Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ruang Kreatif Anak Muda di Berbagai Kota

Ruang kreatif yang diinisiasi anak-anak muda hadir di sejumlah kota di Indonesia. Menghadirkan beragam kegiatan kreatif.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah hiruk-pikuk pasar loak Jatinegara, Jakarta Timur, sebuah rumah mungil model lawas sudah membuka gerbangnya sejak siang. Bangunan berkelir putih bernama Kongsi 8 tersebut merupakan toko sekaligus studio komunal dan kantin yang belakangan viral di media sosial karena menyuguhkan beragam kegiatan menarik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat Tempo berkunjung ke Kongsi 8 di Jalan Bekasi Barat III itu pada Sabtu, 20 Juli 2024, sejumlah anak muda tengah nongkrong sambil menyantap camilan di area halaman. Di dalam rumah, beberapa pengunjung sedang membaca buku serta melihat zine (majalah yang diterbitkan personal) dan produk kerajinan tangan yang dijajakan di rak gantung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengelola Kongsi 8 terlihat sibuk melayani pengunjung serta menata meja dan kursi. Malam itu, mereka akan mengadakan acara musik yang diisi tiga penyanyi. “Kami mencari teman-teman yang enggak punya wadah untuk showcase karyanya gitu,” kata Hai Rembulan, inisiator Kongsi 8, ketika ditemui Tempo.

Kongsi 8 lahir atas inisiatif Bulan—sapaan akrab Hai Rembulan—ketika pandemi Covid-19 menerjang pada 2021. Saat itu perempuan 30 tahun tersebut tengah mencari tempat yang bakal dia jadikan studio. Sebagai seniman, Bulan membutuhkan sebuah ruang aman untuk berkarya. “Karena di rumah kan banyak keterbatasan,” ujarnya.

Lahir dan besar di Jakarta Timur, Bulan tak asing dengan kawasan Jatinegara. Ketika sedang melewati pasar loak, ia bersama Rangga, salah satu inisiator Kongsi 8, menemukan sebuah rumah kosong model lawas yang diberi tanda dijual. Merasa rumah itu cocok dan satu napas dengan karya seninya, Bulan menghubungi sang pemilik bangunan, yang rupanya ketua rukun tetangga di sana. “Aku menelepon, ternyata bisa disewakan per bulan,” tuturnya.

Bulan kemudian mengajak sepuluh teman senimannya untuk patungan menyewa rumah itu dan mengelolanya bersama. Perkumpulan ini pula yang menjadi dasar pemberian nama Kongsi 8. Kongsi, yang berarti perkumpulan, Bulan maknai sebagai kumpulan teman-teman. Sedangkan angka 8 merupakan nomor rumah tersebut.

Di awal berdirinya, Kongsi 8 menjual karya seni dan kerajinan serta menjadi tempat lokakarya. Produk yang mereka jual berasal dari orang-orang yang baru pertama kali membuat karya.

Kongsi 8 terbuka bagi siapa pun yang ingin memamerkan dan menjual karyanya. Bayarannya, Bulan menerangkan, cukup Rp 100 ribu per bulan tanpa konsinyasi.

Pada 2022, Bulan dan kawan-kawannya memutuskan menambah lini bisnis, yaitu kantin. Bulan mengungkapkan, keberadaan kantin menjadi salah satu jalan yang mereka tempuh agar Kongsi 8 tetap hidup.

Pengunjung melihat pernak-pernik barang dagangan yang dijual di Kongsi 8, Jakarta, 20 Juli 2024./TEMPO/Subekti.

Aneka makanan dan minuman dijual di kantin tersebut. Harganya cukup ramah di kantong. Menu andalannya adalah Nasi Goreng Nenek yang dibanderol Rp 20 ribu seporsi dan Roti Selai Meester Rp 15 ribu. Untuk minuman, seperti kopi tubruk, teh, es jeruk, dan es sirop, harganya dimulai dari Rp 6.000.

Kongsi 8 juga tampil sebagai ruang kreatif. Setiap pekan, Bulan dan teman-temannya menghadirkan berbagai kegiatan yang terbuka bagi siapa pun. Beberapa waktu lalu, misalnya, mereka mengundang ilustrator Jes dan Cin Wibowo untuk mendiskusikan buku yang baru mereka terbitkan, Lunar Boy.

Ada pula kegiatan membuka lapak baju bekas yang dinamakan Loak Pauk, membuat kimchi, salon dadakan, dan board game night dengan permainan khusus. Kegiatan lain adalah Klub Cinta Kongsi, yakni wadah yang membahas relasi pertemanan dan romansa, juga klub gizi, buku, dan zine.

Salah satu kegiatan rutin mereka yang sempat viral di media sosial adalah Irama Bunga. Acara musik ini menampilkan para musikus beragam genre dan medium. Penyanyi Nadin Amizah pernah mengisi acara ini pada 23 Januari 2024.

Seiring dengan waktu, Irama Bunga berkembang menjadi beberapa sub-acara. Salah satunya Irama Bunga Sunyi yang menampilkan disjoki (DJ) yang memutarkan musik yang didengarkan melalui headphone yang dikenakan para pesertanya sehingga tak membuat bising lingkungan sekitar.

Ada juga Irama Bunga Melingkar yang baru pertama kali mereka adakan pada Sabtu, 20 Juli 2024. Acara ini menghadirkan format baru, yaitu musikus bernyanyi tanpa pengeras suara. Ada tiga musikus yang tampil pada Sabtu malam itu, yakni Axel Gulla, Chris Derek, dan Lourentia Kinkin. Ketiganya duduk menyebar di antara peserta dengan posisi melingkar.

Tanpa pengeras suara, pengunjung tetap bisa menikmati merdunya suara mereka dengan iringan gitar. Kegiatan ini pun menjadi ajang bagi para musikus untuk mempromosikan lagu-lagu mereka.

Musikus Axel Gulla mengaku baru pertama kali tampil tanpa pengeras suara. Setiap kali berpentas, musikus alt-indie asal Manado, Sulawesi Utara, itu selalu bernyanyi dengan iringan band penuh. Walau sempat merasa kaget dan grogi, ia senang karena format ini mengingatkannya pada masa saat menciptakan lagu. “Pas bikin lagu awal enggak pakai instrumen lain, cuma gitar, jadi merasakan nostalgia,” ujar Axel.

Selain kegiatan kreatif, salah satu daya tarik Kongsi 8 adalah menjadi ruang aman dan inklusif untuk semua kalangan, tak dibatasi pada usia, gender, orientasi seksual, disabilitas, suku, ras, agama, dan kepercayaan. Pengelola turut menggemakan larangan melakukan diskriminasi dalam bentuk tertulis yang terpasang di pintu masuk Kongsi 8, juga menyampaikannya secara lisan ketika kegiatan dimulai.

Bulan menjelaskan, nilai-nilai tersebut mereka terapkan untuk memberi napas baru pada dunia seni. Ia mengaku merasa lelah pada seni yang tersentralisasi hanya di satu tempat serta didominasi laki-laki dan terkesan maskulin.

“Di sini ada perempuan dan teman-teman minoritas gitu. Jadi aku merasa kalau bikin art space terus dengan format yang sama lagi, itu sama saja. Aku butuh dunia baru, butuh udara baru untuk berkarya,” ucapnya.


•••

BERJARAK sekitar 17 kilometer dari Kongsi 8 ke arah timur Jakarta, terdapat ruang kreatif Kedutaan Besar (Kedubes) Bekasi. Ruang kreatif tersebut merupakan jawaban atas keresahan sekelompok pemuda di Bekasi, Jawa Barat, atas perundungan terhadap wilayah mereka beberapa tahun lalu.

Bekasi oleh warganet disebut-sebut letaknya jauh bak planet lain serta berinfrastruktur buruk dengan lalu lintas macet dan berpolusi. Saat itu meme berseliweran di dunia maya yang menyindir Bekasi. “Kedubes Bekasi menjadi ruang kreatif,” kata founder Kedubes Bekasi, Fithor Faris.

Kedubes Bekasi menempati sebuah gedung di Grand Galaxy Park Mall, Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Gedung itu terdiri atas dua lantai. Di lantai dasar, ada kedai kopi dan tempat berkumpul, sementara di lantai 2 ada studio siniar hingga ruang kreatif, tempat belajar bersama antarkomunitas. “Baru dua tahun kami di sini,” ujar Nehru, penggagas Kedubes Bekasi lain.

Enam tahun sebelumnya, Kedubes Bekasi menghuni tempat yang disulap menjadi kawasan kuliner di Jatikramat, Jatiasih, Bekasi, sebagai markas. Ruang kreatif di sana diresmikan oleh Wakil Wali Kota Bekasi saat itu, Ahmad Syaikhu.

Fithor menuturkan, saking jengkelnya terhadap perundungan, komunitasnya mengeluarkan “paspor” Bekasi. Hingga sekarang, sudah ribuan “paspor” yang mereka terbitkan. Bersamaan dengan itu, kegiatan kreatif terus mereka galakkan. Mereka menggelar berbagai pameran kebudayaan di Gedung Juang, Kabupaten Bekasi, hingga menjadi bagian dari sebuah pameran di Jakarta.

Tujuannya, Fithor menjelaskan, adalah menampilkan Bekasi yang sebenarnya, tidak seperti yang digambarkan dalam perundungan di media sosial. “Kedubes Bekasi menjadi gaung. Kami mengajak komunitas kreatif berkreasi positif,” ucap Fithor.

Kedubes Bekasi, Fithor menambahkan, juga menjadi ruang untuk belajar bersama sebelum terjun ke industri kreatif. Misalnya belajar membuat film dan produk serta belajar syuting dan bermusik.

Mahasiswa mengerjakam tugas di ruang kreatif Kedubes Bekasi, Jawa Barat, 24 Juli 2024/Tempo/Adi Warsono

Berkat kreativitas komunitas di Bekasi, wajah Bekasi pun tampil berbeda. Komunitas drone, misalnya, kerap mengunggah konten tentang keindahan Bekasi layaknya Tokyo di Jepang dengan lintasan kereta cepat Whoosh, lintas raya terpadu atau LRT, dan jalan tol layang Sheikh Mohamed bin Zayed atau MBZ yang sejajar.

Menurut Nehru, komunitas komika juga sering mengeksplorasi Bekasi dengan gaya jenaka. Misalnya komika Awwe dan Andi Wijaya yang juga warga Bekasi berupaya menampilkan Bekasi yang kaya akan sajian kulinernya dan berpotensi menjadi salah satu tempat wisata kuliner terbesar di Indonesia. “Kalau di podcast ngomongin Bekasi kadang terkait dengan promosi lagu-lagu baru,” tutur Nehru.

Nehru menambahkan, sejak tiga bulan lalu, Kedubes Bekasi menggelar turnamen catur setiap Senin malam. Pesertanya dari anak-anak hingga dewasa. Responsnya cukup baik, jumlah pesertanya bisa mencapai lebih 10 orang.

Seorang pengunjung Kedubes Bekasi, Lia, mengaku cukup nyaman mengerjakan tugas kuliah di sana sambil belajar tentang industri kreatif. “Di sini seperti perpustakaan,” ujar Lia, yang berkunjung bersama lima kawannya.

•••

RUANG kreatif yang diinisiasi anak-anak muda juga hadir di Bandung, Jawa Barat. Namanya The Hallway Space dan bermarkas di lantai 2 Pasar Kosambi, Jalan Ahmad Yani.

Sekitar 50 orang berkumpul di sudut The Hallway pada Ahad, 21 Juli 2024. Sore itu, sambil menikmati suguhan roti isi jamur, bajigur, dan es cincau, mereka menonton pertunjukan musik bertajuk “Threshold” yang digelar Goethe-Institut Indonesien. Di ruangan berdinding batako dengan pintu kaca, empat peserta menampilkan karya garapan mereka yang dibalut tema migrasi.

Program itu secara terbuka mengundang peminat dari kalangan pekerja kreatif yang tertarik pada musik, suara, dan perangkat elektronik. Peserta yang lolos seleksi adalah Firmansyah Risman alias Methclass dengan karya musik hasil pengodean di komputer.

Kemudian Hara alias HRTS yang melibatkan suara organ tubuh seperti detak jantung dalam musiknya dan Winda Ayu yang meracik musik gambang dengan aplikasi elektronik. Adapun Arum Dayu yang biasanya menulis lagu sempat bingung mau membuat apa. “Aku bikin lagu dengan alat baru pakai laptop,” katanya, sebelum tampil.

Sebelum tampil, selama sepekan mereka menjalani proses inkubasi, lokakarya, pengenalan alat, pengembangan ide, klinik dan musik, juga membuka studio di The Hallway. Seorang fasilitator peserta, Bunga Dessri Nur Ghaliyah, mengatakan para penampil tidak dituntut berkarya dengan genre musik tertentu, tapi mengembangkan karya sesuai dengan tema.

“Tujuannya adalah membuka pikiran peserta bahwa musik tidak terbatas,” ujar lulusan Jurusan Karawitan Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung, tersebut.

Bunga mengaku terkesan pada beragam acara dan pengunjungnya yang kebanyakan anak muda. Misalnya Bioskop Rakyat yang memutar film-film dan video dokumenter. “Ternyata pasar bisa menjadi tempat kumpul anak muda dan betah di sini,” tuturnya. Di tempat itu juga Bunga merasakan kebebasan berekspresi dan bermusik, termasuk berlatih olah vokal.

The Hallway yang dibuka pada 1 Oktober 2020 itu dirintis Rilly Robbi Gusadi dan Faizal Budiman bersama dua rekan lain pada 2017. Mereka menggagas ruang ekonomi dan kreatif baru di lantai 2 Pasar Kosambi seluas 3.100 meter persegi.

Gedung pasar milik Pemerintah Kota Bandung itu terdiri atas enam lantai. Lantai ruang bawah tanah diisi pedagang sayur, buah, dan makanan ringan. Lantai 1 diisi oleh pedagang baju dan toko emas. Sedangkan lantai 3 ke atas kosong.

Dari modal awal Rp 20 juta hasil patungan berempat, total biaya renovasi kios hingga penambahan fasilitasnya, seperti jaringan listrik dan air serta sarana pendukung mencapai sekitar Rp 2 miliar. Kemudian satu per satu kios mereka sewakan.

Robbi Gusadi menjelaskan, kini ada sekitar 60 unit yang terisi dengan sistem kurasi agar tidak banyak kesamaan produk yang dijual. Harga sewa kios berukuran 3 x 3 meter, misalnya, Rp 18 juta per tahun. Terdapat toko pakaian dan gerai aneka sajian kuliner, seperti kopi serta mocktail, ramen, mi, dan es krim.

Faizal Budiman alias Bob mengungkapkan, jumlah pengunjung harian pada hari kerja berkisar 800-1.200 orang. Pada akhir pekan, ada sekitar 1.500 orang dan bertambah sekitar 50 persen ketika musim libur sekolah tiba. Jumlah pengunjung bisa meningkat lagi ketika digelar acara rutin ataupun tambahan.

Paspor yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar Bekasi di Bekasi, Jawa Barat, 24 Juli 2024./Tempo/Adi Warsono

Pameran desain interaktif berjudul “Ourchetype” yang digelar di The Hallway pada 15 Desember 2023-31 Januari 2024, misalnya, menggaet 6.675 pengunjung yang membayar tiket seharga Rp 15-20 ribu per orang. Bertema tes psikologi tentang kepribadian individu untuk mengenal diri lebih mendalam, pameran terbagi menjadi beberapa ruang wahana.

Di tempat pertama yang dinamakan Ruang Citra, pengunjung diminta memilih topeng apa yang kira-kira cocok dengan suasana hatinya saat itu. Selanjutnya, di Ruang Baur, pengunjung menjalani tes kepribadian lewat pertanyaan-pertanyaan yang unik.

Kemudian, di Ruang Singgung, pengunjung mendengarkan suara rekaman lewat alat seperti telepon berkabel yang isinya menyinggung perasaan. Sedangkan di Ruang Resah, pengunjung diminta menuliskan keresahan yang dialami di secarik kertas lalu memasukkannya ke kotak.

Selanjutnya, di Ruang Imajiner, pengunjung diminta memilih sampul buku yang sesuai dengan karakter diri. Sedangkan di Ruang Berbagi, pengunjung diminta menulis dan menerima pesan positif dari orang lain untuk saling menguatkan. Akhirnya, di Area Hasil, pengunjung bisa melihat kepribadiannya seperti apa.

Hallway juga menjadi tempat kegiatan Bioskop Rakyat hasil kolaborasi Produksi Film Negara dengan Bioskop Online untuk mendistribusikan film-film nasional berkualitas tinggi sejak Februari 2024. Pemutaran film yang digelar dengan Ganesha Film Festival menghadirkan 24 judul dengan berbagai tema.

Bob menjelaskan, kerja sama bioskop berlangsung selama enam bulan atau hingga Agustus 2024. Setiap hari, acara menonton digelar dua kali pada pukul 15.00 dan 19.00 WIB dengan harga tiket masuk Rp 15 ribu.

Pekan ini, beberapa filmnya adalah karya sineas kampus di Bandung dan film pendek animasi. “Kalau jumlah penontonnya setiap hari tidak tentu, tergantung film pilihannya,” kata Bob.

Aktivitas lain di The Hallway adalah acara ngabuburit ketika bulan puasa. Acara tersebut mengajak pengunjung meronce manik-manik menjadi gelang atau kalung. Lalu ada juga acara perbincangan; Pasar Ramai, yang menjual pakaian bekas; serta latihan tinju bersama Street Boxing Bandung.

Dalam waktu dekat, Bob menambahkan, rencananya akan tampil band The S.I.G.I.T setelah pada tahun lalu digelar konser grup musik Efek Rumah Kaca, penyanyi Marcell Siahaan, dan band Koil. “Kapasitas penonton maksimal 350 orang,” ujarnya.


•••

SELAIN di Jakarta, Bekasi, dan Bandung, ruang kreatif terdapat di Yogyakarta. Salah satunya Sarsa Chill & Creative Space di Dusun Nglengkong, Desa Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sarsa yang berdiri pada 12 Juli 2023 diinisiasi oleh Firza Ayubi, 27 tahun, dan Saputri Dian, 29 tahun—keduanya sarjana ekonomi. Ruang kreatif ini bermula dari keresahan Firza dan Putri ketika pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Mereka tak bisa berkegiatan di luar rumah, tak boleh berkerumun, dan tak bisa bebas kongko. Kejenuhan dan tingkat stres pun menanjak.

Mereka kemudian berinisiatif membuat kegiatan yang bisa mengusir jenuh dan meredakan stres tanpa harus keluar dari rumah. Keduanya membuat acara paket melukis. “Sepertinya melukis kegiatan yang menyenangkan, bisa dilakukan sendiri dan tak perlu keluar dari rumah,” kata Firza.

Suasana lorong The Hallway di lantai 2 Pasar Kosambi, Bandung, Jawa Barat, 29 Juli 2024./TEMPO/Prima mulia

Awalnya, Firza mengungkapkan, paket melukis itu ditawarkan kepada teman-teman mereka melalui WhatsApp dan Instagram. Ada tiga kegiatan yang mereka tawarkan, yakni mewarnai kanvas dan tote bag atau tas tenteng yang sudah berpola, serta melukis pada kanvas kosong. “Semua peralatan dan material melukis kami sediakan, lalu dikirim ke rumah. Mereka tinggal pakai,” ujarnya.

Ketika pandemi mereda, Firza dan Putri mulai mengikuti kegiatan offline. Mereka ikut dalam beragam acara di kampus dan menawarkan kegiatan melukis. Mereka pun makin dikenal. Banyak permintaan dari mahasiswa untuk mengadakan workshop. “Lama-lama, kami berpikir kenapa enggak menyediakan tempat saja buat mereka?” ucap Firza.

Lalu mereka pun membangun Sarsa Chill & Creative Space pada 2023. Selain menjadi ruang kreatif, Sarsa sekaligus tempat untuk healing. Nama “Sarsa”—singkatan dari bahasa Jawa kerso sareng—berarti mau bekerja sama, mengingat usaha itu dikelola oleh dua orang.

Ruang kreatif dengan bangunan bergaya joglo itu berlokasi di kawasan pertanian dengan hamparan sawah di sekitarnya. Untuk menuju ke sana, pengunjung mesti keluar-masuk jalan perkampungan.

Memasuki Sarsa, ayunan kursi kayu menyambut di terasnya. Lalu ada cermin besar di depan pintu masuk yang dihiasi lukisan tangan di sisi-sisinya. Pengunjung tampak berswafoto di sana. “Cermin itu memang spot foto favorit,” kata Firza.

Di dalam bangunan Sarsa yang berlantai kayu, terdapat sejumlah meja dan kursi kayu berbagai ukuran dan bentuk. Ada meja yang berbentuk lingkaran ataupun segi empat. Setiap meja sudah penuh coretan bekas cat akrilik dari pengunjung.

Sementara sebelumnya hanya ada tiga kegiatan kreatif di Sarsa, kini telah ada belasan. Untuk melukis, pengunjung bisa menggunakan media di atas kanvas, bucket hat, kantong alat rias, tas tenteng, cermin, dan pot tanah liat. Sedangkan mewarnai dilakukan pada media kanvas, tumbler, dan tas tenteng.

Ada juga kerajinan tangan seperti paket airdry clay, clay polymer, microblock, dan meronce. “Yang baru dirilis bulan ini menghias frame pigura dengan lukisan,” ujar Firza.

Pengunjung mewarnai tas tenteng di Sarsa Chill & Creative Space di Desa Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 19 Juli 2024./TEMPO/Pito Agustin Rudiana

Setiap pengunjung tidak hanya mendapat peralatan melukis, seperti 12 cat warna, kuas, dan piring palet. Mereka juga mendapat material berupa topi, tas tenteng, pouch, kanvas, atau cermin yang bisa dibawa pulang, meski ada juga yang ditinggalkan dan dipajang di rak-rak di sana untuk menjadi hiasan.

Saat Tempo berkunjung ke Sarsa pada Jumat siang, 19 Juli 2024, delapan perempuan muda sedang melakukan kegiatan kreatif. Di antaranya Widya dan Laras yang asyik mewarnai tas tenteng putih. Sudah ada gambar pola pada tiap tas tenteng. Kedua perempuan muda itu tinggal memolesnya dengan cat berwarna.

Widya memilih gambar pola gunung dengan bulan sabit di atasnya. Ia memolesnya dengan abu-abu gelap untuk warna langit. Sedangkan Laras memilih tas tenteng bergambar pola dedaunan. Ia menggunakan warna jingga muda untuk latarnya.

Kedua mahasiswa itu mengaku baru pertama kali datang ke Sarsa setelah mengetahuinya dari media sosial. Kegiatan mewarnai mereka pilih untuk mengisi waktu luang kuliah. “Daripada hanya main handphone. Kalau ini lebih quality time,” ucap Laras.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Adi Warsono dari Bekasi, Anwar Siswadi dari Bandung, dan Pito Agustin Rudiana dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Inisiatif Menghadirkan Ruang Kreatif"

Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus