KALAU tak ada arah melintang, tak lama lagi Australia akan
berpesta pora. Pemerintah negeri itu sedang merancang peringatan
'200 Tahun Australia'. Panitia nasional sudah dibentuk, bahkan
telah memulai kampanye sejak awal tahun ini.
Berbeda dari misalnya perayaan 200 tahun Amerika Serikat, lima
tahun lalu (yang mengambil titik tolak saat kemerdekaan negeri
itu pada 1776), perayaan Australia bertolak dari peristiwa
Pendaratan pertama orang-orang Eropa di benua itu. Tahunnya
tercatat 1788. Belum bisa dihitung berapa ton mercon dan kembang
api yang bakal dibakar nanti. Toko makanan dan minuman sudah
pada mulai menghitung untung, begitu juga kantor pariwisata.
Tapi di balik semua gairah, terdengar pekik protes yang lantang.
Berbagai kelompok masyarakat Aborigin -- pribumi Australia
--menyindir pesta itu dengan nada tak sedap. Misalnya awal
Februari lalu. Waktu itu 'Konperensi Sejarah 200 Tahun ' lagi
berlangsung di Canberra.
Dari mimbar, hadirin mendengar amarah seorang tokoh wanita
Aborigin, Marcia Langton. Dengan semburan berapi-api ia berkata:
"Orang kulit putih tidak berhak menulis sejarah Australia.
Sejarah itu milik kaum Aborigin." la menerangkan: "Cara kami
mempelajari sejarah kami ialah dengan menuturkannya di antara
kelompok-kelompok yang memiliki kebudayaan yang sama.
Marcia Langton akhirnya toh sudi berdamai. Konperensi berhagil
mencapai 'kompromi'. Menyimpang dari kebiasaan lama, tokoh-tokoh
Aboriein akan menuliskan sejarah mereka -- dalam rangka
meramaikan peringatan itu. Sejak sekarang orang sudah tak sabar
menantikan hasilnya.
Nasib kaum Aborigin memang tak jauh beda dari peruntungan
kerabat mereka di benua Amerika: bangsa Indian. Dalam banyak
hal, orang Indian bahkan lebih beruntung. Misalnya, yah -- masuk
cerita film, sekalipun biasanya muncul sebagai biang keladi
huru-hara alias kambing hitam.
Sebelum orang Eropa menguasai Australia - dan Tasmania -- jumlah
penduduk pribumi di situ diduga sekitar 300 sampai 500 ribu.
Setelah hampir 200 tahun, angka itu bukannya bertambah.
Kini jumlah mereka berkisar antara 200 dan 300 ribu. Itupun tak
semuanya berdarah murni.
Di Tasmania, sebuah pulau lepas pantai Australia Selatan, sejak
pertengahan tahun 1800-an kaum Aborigin lenyap sama sekali.
Sejarah memang mencatat masa itu sebagai periode "perdamaian
melalui senjata" di Australia. Dan tak terbilang kaum Aborigin
yang dibunuhi di masa "perdamaian" itu.
Tragedi inilah yang diungkapkan dalam The Last Tasmanian, sebuah
film dokumenter yang memenangkan berbagai hadiah dalam beberapa
pesta film internasional. Film itu menceritakan kehidupan -- dan
kematian -- seorang wanita Aborigin bernama Trugannini, "insan
pribumi Tasmania terakhir." Setelah ia wafat -- demikian film
tadi -- kerangka Trugannini dipajang di museum, "supaya para
ilmuwan di masa depan dapat mempelajari anatominya."
Adakah sang pembuat film demikian pesimistis, sampai
membayangkan, pada suatu waktu kaum Aborigin bakal lenyap dari
muka bumi?
Sejak hampir 200 tahun lalu, pemerintah Australia selalu
berhadapan dengan problem populasi penduduk asli. Karena itu
kebijaksanaan yang dijalankan administrasi kolonial yang pertama
ialah: membunuhi mereka sebanyak mungkin. Edan, bukan?
Kini kebijaksanaan tersebut sudah tentu jauh berbeda. Tapi
memang susah mengelakkan kesan, bahwa diskriminasi masih
merupakan gejala yang kuat dalam masyarakat putih itu.
Tahun lalu Dewan Gereja-gereja se-Dunia bersidang di Melbourne.
Dalam sebuah pernyataannya, badan yang beranggotakan 300 gereja
dari seluruh pelosok bumi itu berkata: "Kaum Aborigin telah
dirampok. Mereka telah kehilangan tanah, yang mengandung bahan
tambang tak tepermanai. Dan kehilangan warisan rohani, yang
digantikan oleh penyekapan rasial dan kultural. "Padahal gereja
sudah ada di Australia, seperti juga di Amerika, sejak
kedatangan orang putih 200 tahun lalu.
Tapi perhatian DGD memang tak berhenti sampai di situ. Akhir
Juni ini, badan internasional tersebut mengutus sebuah tim dalam
'Program Memerangi Rasisme' ke Australia-dikepalai Prof. Anwar
Barkat, dari Pakistan. Berada sebulan di sana, tim kelak
melaporkan hasil pengamatannya ke markas besar DGD di Jenewa.
Tampaknya keresahan memikirkan nasib Aborigin juga meliputi
tokoh-tokoh masyarakat (putih) Australia sendiri. Awal Juni ini,
Prof. Fred Hollows meletakkan jabatannya sebagai Direktur
Program Nasional Pemberantasan Trakhoma dan Penyakit Mah
Australia. Langkah ini diambilnya sebagai "protes atas keputusan
pemerintah yang akan menyerahkan tanggung jawab kesehatan kaum
Aborigin kepada provinsi-provinsi."
Hollows, dokter mata dengan reputasi internasional itu, adalah
seorang emigran dari Selandia Baru. Ia melihat kebijaksanaan itu
sebagai sekedar usaha memotong dana -- yang dalam kata-kata PM
Malcolm Fraser dicanangkan sebagai "mengurangi inflasi." "Saya
tidak tahan bekerjasama dengan pemerintah," yang mengambil
kebijaksanaan seperti itu. "Justru pemerintah provinsilah yang
boleh dikatakan sudah berhasil membubuhi kaum Aborigin pada masa
lampau," kata sang profesor.
Buruknya tingkat kesehatan kaum Aborigin sekarang, memang diakui
pihak resmi. Berbicara dalam Austrlian Medical Congress ke-6,
Februari lalu, Menteri Urusan Aborigin Peter Baume mengemukakan
data yang sama sekali tidak menggembirakan.
Batas usia rata-rata kaum Aborigin 52 tahun. Artinya 20 tahun
lebih singkat ketimbang orang putih Australia. Kematian pada
usia muda sekitar tiga kali lebih tinggi. Anaemia malah sepuluh
kali. Trakhoma bahkan sampai 15 kali.
TENTANG trakhomi, Rut Coleman, senator dari Partai Buruh, di
sidang Senat dua pekan lalu mengemukakan hasil penelitian
terakhir di sebuah sekolah di Fitzroy Crossing, Australia Barat.
Di sini 80% siswa kena trakhoma, sementara empat orang dari
mereka nyaris buta. Mereka itu pun sebagian besar termasuk dalam
jumlah 90% yang masih menderita penyakit pendengaran -- di
antaranya 20% sangat gawat. Memang bukan semuanya anak hitam.
Tapi, seperti diingatkan sang senator, jumlah penderita yang
hitam itu 97%.
Benar, tidak dilaporkan berapa jumlah siswa sekolah itu. Tapi di
beberapa kelompok masyarakat Aborigin, 23-80% anak-anak memang
menjadi tuli. Di Senat itu sendiri Coleman bertanya: apa yang
diperbuat pemerintah untuk mengatasinya.
Dan Peter Baume, Menteri Urusan Aborigin itu -- yang juga
seorang dokter -- malah menyayangkan "pengertian yang kurang dan
sikap tidak simpatik masyarakat Australia terhadap kebutuhan
kesehatan kaum Aborigin." Ia tak lupa menambahkan, kaum Aborigin
seolah-olah kasta terbawah bila dihubungkan dengan hak untuk
mendapat pendidikan, nafkah dan hak-hak resmi.
Sebuah kunjungan ke pemukiman Aborigin yang mana pun, seperti
yang juga dilakukan koresponden TEMPO Robin Osborne, akan
segera membenarkan hal tersebut. Di kota-kota besar Australia,
tempat para Alorigin gentayangan mencari pekerjaan, ghetto
mereka merupakan sarang pengangguran, lembah alkohol dan
per-bromocorah-an. Juga yang tinggal di kota-kota satelit.
Sumber nafkah yang tetap bagi kelompok ini adalah dana
penganggur dari pemerintah -- A$ 60 seminggu untuk tiap orang.
Sebagian besar uang itu dibelanjakan untuk minuman keras dan
makanan paling murah.
Mereka tergila-gila pada makanan kaleng, yang oleh orang
Australia putih dinamakan junk food. Tinggi dalam kadar gula
dan zat tepung, makanan jenis itu sangat miskin protein dan
vitamin. Sama sekali tidak membantu daya tahan memerangi
penyakit.
Untuk membuktikan perbedaan khasiat makanan ini, sebuah riset
dilancarkan di Australia Barat. Beberapa keluarga Aborigin
dilepas kembali ke tengah alam selama enam bulan. Di sana mereka
hidup dari makanan tradisional. Dari sejenis rerumputan liar,
mereka memetik biji-bijian yang bisa ditepung dan dibuat roti.
Untuk lauk pauk mereka berburu kangguru, ular, burung dan penyu
di sungai-sungai.
Ketika kelompok-kelompok ini kembali ke kota dan diperiksa,
kesehatan mereka ternyata dua kali lebih baik dari sebelumnya.
Mereka juga mengaku menikmati hidup lebih dari yang sudah-sudah.
Selama enam tahun di Australia, Prof. Fred Hollows sudah
memeriksa dan merawat 104 ribu orang Aborigin. Problem kesehatan
kaum ini di pedesaan, katanya, "lebih jelek daripada di Bangla
Desh."
Di wilayah luas Australia Barat, menurut dia, "ratusan penduduk
terancam buta oleh trakhoma." Sementara itu tak terbilang yang
"menderita rematik, demam, dan berbagai penyakit yang sebenarnya
bisa ditanggulangi hanya dengan penisilin." Ada pula catatan
tambahan: sementara orang Aborigin cuma 3% penduduk Australia
Barat, 30% dari penghuni penjara di wilayah itu adalah mereka!
Kemarahan Prof. Hollows tentu sepenuhnya didukung para pemuka
Aborigin. Baru-baru ini mereka hampir tak kuat menahan geram,
ketika sebuah laporan rahasia dibocorkan oleh media massa.
Laporan itu menyebutkan, konon Australia membelanjakan A$ 200
juta tiap tahun dana kesehatan kaum Aborigin . . .
Merasa protes mereka sudah tak didengar di dalam negeri, kaum
Aborigin membuka kantor di London, Inggris. Mereka menerbitkan
berbagai risalah yang menelanjangi diskriminasi pemerintahan
Canberra. Bahkan mengirimkan utusan ke PBB tahun lalu.
Gary Foley, seorang penduduk asli yang menjabat sekretaris
Organisasi Kesehatan Aborigin, berkata: "Kami mau membangkitkan
opini dunia melawan pemerintah Australia. Fraser dan
menteri-menterinya beroleh citra baik di dunia ketiga, berkat
tindakan baik budi seperti yang mereka pertontonkan dalam
menolong krisis di Zimbabwe. Tapi kami akan menghitamkan citra
itu -- karena mereka sendiri melakukan tindakan jelek terhadap
kaum hitam di negerinya."
Prof. Hollows tak sepenuhnya menyalahkan Fraser. "Mungkin PM itu
tidak menerima laporan yang tepat," kata sang profesor. Tapi
pada gilirannya, PM Fraser menuding kelompok kiri radikal.
Memang belum terang-terangan. "Kaum Aborigin akan lebih sengsara
kalau mereka mendengarkan kaum perusuh yang memanfaatkan issue
ini untuk tujuan politis," kata sang PM.
Nah. Sementara persoalan mulai disangkutpautkan dengan politik,
nasib kaum Aborigin belum juga tertolong. Prof. Hollows lebih
lanjut menemukan bahwa 22% pemuda Aborigin pada usia 12-19 tahun
menderita rajasinga. "Ini adalah aib nasional," seru profesor
itu. Sedang pengamat yang sinis dan jenaka, menamakan masalah
Aborigin ini "problem dunia ketiga di Benua Australia."
DI kalangan bisnis ceritanya lain pula. Mereka sudah agak lama
dibikin pusing oleh kaum Aborigin yang menuntut ganti rugi tanah
mereka. Modal yang ditanamkan untuk penggarapan tanah itu sudah
tak terbilang. Australia termasuk kaya akan tembaga, emas,
batubara, berlian, bauksit, besi, nikel, dan akhir-akhir ini
uranium. Sebagian terbesar benda galian itu ditambang dari tanah
adat kaum Aborigin.
Mula-mula tuntutan kaum Aborigin ditolak. Tapi akhirnya,
maskapaimaskapai yang bekerjasama dengan perusahaan
multi-nasional asing itu mau juga membayar. Namun tak sedikit
pemuka Aborigin yang mengadu. "Kami ditipu dalam pembayaran
ganti rugi itu," kata mereka.
Kita tak tahu apakah gambaran yang diberikan film The Last
Tasmanian bakal menjadi kenyataan. Tapi kalau dahulu kaum
Aborigin masih bisa bertahan dalam 500 puak dan anak-puak, kini
jumlah mereka semakin tak berarti. Senjata ciptaan mereka,
bumerang, lebih dikenal ketimbang mereka sendiri. Bumerang itu
tampaknya sedang meneriang sang pencipta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini