KORAN Indonesia akan segera bertambah berat. Dalam waktu dekat, selepas diumumkannya keputusan Dewan Pers Sabtu pekan lalu, banyak koran akan tampil setebal 16 halaman setiap hari. Dan ini terobosan yang perlu dicatat. Selain itu, harian berukuran tabloid boleh terbit setebal 32 halaman, dan koran mingguan bisa 36 halaman empat kali seminggu. Semua keputusan yang ditelurkan dalam sidang ke-34 Dewan Pers Nasional di Jayapura itu sungguh sesuai dengan beleid yang membolehkan cetak jarak jauh, yang sudah beroleh "gong" beberapa waktu berselang. Setahun yang lalu, koran l6 halaman hanya boleh empat kali seminggu. "Dewan Pers memandang kesempatan itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para penerbit," kata Ketua Pengurus Dewan Pers, Jakob Oetama. "Dan tidak menimbulkan dampak negatif." Dengan penjelasan Jakob seperti itu, dianggap kuatlah dasar-dasar pertimbangan untuk "terbit 16 halaman setiap hari". Tak diragukan lagi, dengan 16 halaman, penerbit koran beroleh kesempatan untuk mempertinggi kualitas dan kuantitas pemberitaannya. Porsi iklan memang tidak bertambah -- disepakati volumenya tetap 35% -- tetapi dalam prakteknya iklan akan melebar dari rata-rata 4,2 halaman menjadi 5,6 halaman. Namun, kalangan pers belum mau buru-buru melangkah. Padahal, untuk penerbit yang mapan, inilah kesempatan yang baik. "Kami bisa meningkatkan kualitas tulisan, umpamanya dengan laporan yang lebih mendalam," kata August Parengkuan, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas. Kendati belum siap melaksanakan keputusan yang tidak mengikat ini, August sudah memberi ancang-ancang. "Berita olahraga di media apa pun, selalu menarik pembaca," katanya seakan mengisyaratkan jurus yang kelak akan dilancarkan. Koran terbesar di Jawa Timur, Jawa Pos, juga melihat izin terbit 16 halaman setiap hari akan mempermudah penjadwalan isi koran. "Dulu kami agak sulit mengatur rubrik dengan halaman yang bergantian 12 dan 16 halaman," kata Pemimpin Redaksi Dahlan Iskan. "Kalau 16 halaman terus, lebih enak mengaturnya." Jika sejumlah penerbit agak ciut semangatnya untuk ber-16 halaman ria, tak lain karena persaingan yang kian tajam. Penambahan halaman otomatis akan memperbesar biaya produksi. "Kalau dipaksakan 16 halaman setiap hari, harga langganan harus naik. Masalahnya, apa kita berani menaikkan harga langganan dalam situasi persaingan seperti ini," Dahlan Iskan menimbang-nimbang. Apalagi terbetik berita, April depan harga kertas akan naik. Namun, iklan tentu bertambah. "Saya kira keputusan ini akan jitu untuk media yang iklannya sudah antre," ujar Dahlan, pemimpin koran beroplah 400 ribu itu. Ternyata, target 35% iklan belum tercapai di Jawa Pos. August Parengkuan juga tak yakin tambahan dana dari iklan akan bisa menunjang naiknya biaya produksi. Diperhitungkannya angkutan udara ikut naik karena koran semakin berat. Lagi pula, 60% dari 549 ribu tiras Kompas dilempar ke luar Jakarta. Di pihak lain, ada yang khawatir, koran beroplah besar akan menyedot pangsa iklan koran yang kecil. "Media besar akan lebih mapan dan sarat iklan. Tapi bagi media kecil dan paspasan akan lebih susah," kata H. Sjamsuyar Adnan, Pemimpin Harian Umum Gala di Bandung. Wartawan senior Rosihan Anwar juga melihat peraturan baru ini akan membuat koran teri makin kembang kempis. "Peraturan itu sebenarnya mengabulkan tuntutan dari koran-koran yang kini sudah mapan," kata bekas bos Pedoman itu, seperti dikutip Media Indonesia. Dan, katanya, akan mempertajam ketimpangan antara surat kabar kuat dan lemah. Barangkali karena itu Ketua Sidang Redaksi Berita Buana Zaim Uchrowi mendambakan lebih luwesnya peraturan untuk koran beroplah kecil. "Saya pikir mestinya tidak usah ada aturan jumlah halaman untuk mereka. Biarkan saja, kalau mampunya terbit 4 halaman, ya terbit 4 halaman saja," ujar Zaim. Berita Buana sudah terbit dengan 16 halaman dua kali seminggu. Dengan 70 wartawan, Buana merasa siap menyambut keputusan baru itu kendati ada kenaikan biaya produksi sekitar 30%. Hanya ada hambatan teknis, yaitu tipisnya pasokan kertas koran. Iklan? "Tak ada upaya khusus untuk menggarap iklan," kata bos koran beroplah 180 ribu itu. "Kalau koran bermutu baik, iklan akan datang sendiri." Peningkatan mutu inilah yang sedang dilakukan manajemen baru Buana. Adapun para pemasang iklan akan selalu mengejar tempat di harian nasional yang unggul. Maka, keluarnya aturan baru ini akan membuat situasi lebih kompetitif antara koran besar dan koran kecil. "Selama ini sulit memasang iklan dalam waktu dekat di koran besar," kata Ndaru Kuntoro, dari perusahaan iklan Adforce. Katanya, di Kompas atau Suara Pembaruan, Adforce harus memesan beberapa minggu untuk iklan warna dan bisa lebih dari sebulan untuk iklan hitam putih. "Sering kami terpaksa masuk daftar tunggu kalau-kalau ada yang membatalkan iklan," kata Andre T. Permana, media director Fortune Advertising. Namun, baik Andre maupun Hardiyanto sama-sama melihat berkembangnya potensi koran daerah belakangan ini. "Koran regional ini sekarang lebih penting. Di beberapa daerah, seperti Lampung, Surabaya, dan Denpasar, yang kuat justru koran lokal, bukan koran nasional," kata Hardiyanto, bekas media director Indo Ad. Dengan 16 halaman, koran regional juga akan diperebutkan pemasang iklan. Kalau begitu, yang lebih diuntungkan adalah yang kuat, baik di pusat maupun di daerah. Bravo, Pak Jakob. Selamat, Bung Dahlan. Bunga S., Sugrahetty, Zed Abidien (Surabaya), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini