Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gosipol Menekan Kesuburan

Disertasi wildan yatim nasution membahas kontrasepsi bagi pria yang dibuat dari gabungan gosipol dan gula berklor. penelitian berlangsung 4 tahun terhadap tikus-tikus jantan.

8 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN karena diskriminasi jika selama ini wanita jadi tumpuan program keluarga berencana. Alasannya semata-mata teknis: alat kontrasepsi pria relatif sedikit. Kondom, umpamanya, kurang disukai karena dianggap mengurangi kenikmatan hubungan seksual. Dari semua peserta KB di Indonesia, pria yang ber-KB hanya 4,38%. Tak heran bila angka kelahiran -- dengan jumlah penduduk 172 juta (proyeksi 1987) -- masih cukup tinggi, yakni 34 per 1.000 penduduk. Sekalipun begitu, upaya meningkatkan peran pria dalam ber-KB bukan tidak ada. Wildan Yatim Nasution, 55 tahun, telah melakukan penelitian selama kira-kira 4 tahun terhadap tikus-tikus jantan wistar (Rattus norvegicus) -- khusus untuk alat kontrasepsi bagi pria. Hasil penelitian itu dituangkan dalam disertasi berjudul Efek Antifertilitas Gosipol dan Gula Berklor terhadap Tikus Wistar dan Implikasi Prospeknya sebagai Kontraseptif Pria. Senin pekan silam, dosen biologi medis FK Unpad itu dinyatakan lulus dalam meraih gelar doktor, dengan predikat sangat memuaskan. Apakah gosipol itu? Inilah nama sejenis zat yang terkandung dalam biji kapas, yang sudah lama dipakai di RRC sebagai "alat kontrasepsi". Di negeri berpenduduk 1 milyar jiwa itu, sejak tahun 70-an gosipol sudah dipakai oleh ribuan lelaki. Mereka menumbuk biji kapas itu, lalu memeras airnya untuk dijadikan minyak goreng. Pemakaian gosipol juga dikenal di sini, tapi secara tidak sadar. Di Sumatera Barat, seperti dituturkan Wildan, ada sebuah perkampungan yang penduduknya secara tradisional senang makan sayur pucuk kapas. "Ternyata, penduduk di situ hanya punya anak satu dua," ujar Wildan pada TEMPO. Toh penggunaan gosipol belum meluas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri belum menyorotkan lampu hijau untuk itu. Soalnya, efek samping gosipol yang kelewat serius (toksik). "Sekitar 0,7 persen pemakainya jadi lumpuh," kata Wildan Yatim. Bahkan sampai 2 tahun sesudah pemakaiannya dihentikan, 30-40 persen peminum pil gosipol tak juga bisa membuahi istrinya. Berarti reversibilitasnya rendah, karena sekitar 1/3 pria itu tetap "infertil" (mandul). Kendati demikian, penelitian terhadap gosipol tetap dikembangkan. Menurut Wildan, WHO'sekarang justru sedang giat mencari gugus-gugus kimia mirip gosipol, yang kurang toksisitasnya tapi tetap efektif sebagai peredam kesuburan pria. Wildan sendiri meneliti gosipol yang diperolehnya dari sumbangan WHO di Jenewa. Sebelum mendapat sumbangan itu, Wildan mencari biji kapas di Lembang, daerah dingin yang terletak sekitar 15 km di timur Bandung. Pada mulanya, Wildan memberi gosipol yang telah dikentalkan pada sebagian tikus jantan yang ditelitinya. Sebagian tikus jantan lain diberi gula berklor, sementara sisanya diberi campuran keduanya: gosipol dan gula berklor. Ini dilakukannya setiap hari (kecuali Minggu) selama dua bulan. Sebagian tikus jantan ini kemudian dibunuh, dibuka organ kelaminnya. Bagian kelenjar mani yang disebut epididymis diperiksa melalui mikroskop, untuk melihat perubahan yang terjadi. Sementara itu, sejumlah tikus yang dibiarkan hidup dikawinkan dengan tikus betina yang sepantar umurnya. Satu-dua pekan kemudian, secara teoretis para tikus betina akan hamil. Sebelum 21 hari -- ini umur kehamilan tikus -- tikus betina dibunuh pula. Anak-anak tikus dalam rahim sang induk dihitung jumlahnya: adakah penurunan fertilitas pada sang induk. Pembunuhan tikus betina ini perlu. "Jika tidak, maka sebagian anak yang dilahirkannya akan dilahap sang induk -- hingga sulit mengontrol kesuburan sang induk," kata Wildan. Pada tahap berikutnya, para tikus jantan diistirahatkan: tidak lagi diberi gosipol atau gula berklor selama 1-3 bulan. Ini untuk melihat apakah fertilitas tikus jantan bisa pulih setelah mereka dikawinkan lagi. Ternyata, dalam dosis efektif gosipol -- yang menyebabkan tikus mandul -- terjadi penurunan jumlah anak sekitar 76%. Bagaimana itu bisa terjadi? Gosipol ini -- seperti juga kerja gula berklor -- berkhasiat mengganggu enzim pernapasan sel sperma, hingga transportasi sperma dalam epididymis terhambat. Karena itu, tentu saja sedikit sperma yang berhasil keluar dari kelamin tikus. Tapi efek sampingnya ada. Dosis ini, sekitar 30 mg/kg berat tikus/hari, merusakkan hati dan ginjal tikus. Toksisitasnya terlalu besar. Maka, Wildan menurunkan dosis gosipol ini sampai sekitar 50% dosis di atas. Lalu dosis rendah gosipol, bila digabungkan dengan gula berklor, justru bisa mengurangi toksisitas pada hati dan ginjal. Bahkan juga memungkinkan reversibilitas (kembali normalnya) daya kembang biak kelenjar testis. Sehingga, Wildan menganjurkan penerapan gosipol plus gula berklor pada primata seperti kera. Bila ini berhasil baik dan aman barulah penerapannya pada manusia dipertimbangkan. Tapi seorang doktor ahli sterilisasi wanita Dr. James Thouw, menganggap prospek penelitian Wildan negatif. Sebab, "Berdasar peraturan WHO sendiri, kami tidak setuju dengan pemanfaatan gosipol. Juga, penggabungannya dengan gula berklor," kata ahli kebidanan dan penyakit kandungan ini pada Sigit Haryoto dari TEMPO. "Gula berklor toksisitasnya tinggi, maka ditinggalkan. Bahkan ada sinyalemen, gula berklor menyebabkan kanker," kata James. Dan menurut James, gosipol juga tidak aman. "Kaum pria RRC yang memakai gosipol sering mengalami penyakit aneh-aneh, pingsan atau beberapa tak mendapatkan keturunan," katanya. Kendati demikian, tekad Wildan dipuji oleh salah seorang promotornya, Prof. Dr. Didi Atmadilaga. "Yang hebat pada diri Wildan Yatim adalah keberaniannya dan ketekunannya menggabungkan gosipol dan gula berklor, yang pada mulanya berdiri sendiri-sendiri," kata Prof. Didi. Menurut dia, Wildan telah membuka mata dunia kedokteran terhadap alternatif penggabungan keduanya. Soalnya, "Gabungan keduanya tidak menurunkan libido sama sekali," demikian Prof. Didi Atmadilaga. Syafiq Basri, Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus