Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pertengahan tahun 1292, Raja Krtanagara, penguasa terakhir Kerajaan Singasari, gugur dan negara kacau. Keluarga kedaton Singasari ceraib-erai. Rakyat terbagi dua: sebagian memihak menantu Krtanagara, Krtanagara Jayawardhana alias Raden Wijaya; sebagian lagi menyokong Jayakatwang, keturunan raja-raja Kediri yang memberontak.
Sejarah mencatat, kekuasaan Jayakatwang tak berumur panjang. Ia digulingkan dari takhta setelah terjadi gempuran pasukan-pasukan dari dusun Majapahit, tempat bermukim Raden Wijaya, yang bersekutu dengan tentara Tartar (Cina). Tentara itu datang dengan tujuan menghukum raja Jawa. Berkat kepiawaian diplomasi Raden Wijaya beserta para kadeyannya seperti Lembu Sora, Ranggalawe, Nambi, Juru Demung, dan lain-lain, kekuasaan atas Tanah Jawa kembali ke tangan mereka, dan tentara Tartar diusir pulang ke negerinya. Maka, berdirilah Wilwatikta (Majapahit), penerus Kerajaan Singasari, dengan raja-rajanya yang masih keturunan Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amuwarbhumi, epitet resmi bagi Ken Arok.
Sebuah prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta (no. D.111) menyebut pendirian bangunan suci (caiya) untuk memperingati berpulangnya Raja Krtanagara ke alam Siwabuddha (sang lumah ri Siwabuddha). Mahamantrimukya Rakryan Mapatih Mpu Mada meresmikan bangunan itu pada 27 April 1351 M. Bangunan suci yang dimaksudkan dalam prasasti tersebut tentunya Candi Singasari, yang terletak di Malang, karena prasasti itu ditemukan di situs candi tersebut.
Arsitektur candi itu tidak lazim dijumpai pada candi-candi umumnya: bilik-bilik tempat persemayaman arca justru terdapat di bagian kaki candi, tubuh candi pejal, dan atap prasadanya menjulang menusuk langit. Keunikan arsitektur Candi Singasari segera merebut perhatian para pejabat dan cendekiawan Belanda sejak awal abad ke-19. Apalagi ketika mereka menyaksikan arca-arca pengisi bilik candi yang digarap begitu sempurna—permukaannya halus, sangat menampilkan sifat plastisnya. Dapat ditafsirkan, para silpin yang mengerjakan arca-arca itu begitu dalam yoganya, begitu tyaga ilmu agamanya.
Terperangah oleh keindahan arca-arca Candi Singasari, Nicolaus Engelhard, pejabat kolonial untuk wilayah Pantai Timur Laut Jawa, pada 1804, telah memindahkan enam arca dari situs Candi Singasari. Peristiwa itu cepat mengundang kecaman dari para cendekiawan dan pejabat Belanda waktu itu. Untuk menghindari tuduhan bahwa ia telah merampok arca-arca itu, Engelhard mengajukan dua dalih. Pertama, karena penduduk setempat sudah tak lagi melakukan pemujaan terhadap arca-arca itu. Kedua—ini lebih masuk akal—ia ingin melindungi arca-arca itu dari kerusakan.
Tidak jelas bagaimana jalurnya, sekitar 20 tahun kemudian lima arca dari Candi Singasari sudah berada di Negeri Belanda. Mereka adalah Durga Mahisasuramardini, Ganesa, Bhairawa Chakra-chakra, Mahakala, dan Nandiswara. Arca Nandi telah dilepaskan dan sekarang mendekam abadi di taman tengah Gedung Museum Nasional. Satu arca lagi yang sangat rusak, telah pecah-pecah, ditinggalkannya di situs Candi Singasari, yaitu arca Rai Agastya.
Perbuatan aib Engelhard tersebut terus dikecam para ahli sejarah kebudayaan Indonesia bangsa Belanda, antara lain N.J. Krom. Pada awal abad ke-20 ia mencela alasan Engelhard—alasan pertama hanya bertujuan menyembunyikan hasratnya untuk menguasai arca-arca Candi Singasari, sedangkan alasan kedua alasan yang dicari-cari sehingga orang mau menyetujui perbuatannya itu. Jessy Blom, juga sejarawan, bahkan menyatakan rusaknya arca Agastya yang masih ada di Candi Singasari akibat usaha Engelhard mengeluarkan arca itu dari biliknya.
Kini, 19 Agustus-15 November 2005, di Museum Nasional Jakarta, arca-arca Candi Singasari yang dahulu dibawa oleh Engelhard ke Negeri Belanda itu dipamerkan. Pameran hasil kerja sama Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden, dengan Museum Nasional itu adalah pameran kesedihan bagi sejarah kuna Indonesia. Arca-arca itu dulu merupakan bentuk pemuliaan Paduka Bhatara Sang Lumah ri Siwabuddha (Krtanagara), perintis konsep dwipantaramandala, dan sekarang tidak berada di caityanya lagi.
Arca-arca itu jelas sangat penting bagi kajian perkembangan agama dan kesenian Indonesia kuna. Tiada arca Durga yang memakai penutup dada kecuali Durga Singasari, tiada arca Ganesa yang duduk dengan satu kakinya dilipat berdiri kecuali Ganesa Singasari, dan tiada lagi arca Chakra-chakra dari kebudayaan Hindu-Buddha Indonesia kuna kecuali Chakra-chakra Singasari.
Arca-arca itu unikum, sebagaimana arca Prajnaparamita Singasari yang telah dikembalikan oleh Negeri Belanda ke Republik Indonesia pada 1978. Dan sekarang kita menunggu pengembalian lima arca Candi Singasari itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo