Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya memulai perjalanan yang akan membawa saya menuju senjakala hidup."
(Ronald Reagan, November 1994, saat mengumumkan dirinya mengidap Alzheimer tahap awal.)
Dua pekan lalu, 5 Juni 2004, perjalanan Reagan mencapai titik akhir. Mantan Presiden Amerika Serikat ini menjemput maut setelah sepuluh tahun dibekap Alzheimer, penyakit yang dengan dahsyat menggerus daya ingat dan membuat Reagan melupakan begitu banyak hal dalam hidupnya. Dia bahkan tak lagi sanggup mengenali Nancy Reagan, sang istri tercinta.
Tiga bulan lalu, dalam sebuah acara, Maureen Reagan, putri Reagan, membacakan surat yang ditulis ibunya. "Mereka yang mengidap Alzheimer harus melalui medan berat berupa turunan terjal," tulis Nyonya Reagan. "Perjalanan panjang Ronnie telah membawanya ke sebuah tempat yang tak lagi bisa kuraih. Kami tak bisa lagi berbagi memori tentang tahun-tahun hebat yang telah kami lalui bersama."
Surat Nancy Reagan amat tepat menggambarkan betapa Alzheimer merampas kualitas hidup seseorang. Sel-sel kelabu di otak penderita seperti disedot mesin pengisap debu. Memori yang tersimpan di labirin sel-sel saraf otak menguap begitu saja. Walhasil, seperti kata Nancy Reagan, kita tak lagi bisa meraih si penderita yang telah menjadi pikun ekstrem.
Alzheimer memang tidak pernah pilih-pilih korban. Dia tak cuma menyerang Suta, Naya, dan orang kebanyakan yang gizinya pas-pasan. Eksekutif, politisi, artis, dan pengusaha kaya-raya tak luput dari penyakit ini. Namun, sejauh ini hanya Ronald Reagan yang berani mengumumkan kondisinya pada dunia. Dia tak peduli bahwa penyakit ini masih dilekati stigma sebagai "cacat mental" yang memalukan. Pada sisi inilah Reagan layak mendapat bintang. "Bagi saya, Reagan itu bapak Alzheimer dunia," kata Profesor Sidiarto Kusumoputro, ahli ilmu saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Alzheimer, yang pertama kali dideteksi oleh Dr. Alois Alzheimer, ilmuwan Jerman, pada tahun 1906, adalah penyakit yang menyerang otak. Serangan terutama terpusat pada bagian otak yang mengatur daya ingat dan daya pikir. Pada tingkat lanjut, penyakit ini memicu demensia atau kepikunan ekstrem yang banyak melanda orang tua. Memang, harus dicatat bahwa demensia tidak otomatis dipicu Alzheimer. Serangan stroke, tumor otak, trauma kepala, bahkan HIV pun bisa menyisakan kepikunan. Tapi lebih dari separuh kasus demensia disebabkan Alzheimer.
Patut disoroti, tingkat kejadian penyakit ini makin kerap saja. Sekarang ini para ahli memperkirakan 1 dari 10 orang berusia 65 tahun mengidap Alzheimer. Proporsinya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Satu dari lima orang berusia 75-84 tahun terkena Alzheimer. Dan lebih dari separuh orang berusia 85 tahun ke atas menderita penyakit ini. Tahun 2020 nanti diramalkan ada 30 juta penduduk dunia yang terkena Alzheimer. Lalu, tahun 2050, angka ini melonjak sampai 45 juta orang.
Penyebabnya? Entahlah. Hingga kini belum ada ilmuwan yang sanggup memastikan biang keladi Alzheimer. Semula ada spekulasi, penyebabnya adalah faktor genetis warisan yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. Belakangan hipotesis ini pun goyah karena ada banyak penderita yang keluarganya sama sekali tak punya sejarah Alzheimer.
Jaringan otak para penderita Alzheimer, sebagaimana dijelaskan Sidiarto, yang juga Wakil Ketua Asosiasi Alzheimer Indonesia (AAzI), memang memiliki sederet kelainan. Secara fisik, sel-sel otak pasien penuh bercak saraf atau neurotic plaque yang menandai adanya penumpukan protein beta-amyloid. Normalnya, protein ini hanya beredar dan terurai di pembuluh darah. Pada penderita Alzheimer, amyloid memasuki sel-sel otak, membentuk tumpukan plak hitam yang kemudian mengeras di permukaan sel otak.
Tak cuma itu. Pada jalinan saraf otak pasien terdapat gumpalan benang saraf yang kusut-masai (neurofibrillary tangles) dan mengandung protein yang disebut tau. Sebenarnya, kawanan tau berkumpul membentuk struktur sel yang berfungsi menghantarkan nutrisi ke seluruh sel otak. Namun, pada kasus Alzheimer, tau terdapat dalam jumlah yang amat melimpah hingga mengacaukan keseimbangan otak.
Awalnya, plak hitam dan benang kusut tau hanya ada pada bagian permukaan otak (korteks), khususnya ada di bagian atas otak (parieto), yang mengatur orientasi waktu, dan bagian samping otak (tempora), yang mengatur daya ingat. Tapi semakin lama bercak dan benang kusut meluas ke seluruh bagian otak. Akibatnya, terjadi kematian sel-sel otak secara masif. Otak mengkeret, volumenya terus mengecil.
Selain soal fisik, struktur kimia otak penderita Alzheimer juga tidak normal. Jumlah neurotransmitter, tukang pos penghantar rangsangan informasi di antara sel-sel otak, tidak mencukupi. Bisa ditebak, kekurangan pasukan tukang pos ini mengacaukan lalu-lintas informasi pada otak.
Segala perubahan otak ini tentu membawa konsekuensi. Pada tahap awal (fase laten), penderita nyaris tidak menunjukkan gejala apa pun. Ia bisa menjalankan pekerjaan rutin tanpa hambatan berarti. Gangguan samar-samar mulai tampak ketika Alzheimer memasuki fase ganas (malignant). Pasien mulai gampang lupa. Letak barang-barang pribadi, seperti jam tangan atau kacamata, tak keruan lantaran si pemilik kelupaan. Jika dibiarkan berlanjut, pasien akan masuk fase klinis yang ditandai dengan gejala yang makin berat. Kesadaran, keadaan psikologis, dan perilaku pasien mulai menampakkan ketidakwajaran.
Kemerosotan daya ingat adalah penanda utama Alzheimer. Memori pendek pasien jadi tumpul. Pasien tak sanggup merekam dan mengingat hal-hal yang baru. Anehnya, ingatan tentang hal-hal yang sudah kuno justru timbul kembali. Jangan heran bila pada tahapan klinis ada pasien yang lebih senang memakai pakaian masa kanak-anaknya.
Sepintas, fisik pasien Alzheimer tampak sehat walafiat. Namun mental dan perilakunya menunjukkan ada yang tak beres. Perubahan perilaku paling umum adalah wandering, gemar keluyuran tanpa tujuan jelas. Jika keluar rumah, pasien sering tak ingat pulang. Beberapa waktu lalu, misalnya, tersiar kabar seorang pasien Alzheimer kesasar sampai ke Purwakarta. Untung, si bapak bisa kembali ke Jakarta karena ditemukan oleh tetangga yang kebetulan melintasi jalanan Purwakarta.
Pasien Alzheimer juga tak mampu menunaikan pekerjaan rutinnya. Awalnya, pasien mungkin gagal menyelesaikan pekerjaan yang rumit. Tapi, lama-kelamaan, pasien pun tak bisa menyelesaikan pekerjaan sepele. Mandi, berpakaian, buang hajat jadi persoalan besar bagi si pasien (lihat: Alzheimer di Negeri ini) .
Benar, pikun Alzheimer tidaklah mematikan. Tapi awas, "Penyakit ini amat rawan komplikasi," kata Eka J. Wahjoepramono, ahli bedah saraf di Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Volume dan batang otak yang terus mengecil menghambat aliran oksigen dari paru dan jantung. Akibatnya, penyakit lain gampang muncul. Komplikasi yang paling sering terjadi, kata Eka, adalah gagal paru-paru sekaligus gagal jantung. Pada kasus Reagan, kematian terjadi karena muncul komplikasi berupa radang paru atau pneumonia.
Lalu, bisakah Alzheimer disembuhkan? Sayang, pertanyaan ini belum bisa dijawab dengan "ya". Terapi yang ada sifatnya hanya mempertahankan kondisi pasien, meringankan gejala, menunda kerusakan lebih parah, serta mencegah munculnya komplikasi. Pengobatan dengan obat cholinesterase inhibitor, misalnya, hanya mampu mencegah kerusakan lebih parah pada neurotransmitter. Tetapi, obat ini tak bisa menggantikan zat penghantar yang telanjur rusak.
Jalur alternatif pun tak jauh beda. Latihan khusus atau rangsangan pancaindra juga tak bisa menggemukkan sel-sel otak yang telanjur mengerut. Terapi semacam ini, contohnya senam otak, hanya berfungsi mempertahankan fungsi sel-sel otak yang tersisa.
Namun, senam otak bukannya tidak perlu. Dia justru mutlak dan wajib dilakukan kita semua, bukan hanya penderita Alzheimer. Latihan semacam ini amat perlu untuk menjaga kinerja sel-sel otak. Seperti kata Sidiarto, otak memang harus terus dilatih dan dipakai. Jika tidak, kita akan kehilangan dia. "Use it or lose it," kata Sidiarto.
Jajang Jamaludin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo