Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Benua Yang Diputihkan

Nasib kaum aborigin, penduduk asli australia. kini jumlah mereka berkisar 200-300 ribu. itupun tak semuanya berdarah murni. diskriminasi masih merupakan gejala yang kuat dalam masyarakat kulit putih.

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Dari Benua Yang Diputihkan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KALAU tak ada arah melintang, tak lama lagi Australia akan berpesta pora. Pemerintah negeri itu sedang merancang peringatan '200 Tahun Australia'. Panitia nasional sudah dibentuk, bahkan telah memulai kampanye sejak awal tahun ini. Berbeda dari misalnya perayaan 200 tahun Amerika Serikat, lima tahun lalu (yang mengambil titik tolak saat kemerdekaan negeri itu pada 1776), perayaan Australia bertolak dari peristiwa Pendaratan pertama orang-orang Eropa di benua itu. Tahunnya tercatat 1788. Belum bisa dihitung berapa ton mercon dan kembang api yang bakal dibakar nanti. Toko makanan dan minuman sudah pada mulai menghitung untung, begitu juga kantor pariwisata. Tapi di balik semua gairah, terdengar pekik protes yang lantang. Berbagai kelompok masyarakat Aborigin -- pribumi Australia --menyindir pesta itu dengan nada tak sedap. Misalnya awal Februari lalu. Waktu itu 'Konperensi Sejarah 200 Tahun ' lagi berlangsung di Canberra. Dari mimbar, hadirin mendengar amarah seorang tokoh wanita Aborigin, Marcia Langton. Dengan semburan berapi-api ia berkata: "Orang kulit putih tidak berhak menulis sejarah Australia. Sejarah itu milik kaum Aborigin." la menerangkan: "Cara kami mempelajari sejarah kami ialah dengan menuturkannya di antara kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan yang sama. Marcia Langton akhirnya toh sudi berdamai. Konperensi berhagil mencapai 'kompromi'. Menyimpang dari kebiasaan lama, tokoh-tokoh Aboriein akan menuliskan sejarah mereka -- dalam rangka meramaikan peringatan itu. Sejak sekarang orang sudah tak sabar menantikan hasilnya. Nasib kaum Aborigin memang tak jauh beda dari peruntungan kerabat mereka di benua Amerika: bangsa Indian. Dalam banyak hal, orang Indian bahkan lebih beruntung. Misalnya, yah -- masuk cerita film, sekalipun biasanya muncul sebagai biang keladi huru-hara alias kambing hitam. Sebelum orang Eropa menguasai Australia - dan Tasmania -- jumlah penduduk pribumi di situ diduga sekitar 300 sampai 500 ribu. Setelah hampir 200 tahun, angka itu bukannya bertambah. Kini jumlah mereka berkisar antara 200 dan 300 ribu. Itupun tak semuanya berdarah murni. Di Tasmania, sebuah pulau lepas pantai Australia Selatan, sejak pertengahan tahun 1800-an kaum Aborigin lenyap sama sekali. Sejarah memang mencatat masa itu sebagai periode "perdamaian melalui senjata" di Australia. Dan tak terbilang kaum Aborigin yang dibunuhi di masa "perdamaian" itu. Tragedi inilah yang diungkapkan dalam The Last Tasmanian, sebuah film dokumenter yang memenangkan berbagai hadiah dalam beberapa pesta film internasional. Film itu menceritakan kehidupan -- dan kematian -- seorang wanita Aborigin bernama Trugannini, "insan pribumi Tasmania terakhir." Setelah ia wafat -- demikian film tadi -- kerangka Trugannini dipajang di museum, "supaya para ilmuwan di masa depan dapat mempelajari anatominya." Adakah sang pembuat film demikian pesimistis, sampai membayangkan, pada suatu waktu kaum Aborigin bakal lenyap dari muka bumi? Sejak hampir 200 tahun lalu, pemerintah Australia selalu berhadapan dengan problem populasi penduduk asli. Karena itu kebijaksanaan yang dijalankan administrasi kolonial yang pertama ialah: membunuhi mereka sebanyak mungkin. Edan, bukan? Kini kebijaksanaan tersebut sudah tentu jauh berbeda. Tapi memang susah mengelakkan kesan, bahwa diskriminasi masih merupakan gejala yang kuat dalam masyarakat putih itu. Tahun lalu Dewan Gereja-gereja se-Dunia bersidang di Melbourne. Dalam sebuah pernyataannya, badan yang beranggotakan 300 gereja dari seluruh pelosok bumi itu berkata: "Kaum Aborigin telah dirampok. Mereka telah kehilangan tanah, yang mengandung bahan tambang tak tepermanai. Dan kehilangan warisan rohani, yang digantikan oleh penyekapan rasial dan kultural. "Padahal gereja sudah ada di Australia, seperti juga di Amerika, sejak kedatangan orang putih 200 tahun lalu. Tapi perhatian DGD memang tak berhenti sampai di situ. Akhir Juni ini, badan internasional tersebut mengutus sebuah tim dalam 'Program Memerangi Rasisme' ke Australia-dikepalai Prof. Anwar Barkat, dari Pakistan. Berada sebulan di sana, tim kelak melaporkan hasil pengamatannya ke markas besar DGD di Jenewa. Tampaknya keresahan memikirkan nasib Aborigin juga meliputi tokoh-tokoh masyarakat (putih) Australia sendiri. Awal Juni ini, Prof. Fred Hollows meletakkan jabatannya sebagai Direktur Program Nasional Pemberantasan Trakhoma dan Penyakit Mah Australia. Langkah ini diambilnya sebagai "protes atas keputusan pemerintah yang akan menyerahkan tanggung jawab kesehatan kaum Aborigin kepada provinsi-provinsi." Hollows, dokter mata dengan reputasi internasional itu, adalah seorang emigran dari Selandia Baru. Ia melihat kebijaksanaan itu sebagai sekedar usaha memotong dana -- yang dalam kata-kata PM Malcolm Fraser dicanangkan sebagai "mengurangi inflasi." "Saya tidak tahan bekerjasama dengan pemerintah," yang mengambil kebijaksanaan seperti itu. "Justru pemerintah provinsilah yang boleh dikatakan sudah berhasil membubuhi kaum Aborigin pada masa lampau," kata sang profesor. Buruknya tingkat kesehatan kaum Aborigin sekarang, memang diakui pihak resmi. Berbicara dalam Austrlian Medical Congress ke-6, Februari lalu, Menteri Urusan Aborigin Peter Baume mengemukakan data yang sama sekali tidak menggembirakan. Batas usia rata-rata kaum Aborigin 52 tahun. Artinya 20 tahun lebih singkat ketimbang orang putih Australia. Kematian pada usia muda sekitar tiga kali lebih tinggi. Anaemia malah sepuluh kali. Trakhoma bahkan sampai 15 kali. TENTANG trakhomi, Rut Coleman, senator dari Partai Buruh, di sidang Senat dua pekan lalu mengemukakan hasil penelitian terakhir di sebuah sekolah di Fitzroy Crossing, Australia Barat. Di sini 80% siswa kena trakhoma, sementara empat orang dari mereka nyaris buta. Mereka itu pun sebagian besar termasuk dalam jumlah 90% yang masih menderita penyakit pendengaran -- di antaranya 20% sangat gawat. Memang bukan semuanya anak hitam. Tapi, seperti diingatkan sang senator, jumlah penderita yang hitam itu 97%. Benar, tidak dilaporkan berapa jumlah siswa sekolah itu. Tapi di beberapa kelompok masyarakat Aborigin, 23-80% anak-anak memang menjadi tuli. Di Senat itu sendiri Coleman bertanya: apa yang diperbuat pemerintah untuk mengatasinya. Dan Peter Baume, Menteri Urusan Aborigin itu -- yang juga seorang dokter -- malah menyayangkan "pengertian yang kurang dan sikap tidak simpatik masyarakat Australia terhadap kebutuhan kesehatan kaum Aborigin." Ia tak lupa menambahkan, kaum Aborigin seolah-olah kasta terbawah bila dihubungkan dengan hak untuk mendapat pendidikan, nafkah dan hak-hak resmi. Sebuah kunjungan ke pemukiman Aborigin yang mana pun, seperti yang juga dilakukan koresponden TEMPO Robin Osborne, akan segera membenarkan hal tersebut. Di kota-kota besar Australia, tempat para Alorigin gentayangan mencari pekerjaan, ghetto mereka merupakan sarang pengangguran, lembah alkohol dan per-bromocorah-an. Juga yang tinggal di kota-kota satelit. Sumber nafkah yang tetap bagi kelompok ini adalah dana penganggur dari pemerintah -- A$ 60 seminggu untuk tiap orang. Sebagian besar uang itu dibelanjakan untuk minuman keras dan makanan paling murah. Mereka tergila-gila pada makanan kaleng, yang oleh orang Australia putih dinamakan junk food. Tinggi dalam kadar gula dan zat tepung, makanan jenis itu sangat miskin protein dan vitamin. Sama sekali tidak membantu daya tahan memerangi penyakit. Untuk membuktikan perbedaan khasiat makanan ini, sebuah riset dilancarkan di Australia Barat. Beberapa keluarga Aborigin dilepas kembali ke tengah alam selama enam bulan. Di sana mereka hidup dari makanan tradisional. Dari sejenis rerumputan liar, mereka memetik biji-bijian yang bisa ditepung dan dibuat roti. Untuk lauk pauk mereka berburu kangguru, ular, burung dan penyu di sungai-sungai. Ketika kelompok-kelompok ini kembali ke kota dan diperiksa, kesehatan mereka ternyata dua kali lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga mengaku menikmati hidup lebih dari yang sudah-sudah. Selama enam tahun di Australia, Prof. Fred Hollows sudah memeriksa dan merawat 104 ribu orang Aborigin. Problem kesehatan kaum ini di pedesaan, katanya, "lebih jelek daripada di Bangla Desh." Di wilayah luas Australia Barat, menurut dia, "ratusan penduduk terancam buta oleh trakhoma." Sementara itu tak terbilang yang "menderita rematik, demam, dan berbagai penyakit yang sebenarnya bisa ditanggulangi hanya dengan penisilin." Ada pula catatan tambahan: sementara orang Aborigin cuma 3% penduduk Australia Barat, 30% dari penghuni penjara di wilayah itu adalah mereka! Kemarahan Prof. Hollows tentu sepenuhnya didukung para pemuka Aborigin. Baru-baru ini mereka hampir tak kuat menahan geram, ketika sebuah laporan rahasia dibocorkan oleh media massa. Laporan itu menyebutkan, konon Australia membelanjakan A$ 200 juta tiap tahun dana kesehatan kaum Aborigin . . . Merasa protes mereka sudah tak didengar di dalam negeri, kaum Aborigin membuka kantor di London, Inggris. Mereka menerbitkan berbagai risalah yang menelanjangi diskriminasi pemerintahan Canberra. Bahkan mengirimkan utusan ke PBB tahun lalu. Gary Foley, seorang penduduk asli yang menjabat sekretaris Organisasi Kesehatan Aborigin, berkata: "Kami mau membangkitkan opini dunia melawan pemerintah Australia. Fraser dan menteri-menterinya beroleh citra baik di dunia ketiga, berkat tindakan baik budi seperti yang mereka pertontonkan dalam menolong krisis di Zimbabwe. Tapi kami akan menghitamkan citra itu -- karena mereka sendiri melakukan tindakan jelek terhadap kaum hitam di negerinya." Prof. Hollows tak sepenuhnya menyalahkan Fraser. "Mungkin PM itu tidak menerima laporan yang tepat," kata sang profesor. Tapi pada gilirannya, PM Fraser menuding kelompok kiri radikal. Memang belum terang-terangan. "Kaum Aborigin akan lebih sengsara kalau mereka mendengarkan kaum perusuh yang memanfaatkan issue ini untuk tujuan politis," kata sang PM. Nah. Sementara persoalan mulai disangkutpautkan dengan politik, nasib kaum Aborigin belum juga tertolong. Prof. Hollows lebih lanjut menemukan bahwa 22% pemuda Aborigin pada usia 12-19 tahun menderita rajasinga. "Ini adalah aib nasional," seru profesor itu. Sedang pengamat yang sinis dan jenaka, menamakan masalah Aborigin ini "problem dunia ketiga di Benua Australia." DI kalangan bisnis ceritanya lain pula. Mereka sudah agak lama dibikin pusing oleh kaum Aborigin yang menuntut ganti rugi tanah mereka. Modal yang ditanamkan untuk penggarapan tanah itu sudah tak terbilang. Australia termasuk kaya akan tembaga, emas, batubara, berlian, bauksit, besi, nikel, dan akhir-akhir ini uranium. Sebagian terbesar benda galian itu ditambang dari tanah adat kaum Aborigin. Mula-mula tuntutan kaum Aborigin ditolak. Tapi akhirnya, maskapaimaskapai yang bekerjasama dengan perusahaan multi-nasional asing itu mau juga membayar. Namun tak sedikit pemuka Aborigin yang mengadu. "Kami ditipu dalam pembayaran ganti rugi itu," kata mereka. Kita tak tahu apakah gambaran yang diberikan film The Last Tasmanian bakal menjadi kenyataan. Tapi kalau dahulu kaum Aborigin masih bisa bertahan dalam 500 puak dan anak-puak, kini jumlah mereka semakin tak berarti. Senjata ciptaan mereka, bumerang, lebih dikenal ketimbang mereka sendiri. Bumerang itu tampaknya sedang meneriang sang pencipta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus