PETANI adalah makhluk yang tampaknya sulit dimengerti. Seperti menghadapi sebuah lukisan Picasso, pelbagai orang merasa pintar dengan membicarakannya. Tapi berapa banyak pemikir yang tak tahu apa gerangan yang harus terjadi pada petani, penduduk penting Dunia Ketiga itu ? Setidaknya Marx tak tahu. Kita maklum. Marx tidak lahir di tepi sawah. Tempat ia dibesarkan, Tiers, di Prusia, sudah jadi sebuah kota bahkan sebelum Abad Pertengahan. Di situlah masa kecil dan remaja Marx bersumbu, di sebuah rumah gaya Barok di Bruckenstrasse. Ayahnya seorang ahli hukum yang terpandang. Maka, apa yang dimengertinya tentang petani? Kurang lebih 27 tahun yang lalu David Mitrany menulis sebuah buku, Marx against the Peasant, dan seorang Marxis yang mencoba lebih memahami petani, Rex Mortimer, bahkan mengatakan: pandangan Marx secara tegar bersifat "antipetani". Lenin, seorang Marxis dari cabang yang lebih temberang, melanjutkan sikap itu. Ia memang membikin "revolusi sosialis" yang pertama justru di negeri Rus, sebuah wilayah luas dengan jutaan petani. Tapi sikapnya terhadap orang-orang "agraris" itu adalah apa-boleh-buat. Kira-kira di tahun 1922, Lenin jera karena telah merasakan akibatnya -- dengan usahanya memaksakan pertanian kolektif. Dalam kolektivisasi itu, hanya ada kans kecil bagi pemilik tanah perorangan, sesuai dengan semangat sosialistis yang menentang hak milik pribadi. Tapi pengolektifan itu akhirnya berakibat kemerosotan. Petani tak punya lagi dorongan bekerja, sebab hasilnya tak dapat ia petik sendiri. Maka Lenin pun menyimpulkan "Petani bukaniah orang-orang sosialis," dan "membangun rencana sosialis dengan cara . . . seakan-akan mereka itu orang sosialis berarti membangun di atas pasir." Bagi banyak orang Marxis, petani memang sosok keterbelakangan. Orang-orang udik itu belum pernah tersentuh kerja di pabrik, dengan teknologi dan organisasi yang modern. Hanya kaum buruh, hanya proletariat, kata mereka, yang mampu menghadapi dunia yang akan datang. Itu juga yang dikatakan Bung Karno ketika di tahun 1933 menulis Marhaen dan Proletar. Marhaen, kata Bung Karno, adalah "kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain." Semua golongan itu harus bersatu dalam revolusi nasional. Tapi, kata Bung Karno (seraya mengikuti Marx), kaum buruhlah yang "menjadi pemanggul panji-panji revolusi sosial." Kaum buruhlah, kata Bung Karno pula, yang "kenal akan segala kemodernannya abad kedua puluh." Benarkah? Dalam Marxisme, banyak pernyataan yang tak pernah ditelaah kembali. Akhirnya yang hadir adalah sederet dalil yang buntu. Juga ketika Marxisme harus menjawab: Apa yang mesti dilakukan terhadap petani? Beri petani miskin tanah. Bikin landreform. Itu seruan Mao Zedong di negeri Cina. Mao, anak petani menengah di Dusun Shaoshan, memang telah melahirkan sebuah negara komunis dengan petani sebagai basis revolusinya. Bahkan ada yang mengatakan ia juga tak menganggap masa depan Cina adalah masyarakat industri. Tapi apa selanjutnya setelah petani memperoleh tanah? Tidakkah mereka kelak akan berkembang dari borjuis kecil jadi borjuis yang lebih besar? Mungkin karena tak pastinya jawaban buat pertanyaan ini, bahkan Mao juga "tak konsisten". Setidaknya itulah yang dikatakan Rex Mortimer, dalam kumpulan tulisan yang diterbitkan setelah ia meninggal, Stubborn Survivors, sebuah buku tentang petani di dunia yang bukan-Eropa. Sebenarnya, jika ditilik biografinya, Mao memang baru menyadari potensi revolusioner petani di tahun 1925, ketika ia sedang istirahat di Shaoshan. Itu berarti lima tahun setelah ia jadi Marxis. Tapi kesalahan Mao yang besar terjadi seperempat abad kemudian. Di tahun 1958, ia mengumandangkan "Loncatan Jauh ke Depan", dengan tujuan memacu Cina melampaui Inggris dalam bidang industri. Industrialisasi kilat itu memerlukan cukupnya bahan pangan dalam waktu yang ringkas pula. Untuk itu, menurut Mao, yang harus dilakukan adalah mobilisasi dan kebersamaan. Petani harus berkorban. Maka, pedalaman Cina pun mengalami proses kolektivisasi yang gegap gempita. Hak milik atas tanah dan peralatan pribadi disisihkan, dan komune-komune dibangun. Mao tak menduga hasilnya hanya malapetaka. Di musim semi 1960, seorang pemimpin komunis Cina yang lain, Liu Shao-chi, mengunjungi Hunan. Ia lihat sendiri betapa dahsyatnya kesengsaraan. "Soal ini tak diakibatkan oleh bencana alam," katanya seperti menyesali, "melainkan dibikin oleh manusia. " Petani tampaknya punya cara tersendiri untuk menampik bila mereka disepelekan bila satu sistem tak menguntungkan diri mereka: sawah tak lagi mereka garap, pangan jadi terbatas. Kita tahu apa akibatnya. Celakanya, bagi seorang Marxis, para petani memang bukan "sosialis" -- seperti dikatakan Lenin -- tapi si "sosialis" tak tahu harus diapakan mereka itu. Ada seorang tokoh partai di masa awal pemerintahan Stalin yang pernah punya satu ide: biarkan para petani jadi kaya. Stalin pun memandangnya dengan curiga. Pada tahun 1938, tokoh itu, Bukharin ditembak mati. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini