SEKILAS gejalanya sederhana: seorang anak tidak bisa diam, lasak berlebihan, suka mengganggu, dan tak bisa konsentrasi. Singkatnya, ia pembuat onar kecil-kecilan. Tapi bila anak yang pantas dijuluki "setan kecil" itu dipastikan sebagai penderita hiperaktif, masalahnya bisa ruwet. Peri laku ini terbilang kompleks. Punya aspek psikologis, psikiatris, maupun genetis. Namun, sampai kini hiperaktivitas dikenal hanya sebagai kasus psikiatri. Dr. Paul Wender, ahli jiwa dari Universitas Utah Amerika Serikat, dalam sebuah publikasi Mei lalu menyimpulkan, hiperaktivitas sampai kini masih dipercaya sebagai ketidakmampuan otak mengatur lalu lintas rangsangan. "Dengan kata lain, tak ada kelainan pada penyusunan data otak, tapi ada kerusakan pada terminalnya," demikian pendapat Wender. Maka, tidak aneh bila masalah ini muncul pada karya tulis dr. Maria Poluan dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Paper yang memuat laporan studi kasus lengkap tentang seorang anak laki-laki hiperaktif berusia enam tahun itu diajukan akhir bulan lalu, untuk mendapat brevet keahlian psikiatri anak. 'Tapi ini sebuah studi interdisiplin yang melibat psikolog," ujar Maria, alumnus Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang anggota Korps Wanita AD berpangkat kapten. "Ciri paling utama anak hiperaktif adalah problem konsentrasi," ujar Maria. Paling lama hanya tiga menit anak hiperaktif mampu duduk diam dan memusatkan perhatian. Sesudah itu ia akan bergerak dan teralih perhatiannya. Tanda-tanda lain: tidak sabar, emosional, labil, agresif, dan impulsif (sering bertindak tanpa alasan). Di beberapa negara menurut Maria, diperkirakan ada 3% anak-anak hiperaktif. Jumlah anak laki-laki 10 kali lebih banyak dari anak-anak wanita. "Data pada masyarakat kita masih dirintis penelitiannya," ujar Maria lagi. Tanda-tanda hiperaktif pada seorang anak sudah bisa terlihat pada usia sekitar dua tahun. Namun, umumnya gejala itu baru disadari setelah seorang anak masuk sekolah. Gangguan konsentrasi membuat anak itu sulit mengikuti pelajaran, dan berbagai sifat janggal membuat ia juga sulit bergaul. Proses sosialisasinya terhambat. Anak-anak ini biasanya segera tersisih dari pergaulan. Akibatnya, harga diri dan rasa percaya diri mereka rusak. Tak adanya pertolongan dini menunjukkan bahwa orangtua ikut memperburuk keadaan hiperaktif anaknya. Inilah faktor psikologis pada hiperaktivitas. "Padahal, di tingkat lanjut, seorang anak hiperaktif akan jatuh pada keadaan yang sangat sulit," tutur Maria. "Tanpa pertolongan, mustahil ia bisa survive." Anak enam tahun dalam kasus yang diamati Maria itu hidup di tengah keluarga yang tidak harmonis. Kendati anak tunggal, Buyung (bukan nama sebenarnya) kurang diperhatikan kedua orangtuanya. Anak itu dibesarkan di lingkungan nenek, kakek, dan paman-bibinya, yang cenderung membiarkan ia bertindak sesukanya. Tak ada perhatian dan tak adanya disiplin membuat berbagai sifat buruk berkembang dalam diri Buyung, terutama sikap agresif (memukul tanpa sebab). Karena itu, ia tersisih secara dramatis dari lingkungannya, baik di sekolah maupun di rumah. "Dalam usaha penyembuhan, nyatanya memang tidak mudah meminta pengertian orangtua anak itu," kata Maria. Kesulitan ekonomi, stres, dan ketegangan suami-istri -- masalah keluarga yang umum masa kini -- adalah beberapa faktor penyebabnya. Hal-hal yang memacu hiperaktivitas pada Buyung terbilang lengkap. Pada usia tujuh bulan ia pernah terserang demam dan mengalami kejang-kejang. Gejala kejang-kejang ini berlanjut sampai ia berusia empat tahun. Pemeriksaan neurologis menunjukkan adanya kelainan otak ringan, berupa epilepsi dan gangguan sistem saraf motorik. "Pada usia enam tahun otak anak itu tidak bisa mengkoordinasikan jari tangan untuk mengancingkan baju," ujar Maria. Pada pengobatan psikiatris, Buyung mendapat obat-obatan untuk mengatasi gangguan konsentrasi dan tindakan-tindakannya yang berlebihan . "Untuk membantu konsentrasinya, anak itu mendapat Ritalin," kata Maria. "Ini obat yang paling efektif mengatasi hiperaktivitas." Dan melalui pengobatan intensif selama enam bulan, Buyung -- yang memiliki tingkat kecerdasan normal -- berangsur baik. Namun, di luar masalah Buyung, ada keluhan Maria yang mencemaskan. "Aneh, Ritalin tiba-tiba hilang dari peredaran," katanya. Pertanyaan ini juga bergaung di Amerika Serikat dua bulan lalu. FDA otorita obat dan makanan Amerika Serikat, kaget ketika harus menambah jumlah Ritalin ke pasar -- untuk pertama kalinya setelah 30 tahun beredar. Ada kekhawatiran, obat ini disalahgunakan untuk memacu prestasi sekolah. "Mungkin juga diberikan pada anak-anak nakal karena gangguan emosional, yang tidak ada hubungannya dengan kelainan pada otak," ujar seorang pejabat FDA. Para psikiater di AS segera mengimbau agar Ritalin tidak disalahgunakan, sebab dampak sampingnya berbahaya, seperti insomnia (sulit tidur), kegelisahan, halusinasi, bahkan kecenderungan bunuh diri. Maria juga mengingatkan agar jangan terlampau cepat menyimpulkan seorang anak menderita hiperaktif. Seorang anak yang tidak bisa diam, nakal, bahkan sering iseng dan usil belum tentu hiperaktif. "Kalau anak itu bisa menonton televisi lebih dari tiga menit, bisa juga menyelesaikan sebuah gambar, ia normal," ujar ahli jiwa anak itu. Jim Supangkat, Tri Budianto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini