Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Raja-Raja Di Belakang Layar

Pengarah acara dianggap "raja" dalam tiap rekaman untuk siaran tvri, ada yang harus menggantikan penari dan pelawak. ada yang terpaksa cerai karena dicemburui istri. (sd)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Raja-Raja Di Belakang Layar
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEMENTARA tangan kirinya menggenggam beberapa helai kertas, tangan yang lain tak henti-henti menghempas ke sana ke mari dengan kesal. "Ayo menghadap kamera. Lenggang-lenggoknya yang memikat -- nah, nah . . . kamera siap, . . . shoot!" suaranya keras mengomando. Dan juru kamera pun memberondong adegan itu. Begitu adegan selesai, Terkelin Tarigan tertawa puas. Ia pun menyalami para pemain acara Bhineka Tunggal Ika dari Kabupaten Kampar, Riau, yang disiarkan TVRI Medan bulan lalu. "Nah, begitu akting yang baik -- bagus semuanya," tambah pengarah acara TVRI Studio Medan itu. Tentu saja para pemain masih agak kikuk menerima keramahan Terkelin itu. Sebab dalam benak mereka tentu masih terkesan betapa garang dia sewaktu mengatur adegan-adegan tadi. Tapi rupanya memang begitulah cara pengarah acara bekas pemain sandiwara itu bekerja: galak setengah mati ketika sedang bekerja, tapi sesudah itu ia adalah laki-laki yang ramah. Sebagai pengarah acara, ia memang raja pada saat-saat rekaman. Sasarannya tak hanya para pemain, juga petugas-petugas lainnya. "Bisa saja juru kamera saya maki habis-habisan kalau bekerja acak-acakan," tuturnya, "namun kami selalu bekerja kompak, sebab memproduksi film tv adalah kerja kroyokan." Untuk menghilangkan kesan angkernya itulah Terkelin cepat-cepat mengubah suasana bila rekaman rampung. Apalagi karena anak mantri obat dari Pematang Siantar itu memang pandai bergaul. "Ditambah lagi, gayanya seperti pemuda masa kini," komentar seorang rekannya. Tak heran, bila di luar saat-saat rekaman ia selalu dikerubungi gadis gadis. Sikap baik hati dengan anak buah itu rupanya tidak selalu menguntungkan Terkelin Tarigan, 31 tahun. Flora, istrinya yang dikawininya 1977 minggat karena cemburu melihat pengarah acara ini selalu dikelilingi gadis-gadis cantik. Waktu itu ia baru saja pulang dari membuat film di kota turis Brastagi Oktober 1978 tengah malam. Ia membawa sebungkus mie goreng yang menjadi kesukaan istrinya. Setelah mendobrak pintu Terkelin menjadi lemas membaca secarik kertas di meja tamu. "Selamat berpisah, tak usah mencari aku lagi. Tertanda Flora," kata Terkelin mengungkap lagi surat istrinya. Istrinya minta cerai. Perkawinan yang baru membuahkan seorang anak, Boy, sekarang 3« tahun, memang sudah terancam bubar sejak beberapa lama. Cekcok beruntun sejak Terkelin sering membuat film , di luar kota. "Flora termakan isu, mencemburui saya "ada main" dengan artis yang sering main di tv Medan," katanya. Istrinya memberi pilihan: bekerja di tv atau bercerai. "Jelas saya tidak mungkin berhenti dari tv karena sudah menjadi bagian hidup saya," ujarnya. Flora sekarang sudah menjadi istri orang lain. Sedang Terkelin kini tetap menduda samhil mengasuh Boy. Pekerjaan sebagai pengarah acara ternyata bukan hanya pada saat rekaman. Tiar Muslim, 42 tahun, pengarah acara drama bukan tradisional TV Stasiun Jakarta, sudah nongkrong memgamati grup drama sejak saat-saat latihan. Bila latihan sudah baik, ia langsung menentukan jadwal rekaman. "Tapi kalau jelek, ada satu dua pemain yang lemah, saya sarankan untuk diganti," kata Tiar. Susahnya, tidak semua grup drama menerima sarannya. Alasannya, mengganti pemain tidak gampang. Pimpinan grup memilih pemain yang jelek itu tidak disorot kamera daripada harus menggantinya. "Biasanya, saya menolak grup semacam ini. Yang dipertaruhkan bukan hanya nama saya, tapi juga nama grup itu," kata Tiar Muslim. Protes dan maki-maki dilancarkan padanya setiap kali ia harus mencoret suatu grup drama dari daftar rekaman. "Biar sudah latihan keras berbulan-bulan, kalau hasilnya tidak layak siaran, tetap saya tolak," kata Tiar yang dengan nama Tiar Malang pernah main film Detik-Detik Revolusi dan Sesudah Subub. Ia memang mengerti kekecewaan mereka yang sudah mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk latihan. Tapi Tiar lebih memilih dimaki satu grup drama daripada mengecewakan penonton. "Itu tanggungjawab saya," ujarnya. Yang harus dihadapi pengarah acara ternyata bukan hanya kemarahan pemain yang urung nampang di layar tv. "Saya masih harus bertanggungjawab pada Badan Perencanaan Siaran (Bapersi) TVRI yang bertugas semacam badan sensur," katanya. Badan itu tidak segan-segan memotong bagian yang kurang baik atau berbau SARA. Tidak hanya itu. Kadang-kadang ia ditegur bila ada bagian yang tidak pantas direkam. Bahkan kadangkala hasil jerih payahnya ditolak sama sekali. "Karena itu, saya selalu berhati-hati," katanya. Sejak 14 tahun mengabdi TVRl Stasiun Jakarta, Tiar menduduki kursi pengarah acara selama 11 tahun. Ternyata jabatannya tidak selamanya dimaki dan diprotes orang. "Dulu, sebulan bisa memegang sepuluh acara. Sekarang paling-paling cuma kebagian satu atau dua acara saja," katanya. Sebab untuk drama bukan tradisional -- di luar lenong, ludruk, wayang orang, ketoprak dan lain-lain -- sudah diangkat tujuh pengarah acara. Artinya ia tidak terlalu pontang-panting lagi mengurus rekaman. Selama menjadi pengarah acara, macam-macam kejengkelan pernah dialaminya. Misalnya jika harus melayani permintaan ini dan itu dari pemain yang akan direkam. "Oom, nanti saya disorot agak lama dong," bisik seorang gadis sebelum maju ke depan kamera. "Pokoknya beres," jawaban yang sudah otomatis keluar dari mulut Tiar. Tapi dengan cepat pula ia menjelaskan, tanpa diminta pun kalau memang adegan menghendaki demikian, pasti akan muncul lama di layar tv. Sampai sekarang ia senang menggeluti profesinya, walau ia sering mendengar keluhan grup-grup drama tentang honor yang kecil. Anggaran yang disediakan TVRI paling tinggi cuma Rp 125 ribu untuk satu rekaman. Kalau sedang bekerja Agus Sumarno, 52 tahun, pengarah acara ketoprak dan wayang orang TVRI Stasiun Yogyakarta, sering seperti "lupa diri". Laki-laki yang kelihatan lebih muda dari usianya 51 tahun itu, dengan sigap mengurus persiapan acara gending-gending Jawa oleh perkumpulan istri polisi Yogya 15 Juni lalu. Komposisi penabuh dan gamelan, tempat kamera dan cara kamera ia atur sendiri. Begitu acara Mimbar Televisi hampir rampung, Agus Sumarno buru-buru meloncat ke ruang sub kontrol yang terletak di atas studio I. Masih terengah-engah, ia sumbat telinganya dengan earphone yang menghubungkannya dengan juru kamera. Didampingi petugas pemadu gambar (switcher) dan pengatur suara (audioman) ia mulai berteriak: "Kamera satu up, tahan kamera dua, dua pada vokal, kamera satu out . . . " -- sambil tangannya bergerak-gerak turun naik dan menunjuk-nunjuk ke kamera yang ada. Ia mengaku harus bekerja seperti kesetanan karena terkadang harus berhadapan dengan pemain yang masih canggung dan peralatan yang sering macet. "Kami berhadapan dengan alat elektronik. Semula baik tapi bisa saja tiba-tiba macet," katanya lagi. Atmonadi Agus Sumarno rupanya cukup tepat sebagai pengarah acara ketoprak dan wayang orang. Tapi kadang-kadang secara serabutan ia bisa pula menggantikan acara lain misalnya uyon-uyon atau tari Jawa. "Sejak kecil saya sudah menjadi pemain ketoprak," kata pegawai negeri golongan IIIA yang berpenghasilan Rp 125 ribu sebulan untuk menghidupi istri dan tujuh anaknya. "Kalau kerja di luar jam kerja, cuma ada uang makan Rp 500," katanya. Pendahulu Agus, Habib Bari, 42 tahun, yang kini menjabat Kepala Bagian Siaran TVRI Yogya, mempunyai pengalaman lain sebagai pengara acara kesenian daerah. Suatu ketika, pelawak kenamaan kota gudeg, Atmonadi, akan mentas di layar tv. Beberapa saat sebelum siaran, pasangan Atmonadi absen karena sakit. Setelah memutar akal, Habib Bari menyambar pakaian pelawak yang disediakan dan menyeret Atmonadi ke depan kamera untuk melawak. Tugas semacam itu bukan hanya sekali. Pernah pula harus berpasangan dengan penari Sukarjomo menari "Kelono Topeng". "Mungkin penonton tidak tahu yang melawak dan menari itu pengarah acara," katanya. Mengganti pemain yang seharusnya tampil di layar tv, tidak dapat dilakukan semua pengarah acara. Chris Pattikawa, pengarah acara senior untuk musik dan hiburan TVRI Stasiun Jakarta tidak mudah bertindak seperti Habib Bari. Sebab yang sering dia hadapi adalah artis yang sudah dikenal penonton. "Yang dituntut dari pengarah acara bidang musik ialah pengetahuan yang luas dan punya feeling yang kuat," katanya pada TEMPO. Di samping itu, ia juga harus memadukan gambar yang diambil jurukamera, suara dan akting penyanyi. Untuk itu, dengan cermat ia memberi petunjuk kepada para penyanyi dan pemusik sebelum mulai rekaman: cara berjalan, berapa langkah maju sebelum buka mulut, berpaling sedikit, kapan akan diclose-up dan lain-lain. Rasa Susila Pada waktu rekaman mulai, ia lebih banyak bertindak sebagai pengawas. Kadang-kadang ia mengayunkan tangannya memberi tanda pada penyanyi untuk menyanyi atau mundur kalau penampilan meleset dari rencana. Untuk suksesnya suatu penampilan, Chris tidak segan-segan mendiskusikan rencana acara dengan penyanyi dan pemusiknya. Contohnya sewaktu Sopbisticated, kelompok penyanyi wanita dari Amerika Serikat tampil di tv. Chris terus terang bicara soal pakaian. Alasannya, penonton Indonesia belum bisa menerima cara berpakaian yang "bebas". "Dan mereka setuju untuk berpakaian yang tidak menyinggung rasa susila," kata Chris yang menjadi pengarah acara sejak 1963. Berdiskusi dan memberi pengarahan pada artis yang sering muncul di TV lebih gampang. Ia tidak pernah mendapat kesulitan berhubungan dengan Bob Tutupoli, Marini atau artis senior lainnya. "Andi Meriam Matalata, walau agak pemalu, cepat menangkap ide pengarah acara, " kata Chris tertawa. Meski demikian ia tidak jarang melontarkan makian kalau penampilan meleset dari rencana. "Untung semua artis kenal sifat saya," katanya. Untuk "mendamaikan", ia sering membawa ..para artis itu makan bersama di restoran. "Hubungan pengarah acara dan artis bukan hanya waktu rekaman," katanya. Di luar rekaman, mereka harus berteman baik. Tentu saja ia harus merogoh kantungnya untuk membayari semua itu. "Anggaran dari TVRI tak sampai menjangkau hal seperti itu," tambahnya. Tapi ia merasa senang asal hasil rekamannya sukses.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus