BULAN Maret yang lalu Yayasan Management Informasi keluar dengan Laporan Penelitian PMA/PMDN 1967-1980 dalam sektor industri. Membaca laporan itu agaknya banyak pihak yang terpaksa berpikir kembali mengenai masalah dominasi kalangan "nonpribumi" di Indonesia. Sekarang yayasan itu muncul lagi dan ingin membuktikan bahwa posisi komando dalam dunia perekonomian memang berada di ungan Negara. Dalam buletin Informasi terbitan November, pimpinan yayasan, Christianto Wibisono beserta staf mengemukakan, di sektor perbankan maka bank-bank milik negara berada dalam kedudukan memimpin. Hasil penemuan itu sekali ini mungkin tidak begitu mengagetkan. Tetapi bertambah jelas buat berbagai kalangan sejauh mana pengaruh bank pemerintah itu. Laporan setebal satu inci berikut lampiran salinan neraca dari sekitar 70 bank menyebutkan bahwa dari assets (kekayaan) yang berjumlah Rp 12 trilyun yang dikuasai bank pemerintah 85%, bank asing 6,5%, bank devisa swasta 5,4% dan bank swasta 3,1%. Dari deposito Rp 4,5 trilyun yang dikuasai bank pemerintah 87,4%, bank asing 4,2%, bank devisa swasta 4,7% dan bank swasta 3,7%. Dari kredit yang berjumlah Rp 6,8 trilyun yang dikuasai bank pemerintah 84,1%, bank asing 6,6%, bank devisa swasta 5,3% dan bank swasta 4%. Penelitian yang berlangsung selama setengah tahun tersebut dilaksanakan dengan cara mengumpulkan iklan neraca seluruh bank yang berada di ibukota. Dari berbagi kota lain juga dikumpulkan, sehingga boleh dikatakan kesimpulan tentang dominasi bank-bank pemerintah memang beralasan kalau ditinjau dari angka-angka dalam neraca yang diumumkan secara terbuka di berbagai media massa itu. Dari hampir 70 buah meraca bank yang berhasil dikumpulkan Christianto Cs kemudian membuat urut-urutan bank terbesar yang beroperasi di Indonesia sebagai berikut: Bank Kekayaan 1. Bank Bumi Daya Rp 2,5 trilyun 2. Bank Negara Indonesia 1946 2,2 trilyun 3. Bank Dagang Negara 2 trilyun 4. Bank Rakyat Indonesia 1,9 trilyun 5. Bank Ekspor Impor Indonesia 1 trilyun 6. Bank Pembangunan Indonesia 0,5 trilyun 7. Citibank AS Rp 160 milyar 8. Bank Tabungan Negara (negara) 155 milyar 9. Bank Central Asia (devisa) 122 milyar 10. Bank of Tokyo (asing) 121 milyar Selain dari neraca bank, penelitian tersebut juga didasarkan pada koleksi Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBN-RI) sejak 1950 hingga 1980. Dari arsip itu tim peneliti juga mencoba untuk mengetahui siapa pemilik sebenarnya dari sebtlah bank. Tapi tak berhasil. "Terus terang kami mengalami kesulitan luar biasa ketika dalam pengecekan ulang terhadap pesero dan pemegang saham serta pengurus perbankan dan perasuransian telah terjadi perubahan yang tidak diumumkan dalam TBN-RI," tulis Chris. Untuk mengatasi hal itu mereka melakukan pengecekan langsung terhadap bank yang bersangkutan. Dalam soal kepengurusan banyak yang dengan senang hati menjawab. Tetapi begitu menyangkut pesero dan pemegang saham pihak bank menolak dengan alasan "rahasia bank". Orang-orang bank itu rupanya dengan pandai bersembunyi pada pasal 39 KUHD yang sifatnya tidak terlalu mengikat bagi pesero/pemegang saham untuk melakukan perubahan dalam TBN-RI. Ini pula yang membuat tim terdahulu tidak berhasil menelusuri siapa di belakangj sesuatu persahaan PMA/PMDN. Yang' dapat dikerengahkan laporan itu ialah Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan Mochtar Riady menjadi tokoh uuma Bank Central Asia yang menempati jenjang ke-9. Chris dan timnya rupanya tergoda juga untuk menganalisa siapa nasabah bank asing yang beropeasi di sini. Berapa besar uang orang-orang Indonesia yang disimpan di situ? Menarik juga untuk melihat bahwa seluruh modal yang ditanam 11 bank asing hanya meliputi Rp 16,5 milyar, kira-kira setengah dari modal bank devisa swasta. Tapi volume bisnisnya lebih besar. Gabungan bank asing itu dengan modal Rp 16,5 milyar berhasil menghimpun kekayaan sebesar hampir Rp 800 milyar. Hampir 50 kali lipat dari modal. Bahwa bank-bank asing mengeruk keuntungan yang besar dari negara-negara berkembang berkat kemahiran dan reputasi internasional mereka, sudah banyak diketahui. Terakhir wartawan terkemuka Inggris Anthony Sampson dalam bukunya The Money Lenders menyebutkan bahwa 40% dari seluruh keuntungan Citibank datang dari negara-negara berkembang. "Dari negara-negara sedang berkembang ini maka Jakarta yang paling banyak mendatangkan keuntungan," kata Walter Wriston, dedengkot Citibank, dalam buku tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini