik Bruto). Bank Dunia bahkan memperkirakan kalaupun bantuan luar negeri sepenuhnya bisa dicapai sesuai dengan rekomendasi, defisit neraca transaksi berjalan untuk 1992/1993 tetap bercokol pada jumlah US $4,5 milyar. Sumber masalah neraca pembayaran yang terbesar adalah kondisi utang luar negeri Indonesia sendiri. Utang jangka pendek, menengah, dan panjang berjumlah US$ 78 milyar, hampir 40% lebih tinggi dari situasi dua setengah tahun yang lalu. Bila tahun 1990/1991 pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri di sekitar US$ 10 milyar, maka mulai 1995/1996 ratarata pembayaran utang akan mencapai US$ 15,4 milyar hingga tahun 2000. Apa implikasi utang Indonesia bagi ekonomi kita? Bila dengan beban yang sekarang saja hampir separuh anggaran pengeluaran rutin harus dialokasikan untuk bayar utang, maka dapat dibayangkan menipisnya tabungan Pemerintah di masa depan. Apalagi bila di masa menengah kita akan lebih sulit memperoleh utangutang baru. Di sini terasa betapa situasi utang kurang "serasi" dengan proyeksi Bank Dunia yang memperkirakan Indonesia mampu mencapai US$ 1.000 pendapatan per kapita di tahun 2000. Ada yang mengganggu proyeksi Bank Dunia. Bagaimana memperoleh utang di masa depan untuk mencapai keseimbangan eksternal di dekade ini? Peningkatan ekspor nonmigas, peningkatan penerimaan pajak, serta pertumbuhan ekonomi setinggi 67% di tahuntahun mendatang, menurut saya, tetap tidak bisa menutupi keseimbangan eksternal yang bersumber dari pembayaran utang. Meskipun mobilisasi dana dalam negeri dan peningkatan modal asing berlangsung, sulit membantah bahwa ketergantungan pada utang baru bersifat hampir mutlak. Jawaban lain yang hingga kini enggan kita jawab adalah satu kunci kemungkinan perbaikan posisi eksternal. Ini mengubah posisi "The Good Boy" yang selama ini kita jalankan tanpa menjadikan diri kita sebagai "The Bad Boy". Utang suatu negara terhadap negara lain dapat dianalogikan dengan utang nasabah kepada bank yang memberi pinjaman. Mexico, misalnya, bukanlah "The Bad Boy" ketika rencana Brady dilaksanakan. Ini memungkinkan negara itu, khususnya pihak swastanya, "menarik napas" dan kemudian bertumbuh kembali dan tampil secara terhormat di masyarakat kapital dunia. Kendati dua setengah tahun terakhir utang swasta Indonesia melonjak hebat, sifat ofisial dari utang tetap menonjol. Penurunan tingkat bunga serta dan atau perpanjangan masa pembayaran (amortization) cicilan utang yang dihubungkan langsung dengan alokasi yang meningkat di program InpresInpres tidak akan memberatkan negara donor dan sekaligus memperluas program pemerataan yang sangat dibutuhkan Indonesia. Ada baiknya KTT NonBlok di Jakarta mengangkat masalah utang luar negeri sebagai isu penting yang memerlukan pengertian negara-negara industri. Laporan Bank Dunia memuat pertumbuhan 1991 yang tinggi yaitu 6,8% ini membuat pertumbuhan 1991 relatif cukup baik dibandingkan dengan 7,4% untuk 1989 dan 7,3% untuk 1990. Yang kurang dibahas dalam pertumbuhan 1991, yang banyak kalangan menyebutnya sebagai "lumayan tinggi", adalah arah pertumbuhan. Bila di tahun 1989 dan 1990 sektor pertanian bertambah 3,1% dan 2,3%, maka di kedua tahun itu sektor pertanian tetap meningkat secara per kapita. Tapi karena musim kering yang berkepanjangan pertumbuhan sektor pertanian di tahun 1991 adalah 0,9%. Artinya lebih dari separuh total angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian pendapatannya menurun sekitar 11,2% pada 1991. Bila arah pertumbuhan berbeda ini terjadi lagi di tahun 1992 (sektor manufaktur dan konstruksi di tahun 1991 bertambah 11.4% dan 11,5% berbanding sektor pertanian 0,9%) maka kesenjangan ekonomi akan semakin menajam pula. Dalam konteks demikian menjadi penting untuk membaca kritik Bank Dunia tahun ini. Selain memperkirakan terlalu besarnya "rente" yang dinikmati pengusaha hutan, Bank Dunia secara eksplisit mempermasalahkan tata niaga cengkeh dan jeruk serta larangan ekspor dan impor. Bila barubaru ini pemerintah mencabut larangan ekspor kayu dan rotan dan mengubahnya dengan tarif ekspor yang tinggi, maka keputusan ini belum sesuai dengan rekomendasi Bank Dunia yang paling tinggi hanya menyarankan 2025% tarif ekspor. Kayu dan rotan tarifnya mencapai ratusan persen. Bank Dunia juga mempersoalkan Mega Proyek kendati tidak secara eksplisit menyebut proyek Olefin. Tapi toh orang tahu, yang dimaksudkan proyek-proyek yang unaffordable adalah Olefin. Kesimpulannya? Dari segi kebijaksanaan, Indonesia belum pernah dinilai sekritis tahun ini. Dari sudut prospek pertemuan Paris, Indonesia agaknya dapat memperkirakan penerimaan utang baru yang sama dengan tahun lalu. Di pihak lain, posisi eksternal Indonesia betul-betul berada pada situasi yang cukup rawan. Sementara itu, aspek pemerataan belum membaik untuk tidak dikatakan memburuk pada 1991-1992. Deregulasi masih tetap semboyan dan sampai di mana ini bisa ditolerir pihak luar tanpa kita melaksanakannya secara nyata adalah teka-teki menarik untuk dijawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini