JARANG ada dokter seideal Dokter Sartika, yang siap mengabdikan ilmunya untuk masyarakat kecil di dusun. Ia ini ibarat sebatang lilin: menomorduakan memburu uang dan kesenangan untuk pribadi. Tapi itu cerita Sartika dalam serial sinetron yang ditayangkan di TVRI. Kenyataannya, selama ini banyak dokter yang enggan tinggal di daerah terpencil. Dengan bermacam cara mereka melakukan evakuasi, lalu memilih pindah ke daerah yang ramai. Bila gagal, mereka malah meninggalkan jabatannya sebagai dokter pemerintah. Itulah salah satu alasan Menteri Kesehatan Adhyatma menghadap Presiden Soeharto, Selasa pekan lalu. Adhyatma melaporkan pelaksanaan Keppres No. 37/1991, tentang penempatan dokter di daerah terpencil. Dalam Keppres ini sudah diatur pemberian rangsangan, di antaranya menaikkan gaji dari Rp 120.000 menjadi Rp 250.000 hingga Rp 800.000 sebulan. Kenaikan itu ternyata tak berarti. Sebab, masih ada dokter yang ogah ditempatkan di daerah, lalu mereka melakukan desersi, lari dari tugasnya. "Walau imbalannya sudah besar, mereka ada yang tidak mau ditempatkan di sana. Ini kebangetan," kata Adhyatma kepada wartawan. Karena itu, Presiden menginstruksikan, terhadap dokter yang desersi dikenakan sanksi, di antaranya tak diberi izin buka praktek. Selain itu, rumak sakit swasta dan pemerintah dilarang menerima bekas dokter desersi. Februari lalu sudah dikirim 1.000 dokter, di antaranya 573 yang ditempatkan di daerah terpencil dan udik. Hingga saat ini sudah 2.000 dokter baru yang dikirim ke daerah. April ini, dikirim lagi 987. Dan yang menunggu penempatannya sekitar 300 dokter. Dokter yang desersi itu tak disebut jumlahnya. "Pokoknya ada, meskipun cuma sebagian kecil," ujar Adhyatma. Sedangkan bagian personalia Departemen Kesehatan yang dihubungi wartawan TEMPO, Senin ini, menampik mengungkapkan angka tadi. Padahal, sebagian yang desersi itu, menurut Adhyatma, ada yang sudah menerima uang, surat keputusan, serta telah dilatih selama sepuluh hari. Dalam pada itu, datang pula komentar pihak rumah sakit yang sudah menerima instruksi tadi. Simaklah yang diutarakan Adi Surya Zein, Direktur RS Katarina, Kisaran, Sumatera Utara. "Namanya juga instruksi Bapak, jika tak dituruti bisa kualat," ujarnya. Menjadi dokter inpres adalah suatu keharusan bagi dokter yang ingin mengambil spesialis maupun pegawai negeri. Tapi tentang sanksi tak memberikan izin praktek terasa ganjil. "Sejak dulu sanksi itu ada, tapi tidak pernah dilaksanakan," ujar seorang dokter yang pernah tiga tahun bertugas di daerah terpencil. Apakah sanksi itu juga berlaku surut? Jika syarat itu berlaku, bakal banyak dokter pindah profesi, karena tidak boleh praktek lagi. Selain gaji, sebenarnya faktor apa lagi yang membuat dokter muda enggan ditempatkan di daerah terpencil? Mungkin pertanyaan ini perlu dijawab lebih dulu sebelum sanksi tadi dilaksanakan. Sebab, hampir semua dokter yang ditempatkan, menurut pemantauan TEMPO, umumnya setuju izin praktek itu dicabut. Tapi mereka juga mempertanyakan pengertian "desersi". Sebab, tidak tertutup kemungkinan yang menyebabkan mereka lari justru bukan terdorong oleh ulah sendiri, sebaliknya karena birokrasi dari pihak Pemerintah. Karena itu, sebelum sanksi dijalankan, mereka minta dilakukan penelitian yang cermat lebih dulu. Sudah ada contohnya. Misalnya Santosa, yang empat tahun tugas di udik Lombok. Alumnus FK Universitas Padjadjaran (1988) ini kini sedang mengambil spesialis penyakit kulit dan kelamin di FK Universitas Airlangga, Surabaya. Menurut dia, kesejahteraan yang tak memadai dan birokrasi penempatan yang semrawut adalah pemicu bagi dokter inpres untuk lari. Ia juga bercerita tentang pengalaman seorang temannya menunggu sebelas bulan untuk menikmati hasil keringatnya. "Setelah ia mengancam akan lari, baru ada kepastian gajinya turun," kata Santoso. Ternyata, bukan uang saja yang jadi kendala. Kurangnya hiburan dan bacaan (referensi) di daerah terpencil juga membuat seorang dokter merasa terkucil dan terbelakang. Akhirnya ia pilih lari dari tugas. Dan jika ada yang bertahan, toh si dokter bisa pula terkena stres. Inilah yang dialami Sawitri. Dokter yang bertugas di Sumandi, 200 kilometer dari Palembang, ini malah keguguran karena sulit beradaptasi dengan tempat tugas. "Hal seperti ini salah satu yang menyebabkan kita stres," ujarnya. Dan sejawatnya, Irsad Hutomo Mawardi, tidak betah karena sulit mencari teman selevel. Lain lagi Dahniar Lubis, 26 tahun, di Medan. Ia bertugas April ini, dan berharap ditempatkan di daerah kategori biasa, kendati rela menerima gaji sepertiga gaji dokter di daerah terpencil. "Biar gaji kecil, yang penting secara psikis saya tidak terancam," ujarnya. Bila Dahniar mengidamkan lokasi yang enak, bukan pula sedikit yang menerima ditempatkan di udik. Sebut saja dia itu Dokter Ahmad, yang baru lulus dari FK USU Medan. Karena kere, ia hanya mengandalkan gaji Rp 700.000 sebulan. Setelah selesai nanti, ia bercita-cita mengambil spesialisasi. "Habis, karena begitu syaratnya," katanya. Mungkin Ahmad termasuk mujur dibanding Dianingsih. Dokter yang ditempatkan di kepulauan terpencil, 700 kilometer dari ibu kota Kabupaten Tuwal, Maluku Tenggara ini meninggal dalam tugasnya, Maret tahun 1989. Ia dikabarkan diserang malaria. Pengorbanan apa lagi yang harus ia berikan? Maka, tak heran bila Dahniar Lubis berujar, "Saya tidak mengikuti jejak Dokter Sartika yang lahir dari imajinasi dan enak ditonton itu." Eh, betul juga. Bambang Aji dan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini