Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sungai Surabaya dan Bincang Tepi Kali dalam ICAS 13

Sebanyak 1.500 mahasiswa dan warga Surabaya melebur dalam 13th International Convention of Asian Scholars atau ICAS 13.

4 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebanyak 1.500 mahasiswa dan warga melebur dalam 13th International Convention of Asian Scholars atau ICAS 13 yang dihelat Universitas Airlangga di Surabaya. Mendekatkan wacana akademis dengan masyarakat.

  • Acara digelar di gedung-gedung, beberapa kampung, dan sekitar sungai di Surabaya dengan melibatkan masyarakat.

  • Surabaya dinilai cocok mengemban misi ini karena menjadi tempat silang budaya. Menapak tilas potensi dan sejarah masa lampau.

SIANG itu, tak kurang dari 50 orang terlihat duduk lesehan di balai pertemuan yang mirip pos keamanan di tepi Sungai Jagir, tak jauh dari pintu air peninggalan Belanda di Kampung Baru Stren, Surabaya. Sungai yang alirannya mengarah ke timur tersebut merupakan cabang Kali Surabaya di Ngagel. Cabang lain, Kalimas, mengalir ke utara, membelah pusat kota hingga bermuara di Tanjung Perak. Adapun Kali Surabaya adalah anak Sungai Brantas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati membincangkan banyak hal, mereka tak sedang mengikuti rapat rukun warga. Diskusi di tepi Sungai Jagir pada Ahad siang, 28 Juli 2024, itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan 13th International Convention of Asian Scholars atau ICAS 13. Mengusung tema “Crossway of Knowledge”, Universitas Airlangga bertindak sebagai tuan rumah kegiatan yang diselenggarakan International Institute for Asian Studies itu. Kegiatan berkonsep konferensi-festival itu diikuti 598 kampus dengan 1.500 mahasiswa dari 66 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah seorang peserta diskusi menuturkan, tradisi kearifan lokal berupa ritual larung sesaji masih dipelihara di kampung padat penduduk itu. Bentuknya berupa tumpeng lengkap dengan lauk-pauk. Selain menjadi ekspresi terima kasih kepada sungai yang menghindarkan penduduk dari bahaya banjir, larung sesaji itu membawa harapan agar tak ada warga yang tenggelam.

“Ini tradisi turun-temurun warisan leluhur kami, salah satu wujud peradaban warga tepi sungai yang tetap terpelihara,” kata Suparno, penduduk Kampung Baru yang menghadiri diskusi tersebut.

Di waktu yang sama dengan lokakarya, berlangsung pemutaran film Kine(mat)tic Connections (2023) di Balai RW 2 Kelurahan Plampitan. Film tersebut memperkenalkan lingkungan bersejarah di Murasakino di utara Kyoto, Jepang.

Meski tidak terlalu banyak diikuti peserta, diskusi film di balai RW itu cukup gayeng. Mereka membicarakan Murasakino sembari menghubungkannya dengan Surabaya yang juga memiliki banyak lingkungan bersejarah. Salah satunya Plampitan, searah jalan dengan Kelurahan Peneleh dan Pandean, dua kampung yang tak terpisahkan dari Sukarno. Pandean merupakan tempat lahir Presiden Indonesia pertama tersebut. Adapun di Peneleh terdapat bekas rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tempat Sukarno muda berguru politik.

Mereka membincangkan sejarah dan arsitektur rumah di wilayah itu. Arsitektur bangunan lama, yakni hunian abad ke-19 beratap tinggi dengan dua jendela mengapit pintu, masih banyak ditemukan di kampung tersebut. Sebagian telah direnovasi. Namun, menurut salah seorang warga setempat, Soe, tak banyak warga yang merenovasi total bentuk rumah mereka. “Meski rumah itu telah direnov, keaslian model bangunan biasanya tidak ditinggalkan sehingga arsitektur lama masih terlihat,” ucap Soe.

Peneliti sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetyo, menuturkan, selain memiliki arsitektur hunian yang masih asli, Plampitan pernah menjadi tempat tinggal Roeslan Abdulgani, tokoh pejuang perang Surabaya. Menurut penelusuran Kuncarsono, rumah tokoh komunis Semaoen serta kediaman pendiri Sarekat Islam, Tjokrosudarmo, dulu juga di Plampitan. “Rumah Semaoen di Plampitan Gang VIII,” ujar Kuncarsono. Masjid Plampitan, dia menambahkan, pun dipakai Sukarno untuk melangsungkan ijab kabul dengan Siti Oetari pada 1921.

Satu lokakarya lain diadakan di Tambakbayan, kawasan kampung Pecinan yang terletak di tepi Kalimas, pada Kamis, 1 Agustus 2024. Di tempat ini, acara mempertemukan anak-anak, remaja, dan orang dewasa untuk terlibat dalam perbincangan tentang buku. Buku itu adalah Euprotesto karya penulis Brasil, Laura Erber, yang sedang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Adrian Perkasa, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, yang mengambil pendidikan doktor sejarah di Universiteit Leiden, Belanda.

Menurut Adrian, Tambakbayan menyimpan sejarah Pangeran Tambakboyo pada era Mataram setelah Sultan Agung atau sekitar 1700. Arsitektur lama bangunan di kampung tersebut konon adalah peninggalan Tambakboyo. Setelah gelombang terakhir imigran Tiongkok datang, Tambakbayan dijadikan permukiman mereka. Sedangkan imigran Cina yang lebih dulu datang ke Surabaya, Adrian mengungkapkan, umumnya secara strata ekonomi lebih tinggi. “Mereka yang strata menengah ke atas ini bermukim di Kampung Kapasan dan Jalan Karet. Kalau enggak jadi pejabat sekelas adipati, ya jadi pengusaha,” tutur Adrian.

Berlangsung sejak Sabtu, 27 Juli, hingga Kamis, 1 Agustus 2024, ICAS 13 menghadirkan 35 rangkaian kegiatan yang antara lain berupa diskusi dan seminar di Airlangga Sharia Entrepreneurship & Education Center Tower, Kampus B Unair, dan di kampung-kampung yang ditunjuk panitia. Selain diskusi ilmiah, ada acara pameran dan pentas seni.

Adrian Perkasa, yang juga manajer proyek ICAS 13, mengatakan konsep konferensi-festival tersebut baru sekali ini diterapkan. Dalam festival, penekanan lebih banyak diberikan pada seni budaya. “Kami akademikus, produk pengetahuannya kan lewat tulisan saja. Kalau seniman, imajinasinya tak jarang melampaui pemikiran kita,” ujarnya.

Adrian mengatakan jumlah peminat pameran dan lokakarya seni ternyata membeludak. Saat pendaftaran dibuka, dia mengungkapkan, tak kurang dari 50 proposal masuk. Bahkan pendaftar bersedia membiayai sendiri kegiatannya. Padahal dalam ICAS sebelum-sebelumnya panitialah yang membayar mereka. “Kami cukup kewalahan mendapatkan 22 proposal pameran di ruang publik,” katanya.

Adrian mengakui pemilihan lokasi lokakarya ataupun pameran di tepi sungai berkaitan dengan jaringan kota-kota sungai. Karena itu, proposal yang lolos kurasi dihubungkan serta dipilihkan dengan partner lokal. Ia mencontohkan lokakarya di Kampung Tambakbayan yang dikaitkan dengan isi buku Euprotesto yang berisi protes sosial. “Kami memilih Tambakbayan karena di kampung tersebut pernah terjadi demonstrasi warga,” tuturnya.

Peserta kegiatan Walking Tour ICAS 13 di Surabaya, Jawa Timur, 31 Juli 2024. fisip.unair.ac.id

Selain di perkampungan, lokakarya dan pameran diadakan di bekas gedung De Javasche Bank, Jalan Rajawali, serta Museum Pendidikan di Jalan Gentengkali yang dulu lokasi lembaga pendidikan Tamansiswa. Dua gedung tersebut juga berada di tepi Kalimas. Menurut Adrian, selain ingin melihat sisi sejarah peradaban tepi sungai, ICAS 13 hendak menyaksikan kondisi sosial dan lingkungan perairan itu pada hari-hari ini.

Adrian tak memungkiri peran vital sungai pada masa lalu, misalnya sebagai jalur transportasi kapal hingga ke daerah pedalaman hulu Brantas. Bahkan sungai sebagai jalur maritim disebutkan dalam Prasasti Canggu atau Prasasti Tambangan pada zaman Raja Majapahit Hayam Wuruk. Dalam prasasti itu, toponimi yang disebut ialah Bungkul, Pagesangan, dan Surabaya, daerah-daerah yang berada di tepi hilir Brantas.

Lebih tua dari itu, sungai juga menjadi jalur masuk tentara Mongol dari Surabaya ke Majapahit, bahkan ke Kediri pada era Raden Wijaya. “Kami ingin menapaktilasi jalur perairan itu dengan tur sungai. Potensi Surabaya ini luar biasa, bahkan sejak zaman Majapahit,” ucapnya.

Tepi sungai dipilih sebagai tempat kegiatan karena Surabaya sejatinya adalah bingkai sebuah cerita. Sesuai dengan tema ICAS 13, "Crossway of Knowledge", Surabaya dinilai cocok mengemban misi ini karena menjadi tempat silang budaya. Kota yang dulu dibangun orang Jawa itu pada akhirnya menjadi wilayah multietnis setelah masuknya orang-orang Cina, Eropa, Arab, dan Melayu.

“Jadi kenapa ini yang kami angkat, karena Surabaya menyimpan potensi pengetahuan yang sangat luar biasa. Tidak bisa hanya didekati dengan pengetahuan keakademian. Karena itu, seni budaya kami masukkan,” ucap Adrian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sungai Surabaya dan Bincang Tepi Kali"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus