Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERASAAN bungah Danielle Kreb, 52 tahun, atas kelahiran bayi pesut di Sungai Pela, Kota Bangun, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tiba-tiba berubah menjadi dukacita. Pada Jumat dinihari, 12 Juli 2024, pendiri dan penasihat program Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) itu mendapat kabar penemuan bangkai pesut mahakam di Sungai Pela, anak Sungai Mahakam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari sebelumnya, Kreb semangat bercerita kepada Tempo di kantornya ihwal pertemuannya dengan kelompok pesut yang memiliki anggota keluarga baru. Seekor bayi itu berenang bersama kelompoknya di Sungai Pela. Saat itu Kreb dan tim observasi tengah melakukan patroli pemantauan rutin di sungai tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, kuat dugaan Kreb bahwa bangkai dengan panjang 95 sentimeter yang ditemukan pada 12 Juli 2024 tersebut adalah bayi pesut yang sama. Bangkai bayi pesut betina itu dievakuasi ke Stasiun Pengamatan Pesut Mahakam milik Yayasan Konservasi RASI di Sungai Pela. Sore itu juga tim dokter hewan dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) Kalimantan Timur I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur serta Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak melakukan nekropsi.
Intan Purwa Dewantari, Ketua PDHI Kalimantan Timur I, yang melakukan nekropsi, mengatakan bayi pesut itu mengalami perdarahan di dalam tubuhnya. Namun belum dapat dipastikan penyebabnya. Silvana, kolega Intan, menimpali, “Secara fisik di luar, ada pembengkakan di lidah dan pangkal ekor.”
Perkiraan awal, Intan melanjutkan, ada trauma fisik luar yang menyebabkan perdarahan dalam. Guna memastikannya, pemeriksaan histopatologi dan toksikologi harus dilakukan. “Kami masih menunggu hasil laboratorium,” kata Intan saat ditemui Tempo di sebuah kafe di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, pada Selasa, 16 Juli 2024.
•••
PENEMUAN bangkai pesut di Sungai Pela itu merupakan kematian pesut yang kelima pada tahun ini. Bangkai pesut pertama ditemukan terdampar di tepi Sungai Mahakam di Desa Bukit Jering, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, pada 21 Februari 2024. Pemeriksaan yang dilakukan Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia melalui pencocokan sirip punggung pesut yang unik bak sidik jari manusia memastikan bahwa pesut itu adalah Four.
Danielle Kreb menjelaskan, mereka mengidentifikasi Four pada 1999. Pesut jantan ini diperkirakan berumur 25 tahun. “Dulu pesut yang teridentifikasi tidak diberi nama, melainkan nomor. Sejak 2016 baru diberi nama. Tapi nama Four begitu melekat sehingga dipertahankan,” ucap perempuan 53 tahun yang lahir di Emmeloord, Belanda, dan mulai meneliti pesut mahakam pada 1997 ini.
Tim RASI pun melakukan nekropsi untuk menemukan adanya gangguan atau kelainan pada tubuh Four. Hasilnya, Four diperkirakan mati karena umur tua dan komplikasi penyakit yang dideritanya. “Dari nekropsi itu juga ditemukan ada mikroplastik yang mengganggu pencernaan di lambung dan usus. Mikroplastik bukan penyebab kematian langsung, tapi ternyata itu mengganggu organ tubuh Four,” ujar Kreb.
Sebulan berselang, pada 2 April 2024, kabar duka datang dari hilir. Warga menemukan bangkai bayi pesut mahakam di bawah dermaga Museum Mulawarman, Tenggarong, Kutai Kartanegara. Bayi pesut betina itu diperkirakan berumur 4-5 bulan. Tim RASI lalu memberi nama pesut itu Angel. Kondisi Angel yang membusuk tidak mendukung untuk dilakukan nekropsi.
Waktu berlalu dan belum genap sebulan, pada 29 April 2024, seekor pesut mahakam mati kembali ditemukan di Desa Pulau Harapan, Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara. Pesut itu dikenali sebagai Rexy. Umurnya sekitar 7 tahun. RASI masih menunggu hasil pemeriksaan histopatologi dan toksikologi untuk memastikan penyebab kematiannya.
“Yang sudah bisa dipastikan Rexy gagal napas. Kami masih menunggu apa yang bikin dia tenggelam. Sebab, kami masih menemukan ikan utuh dalam tenggorokan. Di lambung juga masih ada udang,” tutur Kreb.
Dua bulan kemudian, pada 21 Juni 2024, warga Kota Samarinda digegerkan oleh penemuan pesut mati yang terdampar di dekat stasiun pengisian bahan bakar umum di Jalan Slamet Riyadi, Kelurahan Teluk Lerong Ulu, Kecamatan Sungai Kunjang, Kutai Kartanegara. Seekor pesut jantan itu diduga sudah mati beberapa hari sebelum ditemukan. Dari pemeriksaan sirip punggungnya, pesut itu ternyata tidak terdata. Kulit pesut itu juga sedikit berbeda dengan pesut mahakam.
Kreb menduga pesut itu berasal dari muara Sungai Mahakam. “Waktu itu juga sedang pasang air laut. Tapi, untuk memastikan hal itu, kami masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium,” ujarnya.
Kreb memaparkan, secara genetika, pesut mahakam dan pesut di muara Sungai Mahakam berbeda. Pesut mahakam hidup di air tawar, sementara pesut di muara Sungai Mahakam hidup di air payau atau asin. Secara fisik, kedua jenis pesut ini bisa saja terlihat sama. Namun untuk memastikannya harus dilakukan tes asam deoksiribonukleat (DNA). Amat disayangkan, penelitian DNA pesut mahakam masih minim.
Hasil penelitian Trifan Budi, peneliti Animal Genomics and Bioresource Research Center Kasetsart University, Thailand, yang terbit di jurnal Biota pada Februari 2023, hanya satu di antaranya. Dia membandingkan sekuens DNA dari gen NADH2 (nikotinamida adenin dinukleotida hidrogenase unit 2) pesut mahakam dan pesut pesisir. “Dari hasil analisis sekuensnya, pesut mahakam masih memiliki sekuens yang sama dengan pesut yang ditemukan di pesisir,” tulis Trifan melalui e-mail, Senin, 15 Juli 2024.
Penelitian Trifan sebelumnya, yang menggunakan penanda control region DNA mitokondria, memang menemukan perbedaan haplotipe antara pesut mahakam dan pesut pesisir. Haplotipe adalah sekelompok gen dalam suatu organisme yang diwarisi bersama dari satu orang tua.
“Namun kami belum bisa mengambil kesimpulan karena sampel yang diuji dari pesisir hanya dua (1 sampel Teluk Balikpapan dan 1 sampel Penajam Paser Utara),” kata Trifan. “Selain itu, perbedaan genetik dari marka tersebut masih terbilang kecil, yakni kurang dari 2,5 persen.”
Trifan memaparkan, untuk mengatakan suatu populasi merupakan spesies yang berbeda, biasanya peneliti merujuk pada perbedaan morfologi, ekologi, tingkah laku, dan genetik yang lebih dari 2,5 persen. “Jadi sampai saat ini, secara genetik, ketiga populasi (pesut mahakam, pesut muara, dan pesut pesisir) masih merupakan spesies yang sama,” tuturnya.
RASI, dalam “Laporan Teknis Monitoring Pesut Mahakam dan Kualitas Air 2022”, menyebut sejumlah daerah sebagai habitat utama pesut mahakam. Di wilayah perairan Kutai Kartanegara, habitat tersebut terbentang di Muara Kaman hingga Batuq, termasuk anak Sungai Kedang Rantau, Kedang Kepala, Belayan, Pela, dan Batubumbun. Di Kutai Barat, lokasi sebaran utama pesut mahakam adalah antara Batuq hingga Muara Pahu dan anak Sungai Kedang Pahu.
Sejak 2010, pesut makin jarang didapati di Kutai Barat. Penurunan populasi pesut di Muara Pahu disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk hilangnya daerah pemijahan ikan akibat konversi rawa demi perkebunan sawit serta transportasi batu bara di anak Sungai Kedang Pahu.
Habitat anak sungai, menurut tiga survei RASI pada 2022, merupakan lokasi yang paling sering ditemukan pesut mahakam. Dari 27 titik pertemuan pesut, sebanyak 41 persen dijumpai di habitat anak sungai, 37 persen di habitat muara, dan 22 persen di habitat sungai utama.
Karena itu, RASI menyarankan pemerintah daerah tidak lagi mengeluarkan izin lalu lintas tongkang batu bara melewati jalur anak sungai. Kalaupun izin telanjur diterbitkan, lalu lintas tongkang di jalur anak sungai perlu dikurangi frekuensinya, seperti berjeda setengah jam atau berjarak 3 kilometer antartongkang. Selain itu, pemerintah disarankan tidak menerapkan jalur dua arah pada anak sungai yang sempit, yaitu di muara Kedang Kepala hingga hulu kampung Muara Siran, muara Belayan hingga Sebelimbingan, dan di Kedang Pahu hingga Muara Beloan.
Danielle Kreb kerap gelisah atas maraknya tongkang batu bara. Kapal-kapal itu bisa menghasilkan suara bising hingga 100 desibel. Padahal suara 80 desibel saja sudah cukup mengganggu pesut mahakam yang “melihat” dengan mengandalkan pantulan sonar. “Ketika ada ponton lewat, mereka bergumul dengan ekolokasi,” ujarnya.
Selain itu, kebisingan di bawah air akibat lalu lintas tongkang batu bara menyebabkan jumlah ikan yang menjadi mangsa pesut berkurang. Adapun tongkang yang melaju terlalu ke tepi menggerus pinggiran sungai sehingga merusak akar bawah air tumbuhan yang menjadi tempat ikan meletakkan telurnya. “Pesut jadi susah mencari ikan,” kata Kreb.
Berkurangnya jumlah mangsa ini dapat mempengaruhi waktu dan energi yang harus dikeluarkan pesut untuk mencari makan. Akibatnya, pesut lebih tertarik mengambil ikan dari jaring insang (rengge). Berdasarkan pantauan RASI, rengge diduga menjadi penyebab tertinggi kematian pesut mahakam. Sebanyak 70 persen dari 118 kematian dalam kurun 1995-2022 diduga disebabkan oleh jeratan rengge.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Timur Suriawati Halim menilai pentingnya mendorong pemerintah daerah mengeluarkan aturan untuk membantu konservasi pesut mahakam. “Aturan-aturan untuk penggunaan alur sungai yang ramah pesut, juga pengendalian sampah, terutama plastik yang masuk ke sungai, dan pengaturan penggunaan jaring,” ucapnya. Selain itu, pelaku penangkapan ikan yang tidak benar harus ditindak.
•••
KEMATIAN lima pesut di Sungai Mahakam dan anak sungainya dalam kurun setengah tahun ini membuat Danielle Kreb khawatir. Matinya dua ekor bayi pesut menunjukkan Sungai Mahakam tidak ramah bagi generasi baru pesut mahakam. Dia hanya berharap tingkat kematian pesut tahun ini tidak melampaui rekor 2018. Kala itu 10 individu pesut mati dalam setahun.
Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia tak kurang-kurang berupaya menurunkan risiko kematian pesut. Mereka telah memasang 201 alat akustik bawah air (pinger) di rengge milik 151 nelayan untuk mengusir pesut. Sebelumnya, RASI juga mengajukan permohonan kawasan konservasi untuk pesut mahakam kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seluas 42.667,99 hektare dan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seluas 179.030,55 hektare.
Bangkai bayi pesut mahakam yang ditemukan di Sungai Pela, anak Sungai Mahakam, 12 Juli 2024. Dok.YKRASI
Namun penetapan kawasan konservasi baru datang dari KKP pada 8 Agustus 2022. Kawasan konservasi perairan itu terdiri atas zona inti seluas 1.081,28 hektare, zona pemanfaatan seluas 30.695,74 hektare, dan zona lain sesuai dengan peruntukan kawasan seluas 10.890,97 hektare.
Kreb menerangkan, upaya pelindungan pesut mahakam mulai terlihat sejak ditetapkannya kawasan konservasi di Sungai Mahakam bagian tengah yang termasuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut. “Patroli juga teratur. Sudah mulai juga pengelolaan kawasan konservasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan,” tuturnya.
Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Perairan Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Firdaus Agung Kunto Kurniawan, mengatakan sinergi KKP dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara bertujuan mendukung pengelolaan kawasan konservasi melalui rencana aksi yang telah ditetapkan. Rencana aksi yang dimaksud Firdaus adalah Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi di Perairan Mahakam Wilayah Hulu Kabupaten Kutai Kartanegara 2022-2042. Pengelolaan ini dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Pontianak.
Firdaus menjelaskan, ada tiga misi dalam rencana aksi tersebut, yakni menjaga kelestarian ekosistem sebagai habitat pesut mahakam, meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi, dan meningkatkan diversifikasi mata pencarian bagi masyarakat sekitar kawasan konservasi. Ihwal zona inti yang hanya seluas 1.081,28 hektare, dia mengatakan hal itu telah sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 3 Tahun 2020 yang menyatakan luas zona inti paling sedikit 10 persen dari luas ekosistem atau habitat biota target konservasi.
“Zona inti itu telah mewakili habitat spawning, nursery ground pesut mahakam, dan tempat pemijahan ikan ekonomis penting seperti lais, moluska, dan krustasea yang menjadi pakan pesut mahakam,” kata Firdaus melalui jawaban tertulis, Selasa, 30 Juli 2024.
Firdaus mengatakan kematian tiga pesut mahakam yang ditemukan di kawasan konservasi akan menjadi bagian dari evaluasi terhadap rencana pengelolaan dan rencana zonasi kawasan konservasi. Dia memastikan BPSPL Pontianak telah melakukan berbagai upaya pelindungan pesut mahakam. Dalam kasus kematian baru-baru ini, BPSPL Pontianak ikut melakukan nekropsi.
Sejauh ini, Firdaus mengimbuhkan, kematian tiga pesut di dalam kawasan konservasi itu berhubungan dengan faktor umur tua dan penyakit. “Pesut bernama Four, berdasarkan hasil nekropsi, mengalami gagal jantung. Pesut Rexy mengalami gagal napas. Adapun bayi pesut menunjukkan adanya dugaan kematian karena infanticide,” ujarnya.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Satyawan Pudyoatmoko berpendapat serupa. Menurut dia, berdasarkan analisis KLHK beberapa tahun terakhir, ada sejumlah penyebab kematian pesut. “Tidak dimungkiri salah satunya terkait dengan aktivitas manusia yang beririsan dengan habitat pesut. Namun beberapa kasus kematian juga mengindikasikan usia satwa yang sudah cukup tua,” tuturnya melalui jawaban tertulis, Rabu, 24 Juli 2024.
Satyawan menegaskan, KLHK sudah lama berupaya melindungi dan mengawasi pesut mahakam. Salah satu langkah konkretnya adalah mengkategorikan spesies ini sebagai satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018. “Sosialisasi dan pembinaan populasi terus kami upayakan dengan melibatkan para pihak, baik akademikus maupun non-governmental organization, sebagai mitra kerja,” ujarnya.
Dia berharap pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada awal Juli 2024 akan melindungi tumbuhan dan satwa liar dengan lebih komprehensif, yang mencakup kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Dalam undang-undang baru itu, konservasi biodiversitas bisa juga dilaksanakan di area preservasi yang mencakup area di luar kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam serta kawasan konservasi di perairan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil yang memiliki nilai keanekaragaman hayati tinggi. Contohnya habitat satwa liar seperti pesut mahakam dan hutan gambut. “KLHK akan segera menyusun regulasi turunannya sebagai pedoman dalam implementasi di lapangan,” kata Satyawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nofiyatul Chalimah dari Samarinda berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Misteri Pesut Mahakam Bermatian"