Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tiga dalam satu

Untuk mengatasi kepadatan lalu lintas di Jakarta, selain memberlakukan konsep "3 in 1" pada KPP, juga diujicobakan sistem park and ride dan car park. disediakan kendaraan umum yang aman dan nyaman.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UJI coba Kawasan Pembatasan Penumpang (KPP) yang populer dengan istilah "3 in 1" atau minimum 3 penumpang dalam 1 mobil pribadi di Jakarta, yang berlaku awal pekan ini, mengingatkan saya pada upaya pemerintah Kota Roma. Saat itu, Kota Roma sudah mengalami masalah kepadatan lalu lintas, sehingga muncul peraturan pembatasan lalu lintas kendaraan di dalam kota, dengan kekecualian chariots atau kendaraan pejabat pemerintah (baca buku Cities, Penguin Books, 1967). Permasalahan lalu lintas di kota-kota besar dewasa ini, tak terkecuali di Jakarta, sudah menjadi jauh lebih rumit dan musykil. Tidak hanya karena ukuran besaran kotanya yang berlipat ganda, tetapi juga oleh berbagai faktor lain. Misalnya pertarungan penggunaan lahan yang makin sengit, ketidakseimbangan ruang gerak kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, keberagaman selera penduduk kota terhadap aneka jenis kendaraan, rute, kenyamanan, dan biaya perjalanan. Terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah sikap para penentu kebijaksanaan kota yang tampak mendua. Di satu sisi tersirat keinginan mempromosikan peran transportasi masal untuk umum, di sisi lain kenyataannya yang dibangun adalah justru jalan tol, jalan layang, dan semacamnya, yang cenderung lebih memanjakan kendaraan pribadi. Dalam suatu kesempatan seminar tentang konservasi energi, seorang bekas tokoh puncak Ditjen Perhubungan Darat pernah melontarkan kekesalannya. Dikisahkannya bahwa hampir setiap rencana penggalakan penggunaan bus umum, selalu dimentahkan kembali akibat lobbying yang sangat kuat dari para pengusaha mobil. Mereka merasa terancam. Bila bus umum berhasil, berarti pemasaran produksi mobil mereka akan menurun drastis. Tidak heran bila kemudian Charles Abrams lantas menelurkan istilah perkosaan kota atau urban rape, dan John Ormsbee Simonds mengumandangkan sebutan "bunuh diri ekologis" terhadap kisahkisah tragis yang menimpa metropolitan di negara yang sedang berkembang. Pro dan kontra penerapan konsep "3 in 1" pada KPP di Jalan Thamrin, Sudirman, dan Gatot Subroto di Jakarta sudah mulai bergulir. Ini merupakan pertanda yang baik yang menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat. Saya sendiri berpendapat bahwa kota raya di Dunia Ketiga harus dilihat sebagai unsettled frontier yang sarat dengan ketidakpastian, ketidaktaatasasan, ketidakpuasan, kesemrawutan, dan kebingungan. Implikasinya, pemecahan inkremental berjangka pendek memang perlu dilakukan, namun seyogianya dipertautkan dengan upaya pencapaian tujuan jangka panjang yang menyeluruh. Istilah gagahnya adalah penyimakan ganda atau mixed scanning. Transportasi perkotaan pada hakikatnya bukan sekadar mewadahi dan menyalurkan gerak penduduk dan barang semata-mata, melainkan juga menyangkut organisasi spatial dari segenap kegiatan masyarakat kota. Tata guna lahan perkotaan yang semrawut, dengan pola pembangunan ala loncatan katak yang sporadis, tak pelak lagi merupakan biang masalah kekacauan sistem transportasinya. Demikian pula sebaliknya, perencanaan jaringan jalan baru yang tidak dilandasi penelitian yang mendalam tentang struktur kota akan berakibat terciptanya kota yang berantakan bentuk maupun wajah dan penampilannya. Dan harap dicamkan pula bahwa jalan tol dan jalan layang merupakan pelahap ruang yang serakah dan menyedot biaya yang tinggi. Di samping juga mengakibatkan tergusurnya sejumlah penduduk kota. Bukan perkara yang aneh manakala upaya-upaya pembenahan dan peremajaan kota yang mengibarkan panjipanji urban renewal acap kali dicerca dan dipelesetkan dengan predikat urban removal. Lantas, bagaimana langkah yang sepatutnya ditempuh untuk mengatasi musibah "perkosaan kota" tersebut? Sudah tentu kita tidak boleh menyerah begitu saja dan mengikuti nasihat orang yang terlalu pasrah pada nasibnya: "If you can't avoid rape, just lie down and enjoy it". Wah. Saya pikir, selain memberlakukan KPP, perlu diujicobakan pula berbagai alternatif lain. Misalnya pengaturan waktu (time budgetting atau flexitime) dengan selang perbedaan jam masuk dan pulang kantor, sekolah, perdagangan, dan lain-lain. Sistem park and ride pada kawasan pusat-pusat kegiatan kota yang ekstrapadat pantas pula diperkenalkan. Maksudnya, di kawasan tersebut yang boleh berkeliaran hanyalah bus atau kendaraan umum. Kendaraan pribadi diparkir pada suatu car park (bertingkat) di periferi kawasan yang bersangkutan. Untuk skala konurbasi antarkota seperti Jabotabek-Jagorawi, bisa digunakan konsep kiss and ride: istri atau anak mengantar kepala keluarga ke stasiun, diberi ciuman atau salam, dan sang bapak melanjutkan perjalanan ke tempat kerja dengan kereta api atau bus patas. Jenis kombinasi taksi minibus dengan kapasitas 612 orang penumpang dapat dioperasikan dengan sistem dialaride, menggunakan komunikasi telepon dan pembayaran secara patungan. Tentu saja semua itu menuntut tersedianya kendaraan umum yang nyaman, aman, dan terpercaya. Masyarakat harus betul-betul merasakan untungnya naik kendaraan umum ketimbang naik kendaraan pribadi. Berbagai cara yang disebut di atas termasuk kategori nututi layangan pedhot alias pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah yang telanjur muncul di lapangan. Agar bisa tuntas, secara konseptual perlu dirumuskan langkah yang bersifat holistikintegralistik dengan orientasi jauh ke depan. Yang paling menentukan, menurut saya, adalah penataan lahan perkotaan yang memungkinkan desentralisasi kegiatan dengan pola tata guna lahan campuran. Dengan sistem desentralisasi dan mixed land use semacam itu, orang dapat membiasakan diri untuk menggunakan berbagai ragam jenis transportasi. Tidak harus selalu menggunakan mobil pribadi. Analoginya adalah seperti orang yang memakai jenis pakaian yang berbeda untuk menghadiri peristiwa yang berbeda. Barangkali malah penggunaan kaki dan kereta angin dapat dibudayakan kembali, sebagai alat transpor klasik yang sangat murah, sehat, aman, hemat energi, dan tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga BBM. Dan mobil pun lantas tak lagi memperoleh peluang untuk memerkosa, apalagi membunuh kota-kota kita. * Guru besar FT Undip dan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Ja-Teng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus