Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seganas-Ganas Bandit Jepang

Jepang termasuk paling aman di dunia. angka kriminalitasnya rendah sekali. di tengah keadaan dunia yang kian kisruh oleh kekerasan dan kriminalitas, ketertiban di jepang memang menarik. (sel)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Seganas-Ganas Bandit Jepang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KETIKA Masayoshi Ohira baru saja dilantik sebagai perdana menteri, 1978, ia hampir saja tewas diserang seseorang. Untung selamat. Dari jarak demikian dekat, seorang pembokong di Amerika Serikat atau Eropa punya kemungkinan besar menewaskan korbannya -- dan belakangan ini sudah banyak contohnya. Paling tidak si korban akan terluka. Sebab mereka umumnya menggunakan pistol. Tapi yang di Jepang ini cuma memakai pisau. Lho! Tentu saja gagal. Soalnya bukan karena orang Jepang dungu. Soalnya, di Jepang senjata api termasuk barang terlarang yang sangat diawasi. Untuk memiliki bedil berburu saja dibutuhkan prosedur pengurusan berbelit-belit. Mungkin karena itu orang lalu berpikir, itu sebabnya Jepang termasuk yang paling aman di dunia. Angka kriminalitasnya rendah sekali. Dibanding Amerika Serikat, di Jepang tahun lalu terjadi 1,6 pembunuhan di antara 100.000 orang -- sementara di AS 9 kasus. Juga tahun lalu, dengan jumlah orang yang sama, di AS terjadi 1913 perampokan, di Jepang cuma 17. Penganiayaan 2259 di AS, di Jepang 25,1. Hanya pencurian saja yang lumayan jumlahnya -- 9.869 tiap 100.000 orang. Tapi di AS jangan main-main: 46.224. Amerika Serikat termasuk salah satu negara dengan angka kriminalitas tinggi. Kota metropolitan di seluruh dunia biasanya sarang berbagai kejahatan yang aneh-aneh, walaupun negara itu sendiri tergolong aman. Di Jepang ternyata tidak. Tahun lalu, di Tokyo terhitung hanya satu saja peristiwa kriminal yang dianggap serius. Sebuah perampokan yang menewaskan seorang penjaga. Sebegitu, angka kriminalitas di kota itu meliputi 17% dari seluruh Jepang. Pembunuhan lain bukan tak ada. Tahun lalu bahkan terjadi 180 pembunuhan di Tokyo yang berpenduduk 8,4 juta jiwa itu. Sebagai perbandingan: di Jakarta, yang berpenduduk 6 juta lebih sedikit -- dan menurut ukuran luar belum terhitung metropolitan -- tahun kemarin (Januari s/d Juli) terjadi 112 pembunuhan. Berarti 2 hari sekali. Atau kira-kira 183 setahui. Lebih dari itu, yang unik, bagian besar dari pembunuhar di Tokyo itu sulit dinamakan kriminalitas seratus persen. Motivasinya hampir semuanya urusan pribadi. Macam-macam: percekcokan dalam keluarga, cemburu, sakit hati dan sebangsanya. "Hampir tak pernah ada seseorang membunuh orang yang tak dikenalnya," kata Masataka Imaizumi, Kepala Polisi Tokyo kepada The Christian Science. Berbeda dengan misalnya di Amerika: seorang pemabuk bisa saja menghabisi nyawa orang lewat yang menolak memberikan beberapa dolar. TAPI barangkali sebabnya bukan cuma karena senjata api dilarang di Jepang. Orang Jepang memang terkenal berdisiplin dalam hal ketenangan orang lain. Dan punya watak khas bila mereka misalnya merasa harus berbuat kejahatan. Dengan melihat file beberapa tahun, Masataka Imaizumi memberi penjelasan: "Dari semua kasus pembunuhan, 93% pelakunya tertangkap tanpa kesulitan. Bukan karena kami luar biasa sigap. Tapi karena sebagian besar datang sendiri menyerahkan diri." Kepala polisi itu juga menerangkan kebiasaan semacam itu sudah jadi semacam tradisi -- khususnya bila pelanggaran itu melibatkan nyawa orang. Bukan baru sekarang, di zaman demokrasi. Tapi sudah sejak zaman militer, 1930-an. Sebagai imbalannya, polisi Jepang sangat menghargai pengakuan. Walau ada peluang bagi para hamba hukum untuk melakukan penangkapan, mereka hampir tak pernah menahan seseorang sebelum si pelaku mengaku. Hampir tak masuk akal, memang, bila diingat di hampir semua bahasa dikenal pepatah: jangan minta seorang maling mengaku. Di Jepang, entah bagaimana bunyi pepatahnya. Bahkan hakim, yang memutuskan hukuman tanpa juri, menekankan putusannya pada dokumen pengakuan. Jadi kalau dipikir-pikir, sebetulnya para pelaku kejahatan sendiri yang menentukan hukuman mereka. Tidak berarti polisi di Tokyo tidak disiapkan -- tentu saja. Menurut catatan akhir 1979, di ibukota itu bertugas 44.238 polisi. Termasuk 1.300 polisi wanita dan 3.162 personil sipil. Cara melapor di Jepang juga sangat mudah. Tinggal memutar telepon nomor 110 atau mendatangi box polisi yang dikenal dengan istilah koban, yang ditempatkan di berbagai penjuru. Sesudah satu laporan berdering, rata-rata dibutuhkan cuma 4 sampai 5 menit -- dan polisi akan sudah tiba di tempat. Profesi polisi bahkan lebih dari sekedar penjaga keamanan. NPA (National Police Agency) ternyata juga melayani berbagai macam persoalan -- sampai-sampai misalnya menasihati orang sableng yang berniat bunuh diri. Di Tokyo setiap hari berdering 1.526 laporan -- tapi cuma 12,6% yang betul-betul melibatkan peristiwa kriminal. Selebihnya urusan yang kadang-kadang bikin ketawa. Karena itu jabatan polisi jadi semacam kehormatan - yang membuat seorang polisi sangat bangga. Bukan karena berkuasa, tapi karena mendapat kepercayaan masyarakat. Tiga tahun lalu, sebuah peristiwa hitam terjadi di kalangan polisi ini. Konon ini terberat dalam kurang lebih dua dasawarsa. Seorang anggota mereka, entah kena setan apa, memperkosa seorang mahasiswi. Geger jadi besar -- karena bukan cuma si pemerkosa yang diperhentikan. Beberapa kepala polisi di atasnya pun ikut berhenti -- karena malu. Bahkan pendidikan bagi polisi, sejak peristiwa itu, diubah total. Setidak-tidaknya ditambah jangkanya dari satu tahun menjadi 21 bulan. Yang betul-betul melakukan tindakan kriminal di Jepang adalah kelompok-kelompok Mafia. Di sana, mereka dikenal dengan nama Boryo kudan. Senjata api gelap yang tentu saja ada beredar rata-rata berada di tangan mereka. Para Mafia ini umumnya bergerak di bidang "penjagaan keamanan" -- dengan jalan memeras -- dan penyelundupan obat bius. Tapi ini pun tak bisa dibilang berat. Jepang termasuk negara yang bersih -- secara hampir tak masuk akal -- dari wabah narkotik. Dari jumlah penduduknya yang 117 juta, dalam jangka 10 tahun tercatat hanya 1.500 orang diadili karena kasus narkotik. Ketatnya pengawasan terhadap narkotik juga ditunjukkan oleh kenyataan bahwa di seluruh Jepang, hanya satu saja industri farmasi -- Dai-Nihon Pharmaceutical -- yang mendapat izin memproduksi obat narkotik untuk keperluan rumah sakit. Di segi lain, narkotik yang diselundupkan ke Jepang tergolong kelas ringan. Tidak sampai morfin. Yang beredar dikenal dengan nama hiropon, sejenis benzedrine, yang dimasukkan dari Hong Kong dan Korea Selatan. Penyelundup yang bergerak di jaringan ini seluruhnya diduga 20.000 orang -- sebagian besar orang Korea Selatan, golongan minoritas di sana. Hiropon, yang dipakai dengan jalan penyuntikan, dijual berupa bubuk yang masih harus dicampur dengan air. Di Ginza Tokyo, obat keras ini diedarkan diam-diam dalam sebuah paket 2 miligram. Harganya US$ 25 (kalau mau beli, eh). Dan di sinilah imbalannya. Seperti juga pihak polisinya, Mafia Jepang dikenal merupakan organisasi yang rapi dan memiliki disiplin ketat. Para godfather konon menggariskan berbagai peraturan keras yang harus ditaati. Antara lain memperhatikan "ketertiban umum," termasuk dalam penggunaan senjata api. Pada catatan polisi, tahun lalu dari 68 kasus perampokan dan perang antar-gang, hanya enam buah senjata api dipakai. Takayuki Kumakura, yang dikenal sebagai salah seorang cukongnya, setelah terlibat dalam suatu perang bandit-tembak-menembak di jalanan a la Chicago -- menyerahkan diri kepada polisi dan membuat pengakuan. Hubungan masyarakat tertentu dengan kelompok Mafia pun tidak tegang. Seperti biasanya, di daerah-daerah merah terdapat gerombolan tukang pukul -- yang atas nama keamanan mengutip pajak tak resmi. Di Jepang ini pun terjadi -- tapi konon "sangat lunak." Di tengah keadaan dunia yang kian kisruh oleh kekerasan dan kriminalitas, ketertiban di Jepang memang jadi menarik. Barangkali bukan masyarakatnya yang tidak terbawa zaman. Tapi lingkungan hidup mereka termasuk serasi. Para ahli kriminologi Barat menyebutnya sebagai masyarakat homogen. Tidak terdapat perbedaan ras yang menyolok, juga perbedaan kaya-miskin yang besar. Hanya, orang Jepang memang diketahui relatif mudah bunuh diri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus