USAI sembahyang isya, tubuh Salim Wirya mendadak terkulai. Pensiunan anggota ABRI yang berusia 58 tahun ini tiba-tiba terserang stroke. Akibat pendarahan di otaknya, ia hanya mampu bertahan tiga hari sebelum berpamitan untuk selama-lamanya. Sampai saat ini, stroke menjadi salah satu penyakit yang menghantui kaum usia lanjut, rata-rata di atas 55 tahun. Di samping itu, ia juga menjadi ancaman bagi penderita hipertensi, penyakit jantung, kencing manis, dan pemakai pil kontrasepsi, tak ketinggalan mereka yang kadar kolesterolnya tinggi, kegemukan, perokok berat, atau yang punya kelainan saraf. Jumlah kasus penderita stroke di Indonesia, untuk usia 40-50 tahun, rata-rata 2 dari 1.000 orang. Untuk usia 50-60 tahun sekitar empat orang dan 60-65 tahun delapan orang. Bahkan RS dr. Soetomo Surabaya mencatat 8 dari 10 kematian akibat penyakit saraf disebabkan oleh stroke. Tidak heran bila para peneliti ilmu kedokteran gigih mencari penawarnya. Salah satunya adalah pembahasan dalam Simposium Dimensi Baru Pengelolaan Stroke Sabtu pekan lalu, di Surabaya, yang diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Ahli Saraf Indonesia (IDASI), Cabang Surabaya. Perlu diingat, stroke bisa menyebabkan kelumpuhan mendadak dan kematian. Di Indonesia, penyakit ini menempati peringkat kelima sebagai penyebab kematian, setelah kanker, jantung, AIDS, dan infeksi. Bahkan di Amerika Serikat rata-rata setiap tahun 200 ribu orang mati karena stroke. Penyebab stroke adalah pendarahan di otak dan infark. Kebetulan, dalam simposium tersebut, pusat pembahasan adalah pencegahan stroke infark, penyumbatan pembuluh darah ke otak. Seperti halnya di Eropa dan Amerika, upaya mencegah stroke pun diarahkan untuk mengatasi penyumbatan pembuluh darah ke otak. Akibat penyumbatan pembuluh darah ke otak, oksigen yang diangkut darah tak sempat dibagikan ke sel-sel saraf otak. Gejala ini sering disebut iskemia atau kosongnya suplai darah ke otak. Sementara itu, stroke juga disebabkan pendarahan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Akibat keduanya sama, yakni si penderita jatuh dan pingsan. Padahal, sel-sel otak itu sangat sensitif. Organ vital yang beratnya cuma 2% berat badan itu langsung rusak bila oksigen telat 3 atau 4 menit saja. Kerusakan pada jaringan otak bisa membawa akibat invaliditas, seperti badan lumpuh sebelah, gagu (afasia), koma, atau kematian. Sumbatan atau penyempitan terjadi karena kondisi pembuluh darah memang payah. Misalnya terjadi bekuan darah yang saling menempel, dinding pembuluh yang sklerotis (penuh lemak, kaku, dan menyempit), atau tekanan darah yang lemah. Lucunya, para ahli belum merumuskan bagaimana dan mengapa stroke itu sendiri terjadi. Bukan cuma itu. Obat stroke pun belum ada di pasaran. "Hingga kini belum ditemukan obat yang terbaik," ujar Dr. W.D. Heiss, salah seorang pembawa makalah dalam simposium itu. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan berbagai kombinasi untuk pengobatan. Langkah paling baik, pengobatan diarahkan ke berbagai aspek penyebab stroke. "Kita perlu memperbaiki aliran darah. Kita butuh menambah edema. Itu semua harus diberikan obatnya," ujar staf ahli dari Max Planck Institute, Koln, Jerman ini. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh pembicara lainnya, Dr. Benjamin Chandra. Menurut Kepala Bagian Neurologi RS dr. Soetomo ini, ada empat stadium penderita stroke. Stadium pertama, penderita akan mengalami trasient ischemic attack (TIA). TIA adalah serangan yang terjadi sepintas, tak lebih dari 24 jam. Penderita masih bisa ditolong dengan aspirin berdosis rendah. Pada stadium dua, penderita mengalami reversibel ischemic neurological deficit (RIND). Gejala neurologis masih bisa disembuhkan. Progressive stroke terjadi pada stadium ketiga, yakni gejala neurologis yang semakin buruk. Dan stadium empat -- paling parah dan susah disembuhkan -- completed stroke. "Untuk itu, penderita stroke wajib memeriksakan diri pada stadium dini, agar lebih mudah pengobatannya," kata Benjamin Chandra. Untuk pengobatannya, Chandra menyebut lima kelompok obat untuk mencegah stroke infark, terutama pada stadium dua, tiga, dan empat. Obat yang dimaksud, antiplatelet agregating agents, anti-edemateus agents, metabolic activators, pentoxifillin, dan calcium entry blockers. Aspirin, ticlopidine, dan indobufen termasuk kelompok antiplatelet agregating agents, yakni untuk mengobati penyempitan pembuluh darah otak. Menurut Chandra, pengobatan stroke infark dengan indobufen -- mengerem penyempitan pembuluh darah otak melalui adenosine diphosphate (ADP) dan arachidonid acid (AA) -- sangat baik. Bahkan efek samping ke lambung pun sangat kecil. Namun, penyebab stroke yang lain seperti hipertensi, merokok, diabetes melitus dan penyakit jantung, hendaknya diacuhkan. Apalagi, dalam sejumlah penelitian, merokok bisa mempercepat penurunan kondisi pembuluh nadi ke otak. Memang, para dokter pun belum bisa memastikan obat ampuh melawan stroke. Penyebabnya ternyata terdiri dari berbagai faktor. Begitu pula obatnya pun tak bisa dipatok yang ini atau itu. Kecuali memperbaiki peredaran darah, kelainan sekunder jaringan otak pun perlu dibetulkan. Semua obat pada dasarnya bisa digunakan, asal sesuai dengan faktor yang terganggu. Akhirnya, ingat stroke, ingat pesan Dr. Benny Atmadja -- ahli bedah saraf RS Hasan Sadikin, Bandung. "Kurangi makanan berlemak, stop rokok, olahraga teratur, dan cukup tidur." Rudi Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini