Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Perjanjian Pranikah dan Perjanjian Pisah Harta Harvey Moeis dan Sandra Dewi, Apa Bedanya?

Perjanjian pranikah dan perjanjian pisah harta seperti Harvey Moeis dan Sandra Dewi, Apa perbedaannya?

7 Mei 2024 | 18.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sandra Dewi berfoto bersama suami, Harvey Moeis. Instagram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa hukum Harvey Moeis dan istrinya Sandra Dewi, Harris Arthur Hedar, menjelaskan bahwa keduanya telah membuat perjanjian pisah harta sejak mereka resmi menikah pada 2016. Harris menyatakan bahwa perjanjian pisah harta itu sudah ada secara resmi. Alasan di balik perjanjian tersebut adalah karena profesi Sandra Dewi sebagai seorang artis dan Harvey Moeis sebagai seorang pengusaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Perjanjian pisah harta itu ada aktanya resmi benar itu ada," kata Harris saat ditemui di Jakarta Barat, 19 April 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alasan Harvey Moeis dan Sandra Dewi melakukan perjanjian pisah harta karena profesi Sandra Dewi sudah menjadi artis sejak dahulu. Sedangkan Harvey juga sudah menjadi seorang pengusaha. "Makanya saat mereka nikah ya bikin perjanjian pisah harta," ucap Harris.

Meski pisah harta, satu rekening Sandra Dewi sempat diblokir oleh Kejaksaan Agung. Teranyar, nomor rekening tersebut sudah diizinkan untuk dibuka kembali dan sedang dalam pengajuan pembukaan sudah memberi klarifikasi bahwa rekening tersebut adalah murni untuk pekerjaan Sandra Dewi.

"Rekening ada yang diblokir satu. Kemarin setelah di klarifikasi terkait pekerjaannya sudah diizinkan untuk dibuka dan sudah diajukan pembukaannya gitu ya," ujar Harris.

Seperti yang dilansir dari artikel Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, perjanjian pra nikah dan perjanjian pisah harta adalah dua aspek yang penting dalam hukum pernikahan dan perceraian di banyak negara.

Perjanjian pra nikah, atau yang sering disebut sebagai perjanjian pranikah, adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum mereka menikah. Tujuannya bisa bermacam-macam, termasuk penentuan bagaimana harta akan dikelola selama pernikahan dan bagaimana pembagian harta akan dilakukan jika pernikahan berakhir karena perceraian atau kematian.

Saat ini hal tersebut boleh dilakukan. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 (Putusan MK 69/2015) bahwa:

Pada waktu, sebelum perkawinan dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Dan juga melalui putusan itu, pendaftaran/pengesahan/pencatatan prenuptial agreement tidak lagi dilakukan di Pengadilan Negeri tetapi dilakukan di Dukcapil setempat

Perjanjian pra nikah harus didaftarkan, supaya unsur publisitas dari perjanjian yang telah dibuat terpenuhi. Pendaftaran atau pencatatan prenuptial agreement dilakukan agar pihak ketiga (diluar pasangan suami istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada aturan yang dibuat didalam perjanjian pisah harta yang dituangkan dalam akta pisah harta.

Apabila tidak didaftarkan, maka perjanjian pisah harta hanya berlaku/mengikat bagi para pihak yang ada di dalam akta, atau pembuat akta perjanjian pisah harta, atau suami istri yang bersangkutan.

Sementara perjanjian pisah harta yang dilansir dari jurnal UNSRAT, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan UU Perkawinan. Perjanjian pisah harta adalah perjanjian yang dibuat oleh suami istri setelah mereka menikah, untuk mengatur hak dan kewajiban masing-masing dalam hal kepemilikan dan pengelolaan harta bersama.

Pasangan sepakat untuk melakukan pemisahan terhadap harta kekayaan mereka agar tidak bercampur. Ini seringkali disiapkan sebagai langkah pencegahan dalam hal perceraian, untuk menghindari konflik potensial tentang pembagian harta.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PU-XIII/2015 menyebutkan bahwa:

1. Perjanjian dapat dilakukan sebelum atau selama masa pernikahan dan disahkan oleh PPN atau notaris.

2. Perjanjian tersebut akan berlaku sejak pernikahan dilakukan, kecuali ada kesepakatan lain.

3. Perjanjian berisi mengenai harta atau perjanjian lainnya. Perjanjian tidak bisa diubah kembali atau dicabut, kecuali terdapat persetujuan dari kedua belah pihak.

MYESHA FATINA RACHMAN  I  ADVIST KHOIRUNIKMAH

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus