KONGRES pertama para tuan dan nona muda tahun 1926 sungguh
merupakan kongres para tuan di negeri sendiri. Tak ada rasa
risi, ketika mereka mulai duduk dan untuk pertama kalinya
berkata-kata sebagai tuan yang merasa punya hak menentukan
sejarah. Meski di kala itu tak nampak pertanda bahwa pemerintah
kolonial Belanda mulai meragukan hak pertuanannya atas negeri
yang dijajahnya. Kehjdupan pun tak menjadi lebih longgar--malah
meningkat untuk kemudian memuncak pada rentetan penangkapan,
pembuian dan pembuangan tahun-tahun 30-an.
Gagasan-gagasan yang dilontarkan dalam kongres tersebut
merupakan manifestasi pengalaman kemerdekaan--yakni pengalaman
sebagai tuan yang bebas menentukan kehendak sendiri. Peristiwa
Kongres Pemuda Indonesia Pertama alhasil merupakan peristwa
bersejarah. Bermula dari gagasan-gagasan pendahuluan yang
dirumuskan dalam kongres ini, dua tahun kemudian tercetuslah
Sumpah Pemuda. Cetusan yang senilai dengan harga Indonesia
sebagai kesatuan bangsa, kesatuan nusa dan bahasa.
Realisme Tahun 1926
Termasuk pidato Tuan M. Tabrani selaku Ketua Panitia Kongres,
ada tujuh orang pembicara yang membahas empat hal pokok yang
sudah ditentukan. Yaitu persatuan Indonesia, kedudukan wanita,
Bahasa Indonesia, dan tugas agama dalam gerakan (nasional).
Hari terakhir, 2 Mei 1926, setelah pidato Tuan Mohamad Yamin
yang panjang dan berapi-api tentang Kemungkinan-kemungkinan masa
depan bahasa-bahasa dan sastra Indonesia, tibalah giliran Tuan
P. Pinontoan membacakan makalahnya berjudul Tugas Agama Dalam
Pergerakan Nasional.
Dalam makalah yang hanya sekitar 1.500 kata, Tuan Pinontoan
telah menyentuh salah satu soal inti mengenai persatuan bangsa.
Ia berbicara tentang tugas agama-agama (khususnya Islam dan
Kristen) di tengan perjuangan bangsa Indonesia mencapai
kemerdekaan. Sebagaimana para pembicara yang lain, Tuan
Pinontoan pun penuh roh persatuan. Dalam semangat meluap-luap
menggalang segenap potensi bangsa, Tuan Punontoan menempatkan
agama-agama juga sebagai bagian dalam gerakan bangsa untuk
mencapai hari depan bersama, yaitu kemerdekaan dan
kesejahteraan.
Dengan melabuhkan tujuan-tujuan keagamaan searah dengan
cita-cita kemanusiaan yang diperjuangkan dalam ruang lingkup
pergerakan nasional, Tuan Pinontoan berupaya mengaitkan
seerat-eratnya aspirasi keagamaan dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang terkandung dalam cita-cita kemerdekaan. Timbul kesan
pandangan kongres tentang nilai dan soal-soal kemanusiaan lebih
luas dibanding agama-agama itu sendiri. Sekurang-kurangnya bagi
Tuan Pinontoan, agama-agama mestinya punya arti yang lebih
positif untuk turut memecahkan soal-soal kemanusiaan umumnya.
Peristiwa dan gagasan-gagasan yang tumbuh di sekita Sumpah
Pemuda sering disebut sebagai suatu "loncatan sejarah jenial,
yang membuka cakrawala pemikiran baru" dan generasi 20-an. Yang
mampu berpikir dan bertindak melepaskan diri dari kesempitan
alam suku, adat, ideologi dan agama serta mampu pula
menerobos ke luar dari batas-batas logika penjajahan.
Kesulitan Tuan Pinontoan serta-merta menjadi kentara karena
seperti ideologi, agama-agama bersifat komprehensif utuh dan
universal. Meski dalam ruang-lingkup kehidupan nasional,
realitanya baik ideologi maupun agama cenderung merupakan
pengelompokan "primordial" yang tertutup. Namun, lepas dari
kesulitan dan kegagalan melabuhkan tujuan tujuan keagamaan yang
total dan utuh itu ke dalam cita cit nasional, realisme 1926
mampu merumuskan persoalan bagi agama-agama di masa depan. Yaitu
bagaimana menempatkan agama-agama demi melangsungkan tugas-tugas
kemanusiaan dalam konteks perjuangan suatu bangsa mencapai hari
depannya.
Kasalahan Manusiawi
Pertanyaan yang dikemukakan Tuan Pinontoan tahur 1926 adalah:
"Apakah sebenarnya sebabnya, maka bangsa bangsa Indonesia masih
tidak saling mengenal dan menghargai, apalagi bekerjasama?"
Dengan nada sendu ia mencoba menerka-nerka jawab: . . .
barangkali agama yang merupakan penghalang terbesar, sehingga
usaha menciptakan persatuan mengalami jalan buntu?
Tuan Pinontoan berpendapat, perbedaan agama yang ia lihat
mengarah kepada bentuk persaingan yang tak sehat: antara agama
yang satu dengan yang lain saling mengucilkan, berwatak
menyendiri. Inilah yang menyebabkan kenapa mereka tak saling
mengenal dan menghargai satu sama lain, juga saling menganggap
rendan dan saling membenci, bahkan saling mengatai "kafir".
"Para perintis agama Kristen dan Islam di daerah ini melakukan
kesalahan manusiawi yaitu: dalam mencari penganut, mereka
merendahkan martabat orang-orang yang beragama lain akibatnya
tiap orang Muslim menganggap orang Kristen lebih rendah dan
sebaliknya, sehingga mereka saling membenci," kata Tuan
Pinontoan.
Untuk menggalang persatuan di kalangan berbagai golongan bangsa,
maka orang Islam dan Kristen wajib meninggalkan jalan yang
menipu diri sendiri, yang berwujud fanatisme agama.
Kesalahan-kesalahan itulah yang disebut Tuan Pinontoan sebagai
kesalahan "manusiawi" dalam agama. Yakni kesalahan yang masih
dalam batas-batas manusiawi untuk dikoreksi. Dan sama sekali
bukan jenis "keunikan agamawi" yang mulia sifatnya.
" . . . agama yang dimaksudkan untuk mempertinggi kemanusiaan,
tetapi jika disalahgunakan dapat mengerikan," kata Tuan
Pinontoan.
* Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama (terjemahan M Nur,
Kata Pegantar dan Pendahuluan M Tabrani dan A Surjomihardjo),
Takari, Jakarta, 1981.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini