Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUNYI-BUNYIAN dari seperangkat alat musik tradisional Cina dari laptop yang dioperasikan seorang gadis di pojok menggema di panggung. Bunyi itu mengingatkan pada musik pembuka opera Cina. Musik sejenak berhenti dan kemudian muncullah seorang lelaki dengan badan kekar, bukan pemain opera yang biasanya berkostum meriah dan wajah berhias. Otot lengan dan pahanya terlihat liat sebagai hasil berlatih angkat beban. Perlahan dia berjalan mengelilingi panggung dengan iringan musik “opera Cina”. Dia berhenti sebentar dan berlutut seraya memamerkan otot lengan dan sayapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian seorang perempuan penari tango masuk. Dia memperagakan gerak-gerak tari tango tanpa pasangan dengan iringan musik yang sama. Lalu seorang pemain bela diri Cina muncul dan memperagakan jurus-jurusnya. Tak lama kemudian sesosok perempuan dengan kostum yang sangat pop—celana komprang, kaus yang menggantung seperut, sepatu bot, dan rantai—bergabung. Rambut perempuan ini dicat ungu, jalannya gagah, dan kedua tangannya membentuk seperti pistol siap membidik. Mereka bergerak sendiri-sendiri dan kemudian menari berpasangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejurus kemudian muncul dua laki-laki penari tiang dan yoga aerial bergelantungan menggunakan kain dengan anggun. Yang terakhir muncul adalah seorang penari yang bergerak sangat lentur. Dia seperti menjadi gong penampilan mereka saat membawakan Pan Xian, koreografi karya Huang Huai-Te, koreografer Taiwan dan pendiri Dashing Theater, di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada Rabu, 6 November 2024.
Pan Xian adalah koreografi yang memadukan budaya opera tradisional han (xique) dan ritual tao dengan gerak tari modern. Melalui karyanya, Huang mengajak penonton merenungi kebutuhan akan kepercayaan terhadap dewa-dewi dalam tradisi sekaligus menyoroti gerakan sosial mutakhir di Taiwan. Dia memadukan memori sejarah, isu identitas gender, tradisi, dengan seremoni.
Karya Huang ini menjadi penutup Indonesian Dance Festival (IDF) 2024 di Graha Bhakti Budaya yang berlangsung pada 2-6 November 2024. Selama lima hari, festival yang bertema “Liquid Ranah” ini menampilkan 12 pertunjukan dan sejumlah program, seperti diskusi, lokakarya, master class, dan program Kampana, yakni program inkubasi untuk para seniman muda. Tema itu menjadi konsep kuratorial yang mengajak seniman dan penonton menyelami kemungkinan gerak yang cair.
Direktur IDF Ratri Anindyajati menyatakan tema itu hadir dalam karya-karya di festival yang menyelami kemungkinan gerak yang cair dan mampu menembus batas ruang yang kaku yang memisahkan dan memilah sesuatu dengan kategori tertentu. “Harapannya, IDF menjadi ruang inklusif, tempat semua ekspresi, identitas, kenangan, pemikiran, strategi, dan tubuh-tubuh dirayakan,” katanya.
Sebagai perwujudan tema, Bedhaya Hagoromo, karya kolaborasi maestro tari Didik Nini Thowok serta dua seniman noh, Richard Emmert dan Akira Matsui, ditampilkan dalam pembukaan festival pada 2 November 2024. Bedaya klasik Yogyakarta itu ditarikan sembilan orang dengan gerakan dan gamelan yang lambat dan dipadu dengan drama noh klasik Jepang.
Di panggung tampak seorang pemain noh bergerak maju dengan kipas seperti memimpin kelompok penari. Sesekali suara gamelan diwarnai pukulan snare drum dan siulan suling Jepang. Lewat karya ini, para seniman yang berkolaborasi hendak mengelaborasi identitas, termasuk budaya gender, perjuangan kelas, lokasi, dan politik.
Demikian juga penampilan Pan Xian serta Ridden karya Leu Wijee dari Indonesia dan Mio Ishida dari Jepang. Koreografer muda dari Filipina yang lahir pada 1991, Bunny Cadag, hadir dengan The Singer, yang menggabungkan teater, musik, vokal, dengan kerajinan yang membicarakan gender.
Di program Kampana, identitas gender, ketubuhan, dan perjuangannya hadir dalam karya Ishvara Devati, The Synthetic of Hybrid Beings. Dia menampilkan dua transpuan dengan koreografi yang berdasarkan riset mengenai terapi hormonal yang mereka jalani. Ketubuhan dan identitas gender juga menjadi tema dalam program Bincang Tari, serangkaian diskusi yang membahas perkembangan tari yang membedah lebih jauh kerangka kuratorial “Liquid Ranah”.
Cairnya kreativitas juga hadir dalam This is Not a Dance karya seniman asal Iran, Nastaran Razawi Khorasani, yang berangkat dari pelarangan tari. Dalam penampilan di Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, Nastaran tak banyak bergerak. Dia seperti memilin kain yang terhampar di lantai yang bergelombang. Narasi tentang tari, ekspresi tubuh yang dilarang oleh pemerintah Iran, disorotkan ke dinding.
Dalam karya Bedhaya Hagoromo, tarian Bedhaya klasik Yogyakarta ditarikan sembilan orang dengan gerakan dan gamelan yang lambat dipadu dengan drama Noh klasik Jepang. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Hubungan tubuh, spiritualisme, dengan alam juga menjadi inspirasi karya para koreografer, seperti koreografer asal Laos, Noutnapha Soydala, yang tampil di program Kampana dengan judul 90/Now. Kain yang dipasang diagonal di ruangan menjadi medium arah dia bergerak. Koreografinya terinspirasi dari perubahan iklim yang terjadi sedemikian cepat dan dialog dengan keluarga tentang situasi cuaca dulu dan kini.
Adapun Fitri Setyaningsih menampilkan Garis Tegak Lurus di Teater Salihara, Jakarta Selatan. Koreografi ini menghadirkan dua penari yang berkerudung kain sambil membawa replika tengkorak. Kaki mereka bergerak di kain berlapis debu tipis dan bergerak seperti robot dalam ruangan yang sepanjang pertunjukan bercahaya minimal. Gerak mereka yang kaku itu diiringi suara misterius yang memenuhi ruang teater. Dalam temaram cahaya, sayangnya tak terlalu banyak gerak yang tampak. Menjelang akhir pertunjukan, Fitri mendekat ke sebuah replika batu besar seperti batu merah retak yang hendak merekah. Kepalanya menelungkup di lubang batu di bawah sorotan lampu tegak.
“Tegak lurus dari karya ini adalah kaki penari yang menapak di bumi, diiringi suara sound system di atas. Juga dari perjalanan saya dari gunung ke gunung, semacam perjalanan horizontal. Tegak lurus dengan perjalanan spiritual, vertikal,” ujar Fitri, koreografer lulusan Fakultas Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia—sekarang Institut Seni Indonesia—Surakarta, Jawa Tengah.
Karya Fitri itu berangkat dari pengalamannya ke Gunung Bromo, Jawa Timur, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Debu dan tengkorak dalam karya itu menunjukkan akhir perjalanan manusia sehingga atmosfer, suasana pentas, tata cahaya, dan musik, kata Fitri, dibuat sedemikian lebih dalam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Koreografi Cair di Tengah Isu Mutakhir"