BERAPA penderita AIDS di Indonesia? Sampai kini resmi tercatat delapan orang, dengan rincian, tujuh di Jakarta, satu di Bali. Dan tiba-tiba, pekan lalu, Departemen Kesehatan menyatakan semua penderita itu hilang. Alamatnya tidak jelas, sedangkan para dokter yang merawat kehilangan kontak. "Tiga di antaranya orang asing. Jadi, yang orang klta ada lima," ujar dr. Gandung Hartono, Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular, Penyehatan Lingkungan Permukiman (PMPPLP). Perawatan AIDS (Aquired Immunedeficiency Syndrome) di Indonesia, menurut Gandun, memang terbatas pada konsultasi. "Jadi, kalau penderita tidak datang lagi, dokternya kehilangan kontak, karena penderita merahasiakan alamatnya," kata Gandung. Siapakah para penderita AIDS itu? Menurut Gandung, enam orang, termasuk yang orang asing, adalah pelaku homoseks yang memang punya risiko paling tinggi untuk kejangkitan AIDS. Yang seorang adalah calon tenaga kerja yang akan dikirim ke Arab Saudi. Ia terjaring ketika mengikuti tes untuk surat bebas AIDS. Terakhir adalah penderita penyakit darah, yang kejangkitan lewat transfusi darah. Diakui oleh Gandung bahwa transfusi darah kita memang tidak 100% aman. "Pemeriksaan kebersihan darah yang akan ditransfusikan dilakukan cuma dengan sampling, satu dari sepuluh," ujar Gandung "Tapi ini kesepakatan internasional." Bagaimana sampai bisa dipastikan bahwa kedelapan orang itu memang kena AIDS ? "Sudah dikonfirmasikan dengan tes Western Blot," jawab Gandung. Metode tes canggih yang bisa dipercaya akurasinya ini sudah bisa dilakukan di Bagian Patologi RS Cipto Mangunkusumo sejak tahun lalu. Ini jelas banyak menolong. Sebelumnya sangat sulit bagi para dokter di Indonesia untuk menentukan apakah sebuah sample darah positif AIDS atau tidak. Tes yang ada ketika itu hanya metode ELISA. Sementara itu, untuk konfirmasi sample darah, harus dikirim ke luar negeri supaya dites dengan metode Western Blot. Sebuah tim penanganan AIDS dibentuk di RS Cipto Mangunkusumo -- lembaga yang sejak awal berfungsi sebagai rumah sakit pendidikan bagi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tim yang beranggotakan 27 dokter dari berbagai keahlian itu dibentuk oleh Dekan FK UI dan diketuai Dr. Haryanto Reksodiputro, Kepala Bagian Hematologi RS Cipto Mangunkusumo. Ahli penyakit darah dr. ubairi Djoerban, perintis penelitian AIDS di Indonesia, termasuk salah seorang anggota tim. Ketika ditemui pekan lalu, tim FK UI membenarkan tes Western Blot sudah bisa dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. "Kami tidak perlu lagi mengkonfirmasikan tes ke luar negeri," ujar dr. Corry S. Matondang, ahli imunologi yang menjadi juru bicara tim. Menurut Corry, hampir semua penderita AIDS yang ditemukan di rumah sakit lain, atau juga laboratorium pemeriksaan darah, dikirimkan ke FK UI. Ketika ditanya tentang hilangnya delapan penderita AIDS, tim FK UI itu tak bersedia menanggapi. Tim hanya menyatakan, hingga kini mereka merawat lima penderita AIDS, dan semuanya masih tetap datang untuk konsultasi. Dengan kata lain, mereka tidak kehilangan kontak. Apakah kelima penderita itu dilaporkan ke Depkes ? "Tentu, semua penderita AIDS kami laporkan," jawab dr. Zubairi. "Melapor itu 'kan wajib." Menurut perhitungan tim, jumlah yang mereka laporkan hanya lima orang. "Tapi barangkali saja Depkes mendapat laporan dari rumah sakit lain," kata dr. Zubairi pula. "Dari Bali misalnya." Siapa saja lima penderita AIDS yang di RS Cipto Mangunkusumo itu? Ternyata, data RSCM tentang penderita AIDS yang mereka rawat mirip dengan data Depkes. Bedanya, tim tidak mengenal tiga penderita yang orang asing. Di luar itu, satu penderita kejangkitan karena menderita penyakit darah (hemofili), satu calon TKI, dan tiga orang pelaku homoseks. Memang salah satu dari kelima penderita itu bersikap tidak kooperatif. "Tapi tidak berarti, kami kehilangan kontak. Penderita itu masih selalu kembali," kata dr. Corry Matondang. Sekalipun begitu bukan tidak mungkin ada penderita AIDS lainnya, di luar yang dirawat tim FK UI. Salah seorang, misalnya, ditemukan dan dirawat di Bali. Ia seorang pemuda yang baru berusia 28 tahun. Mungkin sekali ia seorang pelaku homoseks, karena tingkah lakunya kewanita-wanitaan. Ini kesimpulan dr. Tuti Parwati yang merawatnya. Pemuda yang punya profesi penari ini sering ke luar negeri dalam rangka pergelaran tari. Boleh jadi ia kejangkitan AIDS di mancanegara. Hasil pemeriksaan darah pada penderita itu jelas positif. "Tapi gejala-gejala klinis, seperti kanker kulit sarcoma kaposi dan radang paru-paru, belum terlihat," kata dr. Tuti Parwati. Dikatakannya, sejauh ini kondisi pasien fisik maupun mental baik. Semua penyakit yang muncul senantiasa bisa dikontrol. Ini berarti, dr. Tuti juga tidak kehilangan kontak. Adakah penderita lain di Bali? "Sejauh yang saya ketahui, tidak ada," kata dr. Dwi Sutanegara, Ketua Tim Pencegah AIDS Bali. "Memang mungkin saja ada penderita yang tidak diketahui di Bali, walauun Tim Pencegah AIDS Bali cukup aktif mengadakan pelacakan. Tim memeriksa darah yang akarr ditransfusikan, juga memeriksa pelaku homoseks yang terhitung punya risiko tinggi mengidap AIDS. "Dari semua pelacakan itu, satu-satunya penderita yang kami temukan, ya penari berusia 28 tahun itu," kata dr. Dwi. Melapor ke Depkes? "Tentu saja," jawab Dwi. Jim Supangkat, Syafiq Basri (Jakarta), Djoko Daryanto (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini