BARANGKALI dianggap janggal, menyongsong Puasa dengan psikoanalisa ala Freud. Maklum, orang tahu ia Yahudi. Lebih lagi ia seorang ateis. Ia pun tak percaya adanya "jiwa", sebagaimana orang beragama memahaminya, sebagai bagian dari roh. Baginya, jiwa adalah gejala jasmani jua. Ia tak mengakui wujud "jiwa" seperti orang tak percaya adanya Tuhan. Agama, baginya, adalah gejala neurosis sosial. Meskipun begitu, temuannya mengenai gejala jiwa, ternyata, ditanggapi bisa memperkuat kepercayaan orang beragama. Itulah, maka pada tahun 1937, Muchlis, yang tak lain adalah Mohammad Natsir, dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat, mengimbau orang untuk menengok ke psikoanalisa Freud dan membandingkannya dengan Ibnu Maskawaih, seorang filosof muslim Abad Pertengahan yang mengembangkan ilmu nafs, ilmu jiwa. Apakah Natsir melakukan similarisasi agama dengan temuan ilmiah, dengan maksud untuk pembenaran? Tidak. Ia hanya sekadar melakukan komparasi. Sebenarnya, tak ada salahnya memahami ayat Quran, misalnya tentang pengertian syahwat (Q.S. Ali Imran: 14), dengan teori libido. Dalam ayat itu pengertian syahwat, ternyata, bukan hanya nafsu kelamin, tapi segala hasrat terhadap kesenangan jasmaniah. Ia oleh Quran disebut sebagai per- hiasan hidup dan mencakup juga rasa keindahan. Freud mengatakan bahwa dorongan hidup manusia itu pada dasarnya bersumber pada libidonya. Semula libido memang diartikan sebagai nafsu kelamin. Namun, ia kemudian mengembangkannya menjadi konsep yang menyangkut seluruh naluri kesenangan hidup, khususnya kepuasan jasmaniah, termasuk cinta dalam arti yang luas, dan ini menjadi dorongan untuk berjuang dalam hidup, juga dorongan kreatif. Dalam teori kebudayaannya, Freud mengatakan bahwa jika dorongan ini, yang secara sosial diwujudkan menjadi konsep prinsip kesenangan (pleasure principle) tidak dikendalikan, yang dihasilkan adalah sebuah anarki dan barbarisme yang bersifat destruktif terhadap peradaban. Dalam Quran, dorongan semacam ini disebut an nafs al ammarah (Q.S. Yusuf: 43). Mufassir Maulana Muhammad Ali menyebutnya sebagai jiwa kebinatangan. Dalam teori Freud, libido atau dorongan eros ini diwadahi oleh bagian bawah sadar kepribadian yang disebut Id, yang berfungsi secara tak-rasional dan impulsif, tanpa pertimbangan apakah hal itu realistis dan secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Bagian ini selalu berkonfrontasi dengan superego, yang mewadahi nilai-nilai luhur yang dianut seseorang. Bagian ini berfungsi sebagai hati nurani manusia yang berkembang sejak kecil dari proses internalisasi terhadap nasihat-nasihat orangtua dan kemudian nilai-nilai sosial dari masyarakat. Superego, yang menganjurkan segala yang baik ini, adalah wakil masyarakat dalam kepribadian manusia. Kaum muslimin mungkin akan mengenal superego ini sebagai an nafs al mutmainnah (Q.S. Farj: 26), jiwa yang cenderung kepada kebaikan dan takwa. Freud berpendapat bahwa superego ini dibentuk melalui proses sosialisasi, sedangkan orang Islam akan melihat nafsu mutmainah ini sebagai hasil proses pendidikan keislaman, keimanan dan ketakwaan. Manusia sendiri, menurut Q.S. al Syam: 8, memiliki kecenderungan kepada keburukan (fujur) maupun kebaikan (takwa). Seseorang akan berhasil dalam hidupnya apabila mampu membersihkan dan menumbuhkan jiwanya. Dan manusia selalu mengalami dalam jiwanya, konfrontasi antara dua kecenderungan itu. Freud juga mengatakan hal itu. Fungsi kebudayaan adalah, bagaimana mengendalikan kecenderungan yang terhanyut dalam prinsip kesenangan itu dengan prinsip realitas. Kebudayaan Barat mencapai kemajuan karena keberhasilan ini walaupun Marcuse menilai bahwa nilai rasionalitas-teknologis yang memang dihasilkan oleh represi prinsip realitas atas prinsip kesenangan ini telah menghasilkan sistem sosial yang terlalu represif pula. Dalam teori Freud, pusat pengendali atau arbitrator konflik itu adalah bagian kejiwaan yang disebut ego, bagian sadar yang berkecenderungan rasional. Orang Islam mungkin mengenalnya sebagai an nafs al lawwamah, nafsu yang kritis dan mengendalikan diri dan disebut Mumammad Ali dalam Tafsir Quran Suci-nya sebagai nafsu kemanusiaan. Ketiga macam nafsu di atas sudah dikenali Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin-nya. Teori Freud hanyalah sebuah kerangka ilmiah yang mungkin bisa membantu kita memahami perintah Tuhan. Kewajiban berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadan (Al Baqarah: 183) -- yang juga merupakan tradisi dalam agama Yahudi maupun Nasrani bahkan terdapat dalam agama-agama India dan Cina -- mengandung misi yang berkaitan dengan masalah pengendalian nafsu syahwat di atas. Puasa bukan dimaksud sebagai penyiksaan diri dan pengingkaran nafsu jasmaniah karena ia mempunyai tuntutannya sendiri yang sah. Tapi janganlah kecenderungan-kecenderungan rendah itu terbiarkan sehingga seolah-alah telah menjadi Tuhan (Q.S. Furqon: 25 dan Jaatsiyah: 23) karena telah dijadikan dasar dan orientasi hidup yang dominan. Dalam kata-kata filosof Drijarkara, puasa hanyalah dimaksud sebagai tindakan menciptakan distansi antara diri seseorang dan alam jasmaninya, agar manusia tidak didikte oleh alam jasmani. Dalam berpuasa, manusia berusaha menjadi subyek yang otonom dan tidak diperbudak oleh kecenderungan jasmaniahnya. Dalam sebuah hadis dikatakan tentang betapa banyaknya orang yang berpuasa, tapi tak beroleh manfaat apa-apa kecuali lapar dan dahaga. Ini adalah puasa orang yang tak memahami puasa itu sendiri. Dalam psikoanalisa, fungsi ego sebagai manajer kepribadian akan menguat jika kesadaran terhadap realitas berkembang. Puasa akan bermanfaat apabila kesadaran orang terhadap kemanusiaannya meningkat. Hal itu tampak tandanya dari kemampuan seseorang untuk mengendalikan diri. Itulah gambaran jiwa dari seseorang yang mencapai kondisi takwa. "Hai, orang-orang yang beriman. Diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pula atas orang-orang ter- dahulu, agar kamu mengembangkan jiwa yang takwa" (Q.S. Al Baqarah: 183). Selamat berpuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini