PADA usianya yang ke-20, 11 Maret 1991, Mat Karyo kian agresif. Tokoh utama dalam karikatur di harian Suara Karya (SK) ini tampil berani, ceplas-ceplos. Sindirannya acap tajam, topik yang dipilihnya bisa menyulitkan. Ada kesan, ganjalan yang dulu bertengger di tenggorokan Mat Karyo kini tiba-tiba hilang. Tak jarang, si Mat berbicara tentang nasib pegawai yang bergaji kecil atau waduk yang akan dijadikan lahan industri. Pokoknya, setiap isu yang menyangkut kepentingan orang kecil jarang lolos dari celetukan Mat Karyo. Misalnya, seputar deposito yang sedang hangat karena bunganya melonjak. Di sini pun, Mat Karyo mengingatkan bahwa yang beruntung akibat gebrakan Sumarlin hanyalah "orang-orang berduit". Sementara orang kecil dirugikan karena posisinya sebagai peminjam. "Ya, kami memang akan lebih banyak menyuarakan nurani orang kecil ketimbang pejabat," kata seorang wartawan senior SK, bangga. Perubahan yang mencolok juga tampak dalam porsi pemberitaan. Kini, SK mengangkat berita apa saja -- baik ekonomi maupun politik -- yang sedang ramai dibicarakan orang banyak. Tanpa pilih bulu. "SK telah menjadi forum dialog bagi semua pihak, baik pemerintah maupun nonpemerintah," kata Sjamsul Bachri, Pemimpin Redaksi SK. Dan tidak cuma itu. "Pada pemilu mendatang, kami akan memberi porsi yang sama pada dua partai lainnya. SK tak mau didikte Golkar," kata yang kini menjabat sebagai staf ahli SK. Policy pemberitaan yang lebih condong pada sikap keterbukaan ini, menurut Sudjati, sangat menguntungkan. Sebab, suara Pemerintah, yang dulu selalu dikumandangkan oleh SK, ternyata tidak selalu positif. "Bisa juga negatif. Tergantung situasi politiknya," ia menegaskan. Apalagi berita tentang politik dalam negeri -- berdasarkan angket yang disebar SK beberapa waktu lalu -- kurang disukai pembaca. Lalu apa yang dicari pembaca dari SK, yang beroplah antara 150 ribu dan 200 ribu eksemplar per hari ini? Yang paling digemari, ternyata, berita politik luar negeri. Sesudah itu menyusul berita ekonomi, pendidikan, dan olahraga. Hanya saja, "terobosan" yang dilancarkan SK, bukanlah tanpa risiko sama sekali. "Risikonya mahal. Tapi kami sudah memutuskan untuk memilih independen," kata Sudjati. Salah satu risiko itu ialah, kini tak ada lagi keharusan bagi anggota Korpri untuk berlangganan SK. Selain itu, sebuah sumber mengungkapkan bahwa Departemen Koperasi, yang semula tercatat sebagai pelanggan, kini tak lagi berlangganan SK. Mengapa? SK terlalu gencar memberitakan krisis Bank Duta, yang terjadi gara-gara kalah besar dalam perdagangan valas. Namun, masih ada lagi gebukan yang lebih berat. Sejak pencopotan gambar beringin yang bertengger di antara tulisan "Suara" dan "Karya", tiga tahun lalu, yang disusul dengan semakin berkurangnya berita tentang Golkar, anggota redaksi SK sering diprotes orang-orang Golkar. Protes ini semula masih terasa wajar karena pada awalnya SK merupakan koran yang mengemban misi Golkar. Tapi itu kan riwayat tempo dulu. Kini Golkar sudah besar, "Jadi, buat apa ditonjolkan lagi?" kata Sjamsul. Alasan lain adalah, secara finansial SK tidak punya kaitan apa-apa dengan Golkar. Artinya, harian ini tidak pernah menerima dana atau subsidi sepeser pun dari DPP Golkar. "Modal yang kami gunakan diperoleh dari tokoh-tokohnya -- maksudnya tokoh Golkar," kata Sjamsul, dalam gaya baru yang ceplas-ceplos. Budi Kusumah dan Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini