Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlukah jaksa yang menangani kasus besardipersenjatai untuk pengamanan? 4 - 11 Juni 2004 | ||
Ya | ||
64.13% | 211 | |
Tidak | ||
31.91% | 105 | |
Tidak tahu | ||
3.95% | 13 | |
Total | 100% | 329 |
Penembakan terhadap Jaksa Ferry Silalahi di Palu, Sulawesi Tengah, menjadi catatan tersendiri bagi Kejaksaan Agung. Tewasnya Ferry seperti menjadi inspirasi baru bagi lembaga ini untuk mulai serius mempersenjatai jaksaāterutama yang menangani kasus besar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya, saat berada di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 9 Juni lalu, mengatakan bahwa tujuan keputusan itu adalah memberikan rasa aman bagi jaksa dalam bertugas. Saat ini sudah ada sekitar 70 senjata api jenis pistol yang bisa dipakai. Semuanya sudah mendapat izin Markas Besar Kepolisian RI.
Tak semua jaksa mendapat fasilitas itu. Senjata api hanya diberikan kepada jaksa yang menangani kasus berisiko tinggi. Misalnya kasus narkotik dan obat berbahaya, terorisme, suku, agama, ras, dan antargolongan, pembunuhan besar, dan kasus yang menyangkut pejabat publik.
Selain boleh bersenjata api, jaksa kini mendapat pengamanan polisi. Pengamanan diberikan selama jaksa bersangkutan menangani kasus berisiko tinggi.
Mayoritas responden yang mengikuti polling di Tempo Interaktif berpendapat serupa. Namun juga tetap harus diingat bahwa itu jangan sampai menjadi pola dalam mengatasi setiap masalah. Seperti dilontarkan Alex, responden asal Melbourne, kalau semua orang yang merasa tidak aman di Indonesia dikasih pistol, kita tidak memerlukan pengadilan lagi. Kalau itu yang terjadi, kita tahu apa yang terjadi berikutnya.
Indikator Pekan Ini: Kasus penyerangan ke kantor Partai Demokrasi Indonesia pada 27 Juli 1996 kembali dibuka. Beberapa nama jenderal kembali disebut-sebut sebagai orang yang harus bertanggung jawab dalam kasus itu. Selain Sutiyoso, yang saat itu menjadi Panglima Kodam Jaya, juga Susilo Bambang Yudhoyono, Kepala Staf Kodam Jaya. Yudhoyono, yang kini maju sebagai calon presiden, menduga bahwa pengungkapan kasus ini lebih karena ada keinginan dari pusat kekuasaan. Dengan nada bertanya, dia memberikan isyarat bahwa ini terkait erat dengan pemilihan umum presiden, yang sekarang sudah masuk masa kampanye. Markas Besar Kepolisian RI membantah bahwa dibukanya kembali kasus ini karena perintah Presiden Megawati Soekarnoputri, yang juga maju sebagai calon presiden. Menurut Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Inspektur Jenderal Dadang Garnida, pengusutan kasus ini dilakukan karena ada desakan dari masyarakat dan anggota DPR. Percayakah Anda bahwa pengungkapan kasus 27 Juli saat ini lebih bernuansa politik? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo