SEMENTARA tangan kirinya menggenggam beberapa helai kertas,
tangan yang lain tak henti-henti menghempas ke sana ke mari
dengan kesal. "Ayo menghadap kamera. Lenggang-lenggoknya yang
memikat -- nah, nah . . . kamera siap, . . . shoot!" suaranya
keras mengomando. Dan juru kamera pun memberondong adegan itu.
Begitu adegan selesai, Terkelin Tarigan tertawa puas. Ia pun
menyalami para pemain acara Bhineka Tunggal Ika dari Kabupaten
Kampar, Riau, yang disiarkan TVRI Medan bulan lalu. "Nah, begitu
akting yang baik -- bagus semuanya," tambah pengarah acara TVRI
Studio Medan itu.
Tentu saja para pemain masih agak kikuk menerima keramahan
Terkelin itu. Sebab dalam benak mereka tentu masih terkesan
betapa garang dia sewaktu mengatur adegan-adegan tadi. Tapi
rupanya memang begitulah cara pengarah acara bekas pemain
sandiwara itu bekerja: galak setengah mati ketika sedang
bekerja, tapi sesudah itu ia adalah laki-laki yang ramah.
Sebagai pengarah acara, ia memang raja pada saat-saat
rekaman. Sasarannya tak hanya para pemain, juga petugas-petugas
lainnya. "Bisa saja juru kamera saya maki habis-habisan kalau
bekerja acak-acakan," tuturnya, "namun kami selalu bekerja
kompak, sebab memproduksi film tv adalah kerja kroyokan."
Untuk menghilangkan kesan angkernya itulah Terkelin cepat-cepat
mengubah suasana bila rekaman rampung. Apalagi karena anak
mantri obat dari Pematang Siantar itu memang pandai bergaul.
"Ditambah lagi, gayanya seperti pemuda masa kini," komentar
seorang rekannya. Tak heran, bila di luar saat-saat rekaman ia
selalu dikerubungi gadis gadis.
Sikap baik hati dengan anak buah itu rupanya tidak selalu
menguntungkan Terkelin Tarigan, 31 tahun. Flora, istrinya yang
dikawininya 1977 minggat karena cemburu melihat pengarah acara
ini selalu dikelilingi gadis-gadis cantik.
Waktu itu ia baru saja pulang dari membuat film di kota turis
Brastagi Oktober 1978 tengah malam. Ia membawa sebungkus mie
goreng yang menjadi kesukaan istrinya. Setelah mendobrak pintu
Terkelin menjadi lemas membaca secarik kertas di meja tamu.
"Selamat berpisah, tak usah mencari aku lagi. Tertanda Flora,"
kata Terkelin mengungkap lagi surat istrinya. Istrinya minta
cerai.
Perkawinan yang baru membuahkan seorang anak, Boy, sekarang 3«
tahun, memang sudah terancam bubar sejak beberapa lama. Cekcok
beruntun sejak Terkelin sering membuat film , di luar kota.
"Flora termakan isu, mencemburui saya "ada main" dengan artis
yang sering main di tv Medan," katanya. Istrinya memberi
pilihan: bekerja di tv atau bercerai. "Jelas saya tidak mungkin
berhenti dari tv karena sudah menjadi bagian hidup saya,"
ujarnya.
Flora sekarang sudah menjadi istri orang lain. Sedang Terkelin
kini tetap menduda samhil mengasuh Boy.
Pekerjaan sebagai pengarah acara ternyata bukan hanya pada saat
rekaman. Tiar Muslim, 42 tahun, pengarah acara drama bukan
tradisional TV Stasiun Jakarta, sudah nongkrong memgamati grup
drama sejak saat-saat latihan. Bila latihan sudah baik, ia
langsung menentukan jadwal rekaman. "Tapi kalau jelek, ada satu
dua pemain yang lemah, saya sarankan untuk diganti," kata Tiar.
Susahnya, tidak semua grup drama menerima sarannya. Alasannya,
mengganti pemain tidak gampang. Pimpinan grup memilih pemain
yang jelek itu tidak disorot kamera daripada harus menggantinya.
"Biasanya, saya menolak grup semacam ini. Yang dipertaruhkan
bukan hanya nama saya, tapi juga nama grup itu," kata Tiar
Muslim.
Protes dan maki-maki dilancarkan padanya setiap kali ia harus
mencoret suatu grup drama dari daftar rekaman. "Biar sudah
latihan keras berbulan-bulan, kalau hasilnya tidak layak siaran,
tetap saya tolak," kata Tiar yang dengan nama Tiar Malang
pernah main film Detik-Detik Revolusi dan Sesudah Subub. Ia
memang mengerti kekecewaan mereka yang sudah mengeluarkan banyak
uang dan tenaga untuk latihan. Tapi Tiar lebih memilih dimaki
satu grup drama daripada mengecewakan penonton. "Itu
tanggungjawab saya," ujarnya.
Yang harus dihadapi pengarah acara ternyata bukan hanya
kemarahan pemain yang urung nampang di layar tv. "Saya masih
harus bertanggungjawab pada Badan Perencanaan Siaran (Bapersi)
TVRI yang bertugas semacam badan sensur," katanya. Badan itu
tidak segan-segan memotong bagian yang kurang baik atau berbau
SARA. Tidak hanya itu. Kadang-kadang ia ditegur bila ada bagian
yang tidak pantas direkam. Bahkan kadangkala hasil jerih
payahnya ditolak sama sekali. "Karena itu, saya selalu
berhati-hati," katanya.
Sejak 14 tahun mengabdi TVRl Stasiun Jakarta, Tiar menduduki
kursi pengarah acara selama 11 tahun. Ternyata jabatannya tidak
selamanya dimaki dan diprotes orang. "Dulu, sebulan bisa
memegang sepuluh acara. Sekarang paling-paling cuma kebagian
satu atau dua acara saja," katanya. Sebab untuk drama bukan
tradisional -- di luar lenong, ludruk, wayang orang, ketoprak
dan lain-lain -- sudah diangkat tujuh pengarah acara. Artinya ia
tidak terlalu pontang-panting lagi mengurus rekaman.
Selama menjadi pengarah acara, macam-macam kejengkelan pernah
dialaminya. Misalnya jika harus melayani permintaan ini dan itu
dari pemain yang akan direkam. "Oom, nanti saya disorot agak
lama dong," bisik seorang gadis sebelum maju ke depan kamera.
"Pokoknya beres," jawaban yang sudah otomatis keluar dari mulut
Tiar. Tapi dengan cepat pula ia menjelaskan, tanpa diminta pun
kalau memang adegan menghendaki demikian, pasti akan muncul lama
di layar tv.
Sampai sekarang ia senang menggeluti profesinya, walau ia sering
mendengar keluhan grup-grup drama tentang honor yang kecil.
Anggaran yang disediakan TVRI paling tinggi cuma Rp 125 ribu
untuk satu rekaman.
Kalau sedang bekerja Agus Sumarno, 52 tahun, pengarah acara
ketoprak dan wayang orang TVRI Stasiun Yogyakarta, sering
seperti "lupa diri". Laki-laki yang kelihatan lebih muda dari
usianya 51 tahun itu, dengan sigap mengurus persiapan acara
gending-gending Jawa oleh perkumpulan istri polisi Yogya 15 Juni
lalu. Komposisi penabuh dan gamelan, tempat kamera dan cara
kamera ia atur sendiri. Begitu acara Mimbar Televisi hampir
rampung, Agus Sumarno buru-buru meloncat ke ruang sub kontrol
yang terletak di atas studio I.
Masih terengah-engah, ia sumbat telinganya dengan earphone yang
menghubungkannya dengan juru kamera. Didampingi petugas pemadu
gambar (switcher) dan pengatur suara (audioman) ia mulai
berteriak: "Kamera satu up, tahan kamera dua, dua pada vokal,
kamera satu out . . . " -- sambil tangannya bergerak-gerak turun
naik dan menunjuk-nunjuk ke kamera yang ada. Ia mengaku harus
bekerja seperti kesetanan karena terkadang harus berhadapan
dengan pemain yang masih canggung dan peralatan yang sering
macet. "Kami berhadapan dengan alat elektronik. Semula baik tapi
bisa saja tiba-tiba macet," katanya lagi.
Atmonadi
Agus Sumarno rupanya cukup tepat sebagai pengarah acara ketoprak
dan wayang orang. Tapi kadang-kadang secara serabutan ia bisa
pula menggantikan acara lain misalnya uyon-uyon atau tari Jawa.
"Sejak kecil saya sudah menjadi pemain ketoprak," kata pegawai
negeri golongan IIIA yang berpenghasilan Rp 125 ribu sebulan
untuk menghidupi istri dan tujuh anaknya. "Kalau kerja di luar
jam kerja, cuma ada uang makan Rp 500," katanya.
Pendahulu Agus, Habib Bari, 42 tahun, yang kini menjabat Kepala
Bagian Siaran TVRI Yogya, mempunyai pengalaman lain sebagai
pengara acara kesenian daerah. Suatu ketika, pelawak kenamaan
kota gudeg, Atmonadi, akan mentas di layar tv. Beberapa saat
sebelum siaran, pasangan Atmonadi absen karena sakit. Setelah
memutar akal, Habib Bari menyambar pakaian pelawak yang
disediakan dan menyeret Atmonadi ke depan kamera untuk melawak.
Tugas semacam itu bukan hanya sekali. Pernah pula harus
berpasangan dengan penari Sukarjomo menari "Kelono Topeng".
"Mungkin penonton tidak tahu yang melawak dan menari itu
pengarah acara," katanya.
Mengganti pemain yang seharusnya tampil di layar tv, tidak dapat
dilakukan semua pengarah acara. Chris Pattikawa, pengarah acara
senior untuk musik dan hiburan TVRI Stasiun Jakarta tidak mudah
bertindak seperti Habib Bari. Sebab yang sering dia hadapi
adalah artis yang sudah dikenal penonton. "Yang dituntut dari
pengarah acara bidang musik ialah pengetahuan yang luas dan
punya feeling yang kuat," katanya pada TEMPO. Di samping itu, ia
juga harus memadukan gambar yang diambil jurukamera, suara dan
akting penyanyi. Untuk itu, dengan cermat ia memberi petunjuk
kepada para penyanyi dan pemusik sebelum mulai rekaman: cara
berjalan, berapa langkah maju sebelum buka mulut, berpaling
sedikit, kapan akan diclose-up dan lain-lain.
Rasa Susila
Pada waktu rekaman mulai, ia lebih banyak bertindak sebagai
pengawas. Kadang-kadang ia mengayunkan tangannya memberi tanda
pada penyanyi untuk menyanyi atau mundur kalau penampilan
meleset dari rencana.
Untuk suksesnya suatu penampilan, Chris tidak segan-segan
mendiskusikan rencana acara dengan penyanyi dan pemusiknya.
Contohnya sewaktu Sopbisticated, kelompok penyanyi wanita dari
Amerika Serikat tampil di tv. Chris terus terang bicara soal
pakaian. Alasannya, penonton Indonesia belum bisa menerima cara
berpakaian yang "bebas". "Dan mereka setuju untuk berpakaian
yang tidak menyinggung rasa susila," kata Chris yang menjadi
pengarah acara sejak 1963.
Berdiskusi dan memberi pengarahan pada artis yang sering muncul
di TV lebih gampang. Ia tidak pernah mendapat kesulitan
berhubungan dengan Bob Tutupoli, Marini atau artis senior
lainnya. "Andi Meriam Matalata, walau agak pemalu, cepat
menangkap ide pengarah acara, " kata Chris tertawa.
Meski demikian ia tidak jarang melontarkan makian kalau
penampilan meleset dari rencana. "Untung semua artis kenal sifat
saya," katanya. Untuk "mendamaikan", ia sering membawa ..para
artis itu makan bersama di restoran. "Hubungan pengarah acara
dan artis bukan hanya waktu rekaman," katanya. Di luar rekaman,
mereka harus berteman baik. Tentu saja ia harus merogoh
kantungnya untuk membayari semua itu. "Anggaran dari TVRI tak
sampai menjangkau hal seperti itu," tambahnya. Tapi ia merasa
senang asal hasil rekamannya sukses.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini