Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nomor

Petani jeruk di kab. sambas resah. harga dasar yang ditetapkan pt bima citra mandiri terlalu rendah. tahun ini diperkirakan akan panen raya. bila jeruk tak diangkut, maka akan jadi sampah.

25 April 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampah di kabupaten Sambas bukan cuma kotoran yang terbawa arus sungai. Setiap panen raya, pada pertengahan tahun, berpuluh ton jeruk yang tak laku membusuk di pinggir jalan. PT Bina Citra Mandiri berjanji mengubah nasib petani sekaligus mestabilkan harga dengan formula "enam-empat-dua-satu": Rp 600 per kg untuk jeruk kelas A dan B, Rp 4000 kg untuk kelas E. Namun, sebagian petani menganggap harga dasar itu terlalu rendah, apalagi panen tahun ini diperkirakan sekitar 120 ribu ton. Lainnya bosan dengan janji - dulu tata niaga jeruk bergiliran dipegang Pusat Koperasi Unit Desa, Asosiasi pedagang jeruk Kalimantan Barat, dan PT Humpuss. Hasilnya nol. Tuduhan seorang petani: "Waktu paceklik mereka mau menolong, tapi saat panen raya semua lari." DI tengah hari bolong, bermimpilah janda Bong. Ia bermimpi 430 pohon jeruknya berbuah serentak. Hijau, ranum, segar, berukuran raksasa. Ia bermimpi kedatangan saudagar dari Jakarta yang menawarkan berkarungkarung uang untuk jeruknya yang besar-besar itu. Ia ingat kata-kata perpisahan tuan yang necis itu sebelum terbang naik pesawat emas: "Kalau kamu mau kaya, pasang SDSB." Janda Bong mengangguk. Tapi berapa nomornya? "Enam, empat, dua, satu," teriak si ndoro dari atas langit. Janda Bong tersentak. Lengannya digigit nyamuk Sambas, nun di Kalimantan Barat, yang terkenal ganas. Di kebun satu hektare yang disewanya seharga dua ribu kilo padi itu, kedua putranya baru saja selesai memetik jeruk sebanyak tiga keranjang. Pedas di tangannya tak juga hilang. Tak heran, nyamuk tadi penjelmaan dewa jeruk dan gigitannya dimaksudkan untuk membangunkan petani bodoh macam janda Bong. Tapi dasar bodoh, ia terus saja bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu kembali dengan si tuan dari Jakarta. "Gimana, betul nggak ramalan saya?" tegurnya. Janda Bong, hormat, mengangguk saja. "Alhamdulillah," ujarnya, "saya ini memang embahnya nomor. Kemarin ada lulusan SD saya kasih nomor 10.000.000.000, sekarang ia bangun pabrik. Untuk kamu saya kasih nomor 1993, sebab . . .." Sayangnya, belum selesai si embah menjelaskan, lengan janda Bong kembali digigit nyamuk. Malam mulai turun. Bau jeruk menusuk hidungnya. Satu hari lagi, pikirnya. Bila kuli angkut dari Tempat Pengumpulan Koperasi tak datang, lusa jeruk-jeruknya tinggal sampah. Esai Foto: Sony Soemarsono Teks: Yudhi Soerjoatmodjo, Sony Soemarsono, dan Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus