Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pemburu-pemburu di dasar laut

Patabone (51 th) dengan kelompok penyelam 305 memilih bidang penuh bahaya ini sebagai pemburu harta karun di dasar laut. mereka hanya mengandalkan bakat alam dan pengalaman.

28 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNJUNGAN ke dasar laut bukan hal baru bagi Patabone, seorang penyelam profesional. Bermukim di Merak, Jawa Barat, dan 25 tahun mencicipi asinnya air laut, lelaki Bugis ini telah bersatu dengan profesi paling berbahaya, tapi unik. Dibantu alat-alat Selam sederhana, seperti baju selam karet, sepatu katak, masker, tabung zat asam dan sebuah kompresor, di masa jayanya ia selalu siap terjun ke laut tanpa dihantui rasa takut. Yang penting bagi Patabone, 51 tahun, di saat-saat seperti itu adalah menyelam dapat menghasilkan uang. Berbahaya atau tidak, soal kedua. "Alhamdulillah, selama ini saya terhindar dari maut yang selalu mengancam," ungkap Patabone. Karena, menurut dia, ada dua bahaya selalu menunggu: diterkam makhluk laut atau kehabisan zat asam. Patabone dengan Kelompok Penyelam 305 memilih bidang penuh bahaya ini sebagai pemburu harta karun di dasar laut. Untuk itu mereka mengandalkan bakat alam dan pengalaman. Pengetahuan nautika mereka timba langsung dari pekerjaan itu yang kemudian diwariskan pada generasi berikut. Itulah yang dilakukan Patabone kepada Udin, 29 tahun, anak lelakinya yang kini dipercaya memimpin usaha Kelompok Penyelam 305. Sebagai eks perwira AL, Patabone sebenarnya telah berusaha banyak untuk mengukuhkan kelompok ini. Terutama karena didorong kenyataan pahit hasil yang diperoleh dengan susah-payah sering disira pihak berwajib, dengan tuduhan beroperasi secara liar. Ia pun berusaha mendapatkan izin resmi yang akhirnya diberikan atas nama usaha ekspedisi Harta Pusaka Indonesia (Puhara), berkedudukan di Tanjungpriok, Jakarta. Namun status resmi itu tidak menambah rezeki mereka. Sebelumnya mereka lebih beruntung, sehari dapat mengangkut 2 ton tembaga dan kuningan yang tiap ton laku dijual Rp 300 ribu. Bekerjasama dengan Puhara sebuah sasaran yang mereka anggap paling empuk, seperti kapal Teluk Yahya yang tenggelam dekat P. Patondang di perairan P. Seribu, justru berbuntut ricuh. Kapal itu banyak membawa kendaraan bermotor, mesin disel dan barang kelontong Karam di dasar laut tenang dengan kedalaman tidak lebih dari 25 m, Teluk Yahya merupakan harta karun yang tak boleh dilewatkan. Bermula, seorang tamu datang dari Jakarta, membawa selembar surat kuasa dari tiga perusahaan asuransi. Patabone mendapat tawaran 30% dari harta karun kapal Teluk Yahya dan syarat itu diterimanya. Dalam satu bulan operasi penyelaman, Kelompok Penyelam 305 berhasil mengangkat 40% dari muatan kapal dan langsung dibawa ke Merak. Tapi kemudian, entah bagaimana, Udin dkk kecewa tatkala 16 sepeda motor bagiannya, disita polisi Jakarta. Lebih dari itu ia dituduh pihak asuransi telah mencuri milik orang lain dan menjualnya di Merak. Memang diakui Udin, ada sepeda-motor yang dilego seharga Rp 150.000, tapi barang itu dianggapnya sudah sah kepunyaannya sesuai dengan perjanjian. "Selama operasi kan kami perlu makan," katanya pahit. Kelompok 305 pernah mendapat tawaran membongkar harta karun yang terpendam di perairan Cilacap. Setelah .liadakan pembicaraan dengan Muspida setempat, dicapailah kata mufakat tentang pembagian hasilnya kelak. Tapi pada saat operasi penyelaman dilancarkan, seluruh nelayan Cilacap protes, mengklaim bahwa harta karun yang ada di situ sebagai milik mereka. Tak ada jalan lain: akhirnya semua orang boleh terjun mengambilnya. Diperkirakan ada 200 orang berburu harta di perairan sana. Karena tidak banyak yang menguasai teknik menyelam, beberapa korban jatuh sementara Udin dkk selamat tidak kurang suatu apa. Hasil yang diperoleh juga lumayan. Ada puluhan potong timah putih mereka dapat--per potong beratnya 30 kg, masing-masing laku dijual Rp 300.000. Kerja keras memburu harta karun yang penuh tantangan itu, tidak dengan sendirinya membuat orang jadi kaya raya. Patabone merasa pernah menggenggam uang puluhan juta rupiah, hasil penyelaman harta karun dari sebuah kapal perang Belanda yang karam di perairan P. Sibeku, Lampung. Tidak itu saja. Ia juga sudah menguras harta pada beberapa kapal karam lainnya di lepas pantai P. Seribu, P. Tarakan, P. Panjang dan P. Lima. Tapi lantaran senang berfoya-foya, seperti yang diakui Patabone, uang menguap tanpa bekas. Sesudah mengundurkan diri sebagai penyelam sejak 1975, di samping dua istri, lima anak dan sembilan cucu, Patabone memiliki sebuah kapal ekstra kapasitas 50 ton, dua kapal motor kapasitas 5 ton dan sebuah hotel "Sulawesi" berkamar 34 di Merak. "Saya juga heran, kenapa uang yang saya peroleh dari laut itu macam air saja layaknya. Mengocor begitu . . . " kata Patabone sambil menggeleng-gelengkan kepala. Yang pasti tidak akan habis tentu saja pengalaman-pengalaman mereka di dasar laut. Udin, misalnya yakin sekali, bahwa setiap kapal karam pasti ditunggui seekor ikan besar. Sekali waktu ia memang pernah menemukan ikan sebesar mobil di Kepulauan Seribu, ia tak dapat mengelak. Tapi ternyata ikan bisa juga diakali. Dengan membuat gelembung-gelembung udara, Udin berhasil membuat ikan itu ketakutan, lalu menyingkir. Namun, kata Udin, ikan jenis hiu, cucut dan balong yang terkenal buas, tidak mempan ditakut-takuti seperti itu. Bahaya lain yang juga bisa mengancam keselamatan penyelam ialah kegembiraan meluap bila menemukan harta karun. Karena itu Udin berpesan, "jangan lupa daratan, agar alat pernapasan yang ada di mulut tetap terkontrol." Di samping itu, pesan Udin lagi, masih ada satu pantangan lain jangan berniat membunuh makhluk laut. "Sebab jika kita punya niat jahat, ikan pun curiga,?" kata Udin mengingatkan. Besi Berani Untuk mencari lokasi bangkai kapal yang diduga menyimpan harta karun Udin dkk tidak menggunakan detektor tapi cukup dengan besi berani. Terikat pada kawat baja, besi berani itu diulur sampai menyentuh dasar laut, kemudian ditarik dengan kapal motor hilir mudik. Nah, bila tersentuh badan kapal, pasti besi berani akan melekat -- itulah sasaran. Tapi jika badan kapal terbuat dari kayu, menurut Mohamad Said, wakil pimpinan Kelompok 305 itu, "caranya hampir sama, tapi dengan jangkar." Kalau angkar tersangkut, potongan kayu yang rapuh terbawa ke atas. Ini petunjuk bahwa ada bangkai kapal di bawah sana. Tapi tak pula jarang, jangkar tersebut tersangkut di batu karang. Ini tentu merepotkan. Bahan peledak juga tak terpisahkan dari kegiatan memburu harta. Tanpa ini para penyelam tak mungkin menerobos ke dalam ruangan kapal yang karam. Caranya sederhana. Dinamit ditempelkan ke bagian kapal yang akan dihancurkan, disambung dengan kabel ke kapal motor. Kabel ini direntangkan beberapa ratus meter, sampai batas yang dianggap aman dari ledakan. Kabel disulut dengan baterai dan terjadilah ledakan. Sesudah itu para penyelam dengan mudah mengangkat potongan logam, sepertl kuningan, tembaga dan besi tua yang menurut Patabone minimal ada 10 ton di tiap badan kapal. Untuk satu operasi sedikitnya diperlukan satu atau dua ton bahan peledak, yang secara resmi mereka pesan pada pabrik dinamit di Tasikmalaya. Yang sulit mereka dapatkan adalah izin menyelam dari Direktorat Jasa Maritim. Menurut Patabone untuk itu mereka harus menyetor Rp 10 juta sebagai jaminan, plus Rp 120.000 untuk izin setahun. Belum lagi syarat lain: 40% dari logam mulia yang diperoleh harus dlserahkan kepada negara. Proses mengurus izin itu paling cepat menelan waktu satu bulan. Tak heran bila Kelompok 305, diam-diam melakukan penyelaman liar. Namun pihak yang berwajib toh selalu jeli. Hasil perburuan yang didapat dengan susah-payah itu sering juga disita dan untuk menebusnya Patabone terpaksa memberi imbalan. Telur Madu Tak lama setelah Tampomas II tenggelam di perairan Masalembo, ada utusan yang mengaku dari Ditjen Perla, menawarkan kerjasama mengangkat sejumlah mayat dan barang yang tenggelarn di sana. Upahnya cukup tinggi. Tapi Patabone menolak. "Soalnya saya mengenal tempat itu berbahaya dan angker," kata lelaki setengah baya berkulit kehitaman dan berwajah keras itu. Menurut perkiraannya, di kawasan tersebut banyak ikan buas berkeliaran, terlebih dengan banyaknya korban manusia. "Ikan sudah pasti ' menyerang, karena dirangsang bau bangkai," katanya. Harta karun di dasar laut, agaknya masih bertebaran di seluruh wilayah perairan Nusantara. Tapi ini bukan jaminan bahwa Kelompok 305 dapat berburu harta sepanjang tahun. Pada musim menganggur, Lewan, 22 tahun, anggota termuda kelompok itu, tetap akan terjun ke laut untuk mengerjakan dermaga beton Srengsem, memasang pipa bawah air, ataupun sekedar menangkap ikan. Penyelam muda ini mengaku sanggup menyelam tanpa zat asam selama 20 menit di kedalaman 20 m. Tapi dengan alat selam ia bisa bertahan 2 - 3 jam. Padahal menurut seorang pejabat di Jasa Maritim, tanpa alat selam di kedalaman 5 meter saja bisa membahayakan. Ada kemungkinan keluar darah dari hidung dan telinga. "Itu sudah biasa, tidak apa-apa," ujar Patabone si penyelam tua. Semua anggota Kelompok 305, tiap minggu diperiksa dokter Puskesmas dan kesehatan mereka memuaskan. "Yang penting makan teratur, tidur cukup. Jangan lupa telur, jangan lupa madu," pesan Patabone, penyelam veteran asal Bone itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus