Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tantangan tujuh puncak benua

Program besar Mapala Ui: tujuh puncak benua. Cartenz Pyramid, Kilimanjaro, Mckinley, Elbrus, Aconcagua, Vinson Massif, dan Everest. menaklukkan ke- tujuhnya, berarti menaklukkan semua puncak dunia.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata orang, mendaki tujuh puncak benua, yang punya ciri masing-masing, seperti mendaki semua gunung di dunia. Itulah program besar Mapala UI, yang harus dibayar mahal: dua anggotanya gugur di Aconcagua. ZAMAN Mount Everest sudah lewat. Para pendaki gunung kini belum cukup bangga bila sudah menaklukkan puncak tertinggi di Pegunungan Himalaya itu. Seiring dengan kemajuan teknologi dan kemampuan ekspedisi pendaki gunung, tantangan masa kini adalah tujuh puncak benua. Yang ingin direbut di zaman superkomputer adalah gelar the Seven Summit Climber. Tujuh puncak yang menjadi impian itu adalah Carstensz Pyramid (4.884 meter) di lempeng Benua Australia Kilimanjaro (5.895 meter) di Benua Afrika Mckinley (6.194 meter) di lempeng Benua Amerika Utara Elbrus (5.633 meter) di Benua Eropa Aconcagua (6.959 meter) di lempeng Benua Amerika Vinson Massif (4.897 meter) di Benua Antartika dan Everest (8.884 meter) di Benua Asia. Ceritanya, setelah Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay mencapai puncak Mount Everest pada tahun 1953, orang pun mulai bertanya, "Prestasi apa yang bisa dilakukan untuk melebihi ini?" Orang pun mulai melakukan pendakian dengan rute-rute sulit. Bahkan, ada usaha spektakuler, seperti pendakian Mount Everest secara solo oleh Reinhold Messner, tahun 1981. Lebih jauh lagi Messner juga mendaki 14 gunung zona kematian yang tingginya di atas 8.000 meter. Soalnya, meski gunung-gunung zona kematian lebih sulit didaki, letaknya dalam satu jajaran Pegunungan Himalaya. Lebih kurang tantangan yang mesti dihadapi di ke-14 puncak itu sama. Tujuh puncak benua, yang letaknya tersebar di seluruh benua, mempunyai keunikan masing-masing. Hingga bila dapat menaklukkan ketujuhnya, boleh dibilang menaklukkan semua puncak yang ada di dunia. "Orang bisa saja menjejak di Puncak Everest, puncak tertinggi di dunia, tapi belum tentu bisa menjejak di semua tujuh puncak benua," ujar Pat Morrow, pendaki dari Kanada, orang pertama yang bisa digelari the Seven Summit Climber itu. Kata orang, sumber kebanggaan ini sebenarnya sudah lama tertanam, yakni keyakinan bahwa bangsa-bangsa mengawali kemajuannya dengan semangat penjelajahan. Bagaimana bisa Edmund Hillary, warga negara Selandia Baru, diberi gelar Sir oleh Ratu Inggris jika kepeloporannya tak dianggap dapat mengangkat martabat Persemakmuran Inggris? Itu hanya sebuah contoh. Akan halnya Program Tujuh Puncak Benua Mapala UI, jujur saja, sebenarnya adalah proyek "kebetulan". Kebetulan Mapala UI telah mendaki Carstensz Pyramid (1973) dan Kilimanjaro (1985). Kebetulan pula pada tahun 1986 anggota Mapala UI yang mendampingi Pat Morrow menggenapi rangkaian Seven Summitnya di Carstensz Pyramid. Ini semua memotivasi pencetusan ekspedisi-ekspedisi berikutnya. Bila baru dua tahun kemudian ide Tujuh Puncak Benua tercetus, karena antara tahun 1986 dan 1988 Mapala UI seperti sedang mawas diri. Dua anggotanya, Budi Laksmono dan Tom Sukaryadi, tewas dalam ekspedisi arung jeram Sungai Alas, pertengahan Januari 1986. Trauma itu membekas pada para anggota Mapala UI, seperti ketika mereka kehilangan Hartono Basuki di Puncak Carstensz, atau Soe Hok Gie di Gunung Semeru. Baru pada pertengahan tahun 1988 salah satu kelompok pencinta alam tertua ini mulai bergiat kembali. Ketika itu Mapala UI mendaki Chimborazo di pegunungan Andes, melengkapi pendakian tiga gunung salju katulistiwa. Ketika ide Program Tujuh Puncak Benua tercetus, segera terpikir memilih pendaki-pendaki profesional. Selain memerlukan dana yang besar, kesulitan medan yang berat menuntut keprofesionalan. Untuk membandingkan tuntutan masa kini dan masa lalu, sambil bercanda seorang senior Mapala UI berkomentar, "Kita dulu kalau mau naik gunung kumpulnya di Gambir. Sekarang kumpulnya di Cengkareng, di terminal luar negeri lagi." Gambir, itulah stasiun kereta api, dan Cengkareng, maksudnya adalah Bandara Sukarno-Hatta. Sebenarnya tak hanya soal tempat berkumpul. Zaman Mapala UI pertama kali ke Carstensz, tahun 1972, dibutuhkan waktu berbulan-bulan dari persiapan sampai pendakiannya itu sendiri. Beberapa pendaki drop out begitu selesai ekspedisi. Peralatan yang dipakai pun masih sangat sederhana. Cakar es, misalnya, harus dibuat sendiri di tukang las. "Beratnya minta ampun," kenang Rudy Badil salah seorang anggota ekspedisi saat itu. Dalam Program Puncak Tujuh Benua, Mapala UI tentulah tak "seprimitif" tahun 1970-an itu. Untuk merealisasikan Program Puncak Tujuh Benua dibentuk Badan Khusus Ekspedisi. Hasilnya McKinley, puncak di Amerika Utara itu, ditaklukkan tim Mapala UI yang dipimpin Norman Edwin dan beranggotakan Didiek, Deddy, dan Sute. Pengalaman pendakian yang baru, kata mereka, karena harus mengatur jam tubuh untuk menyesuaikan dengan matahari yang hampir 24 jam terus-menerus menerangi wilayah Kutub Utara itu. "Ini adalah pendakian insomnia alias susah tidur," kata beberapa anggota. Semangat ketika itu benar-benar meriah. Sampai angin kutub yang kencang bertiup diibaratkan seperti perempuan nyinyir dan dipanggil dengan sebutan "Mbak Windy". Dan seperti ingin menyatakan keakraban mereka dengan alam, sempat-sempatnya mereka berpose telanjang dada di gunung es itu. Lalu Elbrus, puncak di Benua Eropa itu, dikunjungi Mapala UI tahun 1990. Di sini hanya dua dari empat pendaki yang berhasil mencapai puncak. Dua yang lain terteror penyakit ketinggian. Bahkan, Norman Edwin sempat agak parah terserang pulmonari odema, yakni semacam paru-paru basah yang diakibatkan oleh udara dingin, kering, dan tipis, sehingga napas sesak dan bila parah dapat muntah darah. Odema paru yang menimpa Norman itu sempat menjadi pertanyaan waktu akan berangkat ke Aconcagua. Setelah diperiksa berulang kali oleh bagian faal Fakuktas Kedokteran UI, semuanya menjadi yakin bahwa kondisi paru-paru Norman telah pulih. Sebenarnya, rencana mendaki Aconcagua bukanlah rencana tunggal. Terpikir kala itu untuk sekaligus menaklukkan Vinson Massif, tapi rencana ini ditunda karena dana yang diharapkan tak terkumpul. Biaya hanya cukup untuk mendaki Aconcagua. Namun, biaya dapat dicari, keterampilan dan ketahanan tubuh bisa dilatih, nasib pendaki siapa tahu. Nun di Amerika Selatan masih menunggu Aconcagua dan Vinson Massif, dan di Himalaya puncak Everest juga melambai-lambai Mapala UI untuk melengkapi Program Tujuh Puncak Benuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus