Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia, dr. Erwinanto, Sp.JP(K), mengatakan prevalensi atau jumlah penderita tekanan darah tinggi yang meningkat dari tahun ke tahun karena faktor risiko yang tidak terkontrol. Ia mencontohkan beberapa faktor risiko seperti diabetes, obesitas atau kegemukan, hingga konsumsi garam berlebih. Ia menyebutkan faktor risiko juga termasuk kolesterol, minum alkohol berlebihan, gangguan tidur sleep apnea, dan sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Hal-hal seperti itu yang harus kita kendalikan supaya prevalensinya turun, beban negara tidak tinggi, uangnya bisa digunakan untuk hal lain. Bagi masyarakat sendiri juga terhindar dari kemungkinan penyakit jantung, penyakit ginjal, stroke,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ia mengatakan setiap peningkatan tekanan darah 20/10 mmHg yang dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg, maka kematian akibat stroke, jantung koroner, dan gagal ginjal akan naik lebih dari dua kali.
“Semua masalah tiga penyakit tadi tidak hanya dimulai pada saat hipertensi. Pada saat hipertensi memang meningkat tajam itu benar, tetapi tidak berarti ketika tidak hipertensi itu tidak meningkat,” katanya.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 34,1 persen atau sekitar 63.309.620 orang di Indonesia menderita tekanan darah tinggi. Secara nasional, prevalensi hipertensi menunjukkan kecenderungan peningkatan dari Riskesdas tahun 2007 hingga 2018 yang didasarkan pada tiga jenis metode, yaitu diagnosis, konsumsi obat, dan pengukuran.
Dewan penasihat Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia Prof. dr. Rully M.A. Roesli, Sp.PD-KGH, menambahkan edukasi yang tidak tepat sasaran juga menjadi alasan prevalensi meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Hal tersebut didasarkan pada data Riskesdas 2018 yang menyebut penderita hipertensi mayoritas diderita masyarakat yang tidak mengenyam pendidikan dan tidak lulus sekolah dasar. Ia menyarankan agar edukasi terkait tekanan darah tinggi dapat dibuat dengan lebih inklusif.
“Ini bukan pekerjaan mudah. Bagaimana cara menyadarkan orang yang tidak sekolah atau yang tidak cukup baca bahwa hipertensi ini berat,” ujarnya.
Untuk mencegah hipertensi, Erwinanto menekankan pentingnya untuk melakukan terapi intervensi gaya hidup. Perubahan gaya hidup tidak hanya berkaitan dengan konsumsi makanan-makanan yang sehat, juga olah raga teratur 30 menit sehari, kurangi berat badan jika kegemukan, dan kurangi minum alkohol.
“Memang ada ukuran-ukurannya tetapi mengingat bahwa hidup kita sehari-hari tidak bisa diukur, maka mungkin yang paling tepat adalah sebesar mungkin yang bisa dilakukan dan semua itu akan terlihat dari berat badan, juga apakah indeks massa tubuhnya tercapai atau tidak,” tuturnya.