KETIKA Masayoshi Ohira baru saja dilantik sebagai perdana
menteri, 1978, ia hampir saja tewas diserang seseorang. Untung
selamat.
Dari jarak demikian dekat, seorang pembokong di Amerika Serikat
atau Eropa punya kemungkinan besar menewaskan korbannya -- dan
belakangan ini sudah banyak contohnya. Paling tidak si korban
akan terluka. Sebab mereka umumnya menggunakan pistol. Tapi yang
di Jepang ini cuma memakai pisau. Lho! Tentu saja gagal.
Soalnya bukan karena orang Jepang dungu. Soalnya, di Jepang
senjata api termasuk barang terlarang yang sangat diawasi. Untuk
memiliki bedil berburu saja dibutuhkan prosedur pengurusan
berbelit-belit.
Mungkin karena itu orang lalu berpikir, itu sebabnya Jepang
termasuk yang paling aman di dunia. Angka kriminalitasnya rendah
sekali. Dibanding Amerika Serikat, di Jepang tahun lalu terjadi
1,6 pembunuhan di antara 100.000 orang -- sementara di AS 9
kasus. Juga tahun lalu, dengan jumlah orang yang sama, di AS
terjadi 1913 perampokan, di Jepang cuma 17. Penganiayaan 2259 di
AS, di Jepang 25,1. Hanya pencurian saja yang lumayan jumlahnya
-- 9.869 tiap 100.000 orang. Tapi di AS jangan main-main:
46.224. Amerika Serikat termasuk salah satu negara dengan angka
kriminalitas tinggi.
Kota metropolitan di seluruh dunia biasanya sarang berbagai
kejahatan yang aneh-aneh, walaupun negara itu sendiri tergolong
aman. Di Jepang ternyata tidak.
Tahun lalu, di Tokyo terhitung hanya satu saja peristiwa
kriminal yang dianggap serius. Sebuah perampokan yang
menewaskan seorang penjaga. Sebegitu, angka kriminalitas di
kota itu meliputi 17% dari seluruh Jepang.
Pembunuhan lain bukan tak ada. Tahun lalu bahkan terjadi 180
pembunuhan di Tokyo yang berpenduduk 8,4 juta jiwa itu. Sebagai
perbandingan: di Jakarta, yang berpenduduk 6 juta lebih sedikit
-- dan menurut ukuran luar belum terhitung metropolitan -- tahun
kemarin (Januari s/d Juli) terjadi 112 pembunuhan. Berarti 2
hari sekali. Atau kira-kira 183 setahui.
Lebih dari itu, yang unik, bagian besar dari pembunuhar di
Tokyo itu sulit dinamakan kriminalitas seratus persen.
Motivasinya hampir semuanya urusan pribadi. Macam-macam:
percekcokan dalam keluarga, cemburu, sakit hati dan sebangsanya.
"Hampir tak pernah ada seseorang membunuh orang yang tak
dikenalnya," kata Masataka Imaizumi, Kepala Polisi Tokyo kepada
The Christian Science. Berbeda dengan misalnya di Amerika:
seorang pemabuk bisa saja menghabisi nyawa orang lewat yang
menolak memberikan beberapa dolar.
TAPI barangkali sebabnya bukan cuma karena senjata api dilarang
di Jepang. Orang Jepang memang terkenal berdisiplin dalam hal
ketenangan orang lain. Dan punya watak khas bila mereka misalnya
merasa harus berbuat kejahatan. Dengan melihat file beberapa
tahun, Masataka Imaizumi memberi penjelasan: "Dari semua kasus
pembunuhan, 93% pelakunya tertangkap tanpa kesulitan. Bukan
karena kami luar biasa sigap. Tapi karena sebagian besar datang
sendiri menyerahkan diri." Kepala polisi itu juga menerangkan
kebiasaan semacam itu sudah jadi semacam tradisi -- khususnya
bila pelanggaran itu melibatkan nyawa orang. Bukan baru
sekarang, di zaman demokrasi. Tapi sudah sejak zaman militer,
1930-an.
Sebagai imbalannya, polisi Jepang sangat menghargai pengakuan.
Walau ada peluang bagi para hamba hukum untuk melakukan
penangkapan, mereka hampir tak pernah menahan seseorang sebelum
si pelaku mengaku. Hampir tak masuk akal, memang, bila diingat
di hampir semua bahasa dikenal pepatah: jangan minta seorang
maling mengaku. Di Jepang, entah bagaimana bunyi pepatahnya.
Bahkan hakim, yang memutuskan hukuman tanpa juri, menekankan
putusannya pada dokumen pengakuan. Jadi kalau dipikir-pikir,
sebetulnya para pelaku kejahatan sendiri yang menentukan hukuman
mereka.
Tidak berarti polisi di Tokyo tidak disiapkan -- tentu saja.
Menurut catatan akhir 1979, di ibukota itu bertugas 44.238
polisi. Termasuk 1.300 polisi wanita dan 3.162 personil sipil.
Cara melapor di Jepang juga sangat mudah. Tinggal memutar
telepon nomor 110 atau mendatangi box polisi yang dikenal dengan
istilah koban, yang ditempatkan di berbagai penjuru. Sesudah
satu laporan berdering, rata-rata dibutuhkan cuma 4 sampai 5
menit -- dan polisi akan sudah tiba di tempat.
Profesi polisi bahkan lebih dari sekedar penjaga keamanan. NPA
(National Police Agency) ternyata juga melayani berbagai macam
persoalan -- sampai-sampai misalnya menasihati orang sableng
yang berniat bunuh diri. Di Tokyo setiap hari berdering 1.526
laporan -- tapi cuma 12,6% yang betul-betul melibatkan peristiwa
kriminal. Selebihnya urusan yang kadang-kadang bikin ketawa.
Karena itu jabatan polisi jadi semacam kehormatan - yang
membuat seorang polisi sangat bangga. Bukan karena berkuasa,
tapi karena mendapat kepercayaan masyarakat.
Tiga tahun lalu, sebuah peristiwa hitam terjadi di kalangan
polisi ini. Konon ini terberat dalam kurang lebih dua dasawarsa.
Seorang anggota mereka, entah kena setan apa, memperkosa
seorang mahasiswi. Geger jadi besar -- karena bukan cuma si
pemerkosa yang diperhentikan. Beberapa kepala polisi di atasnya
pun ikut berhenti -- karena malu. Bahkan pendidikan bagi polisi,
sejak peristiwa itu, diubah total. Setidak-tidaknya ditambah
jangkanya dari satu tahun menjadi 21 bulan.
Yang betul-betul melakukan tindakan kriminal di Jepang adalah
kelompok-kelompok Mafia. Di sana, mereka dikenal dengan nama
Boryo kudan. Senjata api gelap yang tentu saja ada beredar
rata-rata berada di tangan mereka. Para Mafia ini umumnya
bergerak di bidang "penjagaan keamanan" -- dengan jalan memeras
-- dan penyelundupan obat bius.
Tapi ini pun tak bisa dibilang berat. Jepang termasuk negara
yang bersih -- secara hampir tak masuk akal -- dari wabah
narkotik. Dari jumlah penduduknya yang 117 juta, dalam jangka 10
tahun tercatat hanya 1.500 orang diadili karena kasus narkotik.
Ketatnya pengawasan terhadap narkotik juga ditunjukkan oleh
kenyataan bahwa di seluruh Jepang, hanya satu saja industri
farmasi -- Dai-Nihon Pharmaceutical -- yang mendapat izin
memproduksi obat narkotik untuk keperluan rumah sakit.
Di segi lain, narkotik yang diselundupkan ke Jepang tergolong
kelas ringan. Tidak sampai morfin. Yang beredar dikenal dengan
nama hiropon, sejenis benzedrine, yang dimasukkan dari Hong Kong
dan Korea Selatan. Penyelundup yang bergerak di jaringan ini
seluruhnya diduga 20.000 orang -- sebagian besar orang Korea
Selatan, golongan minoritas di sana. Hiropon, yang dipakai
dengan jalan penyuntikan, dijual berupa bubuk yang masih harus
dicampur dengan air. Di Ginza Tokyo, obat keras ini diedarkan
diam-diam dalam sebuah paket 2 miligram. Harganya US$ 25 (kalau
mau beli, eh).
Dan di sinilah imbalannya. Seperti juga pihak polisinya, Mafia
Jepang dikenal merupakan organisasi yang rapi dan memiliki
disiplin ketat. Para godfather konon menggariskan berbagai
peraturan keras yang harus ditaati. Antara lain memperhatikan
"ketertiban umum," termasuk dalam penggunaan senjata api. Pada
catatan polisi, tahun lalu dari 68 kasus perampokan dan perang
antar-gang, hanya enam buah senjata api dipakai. Takayuki
Kumakura, yang dikenal sebagai salah seorang cukongnya, setelah
terlibat dalam suatu perang bandit-tembak-menembak di jalanan a
la Chicago -- menyerahkan diri kepada polisi dan membuat
pengakuan.
Hubungan masyarakat tertentu dengan kelompok Mafia pun tidak
tegang. Seperti biasanya, di daerah-daerah merah terdapat
gerombolan tukang pukul -- yang atas nama keamanan mengutip
pajak tak resmi. Di Jepang ini pun terjadi -- tapi konon "sangat
lunak."
Di tengah keadaan dunia yang kian kisruh oleh kekerasan dan
kriminalitas, ketertiban di Jepang memang jadi menarik.
Barangkali bukan masyarakatnya yang tidak terbawa zaman. Tapi
lingkungan hidup mereka termasuk serasi. Para ahli kriminologi
Barat menyebutnya sebagai masyarakat homogen. Tidak terdapat
perbedaan ras yang menyolok, juga perbedaan kaya-miskin yang
besar.
Hanya, orang Jepang memang diketahui relatif mudah bunuh diri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini