KUNJUNGAN ke dasar laut bukan hal baru bagi Patabone, seorang
penyelam profesional. Bermukim di Merak, Jawa Barat, dan 25
tahun mencicipi asinnya air laut, lelaki Bugis ini telah bersatu
dengan profesi paling berbahaya, tapi unik. Dibantu alat-alat
Selam sederhana, seperti baju selam karet, sepatu katak, masker,
tabung zat asam dan sebuah kompresor, di masa jayanya ia selalu
siap terjun ke laut tanpa dihantui rasa takut.
Yang penting bagi Patabone, 51 tahun, di saat-saat seperti itu
adalah menyelam dapat menghasilkan uang. Berbahaya atau tidak,
soal kedua. "Alhamdulillah, selama ini saya terhindar dari maut
yang selalu mengancam," ungkap Patabone. Karena, menurut dia,
ada dua bahaya selalu menunggu: diterkam makhluk laut atau
kehabisan zat asam.
Patabone dengan Kelompok Penyelam 305 memilih bidang penuh
bahaya ini sebagai pemburu harta karun di dasar laut. Untuk itu
mereka mengandalkan bakat alam dan pengalaman. Pengetahuan
nautika mereka timba langsung dari pekerjaan itu yang kemudian
diwariskan pada generasi berikut.
Itulah yang dilakukan Patabone kepada Udin, 29 tahun, anak
lelakinya yang kini dipercaya memimpin usaha Kelompok Penyelam
305. Sebagai eks perwira AL, Patabone sebenarnya telah berusaha
banyak untuk mengukuhkan kelompok ini. Terutama karena didorong
kenyataan pahit hasil yang diperoleh dengan susah-payah sering
disira pihak berwajib, dengan tuduhan beroperasi secara liar. Ia
pun berusaha mendapatkan izin resmi yang akhirnya diberikan atas
nama usaha ekspedisi Harta Pusaka Indonesia (Puhara),
berkedudukan di Tanjungpriok, Jakarta.
Namun status resmi itu tidak menambah rezeki mereka. Sebelumnya
mereka lebih beruntung, sehari dapat mengangkut 2 ton tembaga
dan kuningan yang tiap ton laku dijual Rp 300 ribu. Bekerjasama
dengan Puhara sebuah sasaran yang mereka anggap paling empuk,
seperti kapal Teluk Yahya yang tenggelam dekat P. Patondang di
perairan P. Seribu, justru berbuntut ricuh. Kapal itu banyak
membawa kendaraan bermotor, mesin disel dan barang kelontong
Karam di dasar laut tenang dengan kedalaman tidak lebih dari 25
m, Teluk Yahya merupakan harta karun yang tak boleh dilewatkan.
Bermula, seorang tamu datang dari Jakarta, membawa selembar
surat kuasa dari tiga perusahaan asuransi. Patabone mendapat
tawaran 30% dari harta karun kapal Teluk Yahya dan syarat itu
diterimanya. Dalam satu bulan operasi penyelaman, Kelompok
Penyelam 305 berhasil mengangkat 40% dari muatan kapal dan
langsung dibawa ke Merak. Tapi kemudian, entah bagaimana, Udin
dkk kecewa tatkala 16 sepeda motor bagiannya, disita polisi
Jakarta.
Lebih dari itu ia dituduh pihak asuransi telah mencuri milik
orang lain dan menjualnya di Merak. Memang diakui Udin, ada
sepeda-motor yang dilego seharga Rp 150.000, tapi barang itu
dianggapnya sudah sah kepunyaannya sesuai dengan perjanjian.
"Selama operasi kan kami perlu makan," katanya pahit.
Kelompok 305 pernah mendapat tawaran membongkar harta karun yang
terpendam di perairan Cilacap. Setelah .liadakan pembicaraan
dengan Muspida setempat, dicapailah kata mufakat tentang
pembagian hasilnya kelak. Tapi pada saat operasi penyelaman
dilancarkan, seluruh nelayan Cilacap protes, mengklaim bahwa
harta karun yang ada di situ sebagai milik mereka. Tak ada jalan
lain: akhirnya semua orang boleh terjun mengambilnya.
Diperkirakan ada 200 orang berburu harta di perairan sana.
Karena tidak banyak yang menguasai teknik menyelam, beberapa
korban jatuh sementara Udin dkk selamat tidak kurang suatu apa.
Hasil yang diperoleh juga lumayan. Ada puluhan potong timah
putih mereka dapat--per potong beratnya 30 kg, masing-masing
laku dijual Rp 300.000.
Kerja keras memburu harta karun yang penuh tantangan itu, tidak
dengan sendirinya membuat orang jadi kaya raya. Patabone merasa
pernah menggenggam uang puluhan juta rupiah, hasil penyelaman
harta karun dari sebuah kapal perang Belanda yang karam di
perairan P. Sibeku, Lampung. Tidak itu saja. Ia juga sudah
menguras harta pada beberapa kapal karam lainnya di lepas pantai
P. Seribu, P. Tarakan, P. Panjang dan P. Lima. Tapi lantaran
senang berfoya-foya, seperti yang diakui Patabone, uang menguap
tanpa bekas.
Sesudah mengundurkan diri sebagai penyelam sejak 1975, di
samping dua istri, lima anak dan sembilan cucu, Patabone
memiliki sebuah kapal ekstra kapasitas 50 ton, dua kapal motor
kapasitas 5 ton dan sebuah hotel "Sulawesi" berkamar 34 di
Merak. "Saya juga heran, kenapa uang yang saya peroleh dari
laut itu macam air saja layaknya. Mengocor begitu . . . " kata
Patabone sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Yang pasti tidak akan habis tentu saja pengalaman-pengalaman
mereka di dasar laut. Udin, misalnya yakin sekali, bahwa setiap
kapal karam pasti ditunggui seekor ikan besar. Sekali waktu ia
memang pernah menemukan ikan sebesar mobil di Kepulauan Seribu,
ia tak dapat mengelak. Tapi ternyata ikan bisa juga diakali.
Dengan membuat gelembung-gelembung udara, Udin berhasil membuat
ikan itu ketakutan, lalu menyingkir. Namun, kata Udin, ikan
jenis hiu, cucut dan balong yang terkenal buas, tidak mempan
ditakut-takuti seperti itu.
Bahaya lain yang juga bisa mengancam keselamatan penyelam ialah
kegembiraan meluap bila menemukan harta karun. Karena itu Udin
berpesan, "jangan lupa daratan, agar alat pernapasan yang ada di
mulut tetap terkontrol." Di samping itu, pesan Udin lagi, masih
ada satu pantangan lain jangan berniat membunuh makhluk laut.
"Sebab jika kita punya niat jahat, ikan pun curiga,?" kata Udin
mengingatkan.
Besi Berani
Untuk mencari lokasi bangkai kapal yang diduga menyimpan harta
karun Udin dkk tidak menggunakan detektor tapi cukup dengan besi
berani. Terikat pada kawat baja, besi berani itu diulur sampai
menyentuh dasar laut, kemudian ditarik dengan kapal motor hilir
mudik. Nah, bila tersentuh badan kapal, pasti besi berani akan
melekat -- itulah sasaran.
Tapi jika badan kapal terbuat dari kayu, menurut Mohamad Said,
wakil pimpinan Kelompok 305 itu, "caranya hampir sama, tapi
dengan jangkar." Kalau angkar tersangkut, potongan kayu yang
rapuh terbawa ke atas. Ini petunjuk bahwa ada bangkai kapal di
bawah sana. Tapi tak pula jarang, jangkar tersebut tersangkut di
batu karang. Ini tentu merepotkan.
Bahan peledak juga tak terpisahkan dari kegiatan memburu harta.
Tanpa ini para penyelam tak mungkin menerobos ke dalam ruangan
kapal yang karam. Caranya sederhana. Dinamit ditempelkan ke
bagian kapal yang akan dihancurkan, disambung dengan kabel ke
kapal motor. Kabel ini direntangkan beberapa ratus meter, sampai
batas yang dianggap aman dari ledakan. Kabel disulut dengan
baterai dan terjadilah ledakan. Sesudah itu para penyelam dengan
mudah mengangkat potongan logam, sepertl kuningan, tembaga dan
besi tua yang menurut Patabone minimal ada 10 ton di tiap badan
kapal. Untuk satu operasi sedikitnya diperlukan satu atau dua
ton bahan peledak, yang secara resmi mereka pesan pada pabrik
dinamit di Tasikmalaya.
Yang sulit mereka dapatkan adalah izin menyelam dari Direktorat
Jasa Maritim. Menurut Patabone untuk itu mereka harus menyetor
Rp 10 juta sebagai jaminan, plus Rp 120.000 untuk izin setahun.
Belum lagi syarat lain: 40% dari logam mulia yang diperoleh
harus dlserahkan kepada negara. Proses mengurus izin itu paling
cepat menelan waktu satu bulan. Tak heran bila Kelompok 305,
diam-diam melakukan penyelaman liar. Namun pihak yang berwajib
toh selalu jeli. Hasil perburuan yang didapat dengan susah-payah
itu sering juga disita dan untuk menebusnya Patabone terpaksa
memberi imbalan.
Telur Madu
Tak lama setelah Tampomas II tenggelam di perairan Masalembo,
ada utusan yang mengaku dari Ditjen Perla, menawarkan kerjasama
mengangkat sejumlah mayat dan barang yang tenggelarn di sana.
Upahnya cukup tinggi. Tapi Patabone menolak. "Soalnya saya
mengenal tempat itu berbahaya dan angker," kata lelaki setengah
baya berkulit kehitaman dan berwajah keras itu. Menurut
perkiraannya, di kawasan tersebut banyak ikan buas berkeliaran,
terlebih dengan banyaknya korban manusia. "Ikan sudah pasti '
menyerang, karena dirangsang bau bangkai," katanya.
Harta karun di dasar laut, agaknya masih bertebaran di seluruh
wilayah perairan Nusantara. Tapi ini bukan jaminan bahwa
Kelompok 305 dapat berburu harta sepanjang tahun. Pada musim
menganggur, Lewan, 22 tahun, anggota termuda kelompok itu, tetap
akan terjun ke laut untuk mengerjakan dermaga beton Srengsem,
memasang pipa bawah air, ataupun sekedar menangkap ikan.
Penyelam muda ini mengaku sanggup menyelam tanpa zat asam selama
20 menit di kedalaman 20 m. Tapi dengan alat selam ia bisa
bertahan 2 - 3 jam. Padahal menurut seorang pejabat di Jasa
Maritim, tanpa alat selam di kedalaman 5 meter saja bisa
membahayakan. Ada kemungkinan keluar darah dari hidung dan
telinga. "Itu sudah biasa, tidak apa-apa," ujar Patabone si
penyelam tua. Semua anggota Kelompok 305, tiap minggu diperiksa
dokter Puskesmas dan kesehatan mereka memuaskan. "Yang penting
makan teratur, tidur cukup. Jangan lupa telur, jangan lupa
madu," pesan Patabone, penyelam veteran asal Bone itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini