Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sangkut-Paut Diabetes dan Tuberkulosis

Orang dengan diabetes melitus tujuh kali lebih rentan terserang tuberkulosis dibanding orang sehat. Pemerintah sudah mengeluarkan aturan untuk deteksi dini.

27 April 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sangkut-Paut Diabetes dan Tuberkulosis/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Elan Herlano, 52 tahun, terduduk lemas di bangku tunggu Klinik TB-MDR Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, Jumat, 26 April lalu. Sesekali ia menyorongkan plastik kresek hitam ke mulutnya seperti hendak muntah, tapi yang keluar cuma sendawa dan air liur. “Efek obatnya gitu, bikin mual,” kata Rohmah, 50 tahun, istri Elan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter memvonis Elan menderita tuberkulosis resistan-obat dan harus menjalani pengobatan selama 20 bulan. Buat Elan, ini penyakit ketiga yang mengharuskannya mengkonsumsi obat setiap hari. Pria yang semula berprofesi sebagai tukang ojek ini lebih dulu terdiagnosis menderita diabetes melitus, lalu darah tinggi. “Tetangga kami juga banyak yang kena diabetes sama TBC,” ucap Rohmah, yang tinggal di Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski setiap hari harus bolak-balik mengantar suaminya berobat, Rohmah bersyukur ia, tiga anak, dan cucunya yang tinggal bersama mereka tak menyandang penyakit yang sama. “Dokter bilang yang kena diabetes memang lebih gampang kena TBC,” ujarnya. Tapi ia masih waswas cucunya yang masih berusia balita itu bakal ikut terinfeksi. Rohmah meminta Elan selalu memakai masker di rumah dan tak mencium cucunya tersebut.

Di belakang Elan, Ahmada juga terduduk lesu. Dua bulan sudah warga Matraman, Jakarta Timur, itu berjuang untuk sembuh dari penyakit yang sama. Bedanya, level TBC yang diderita Ahmada, 50 tahun, lebih ringan. Bakteri yang bersemayam di tubuhnya terdiagnosis belum resistan terhadap obat. “Tapi, karena dia juga kena diabetes, pengobatannya jadi sembilan bulan,” tutur Juwariah, 47 tahun, istrinya. Pada orang tanpa diabetes, TBC yang masih sensitif ini cukup diobati selama enam bulan.

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menular langsung dari manusia ke manusia lewat percikan dahak. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tapi bisa juga menyasar organ tubuh lain seperti tulang, otak, kelenjar, dan kulit. Adapun diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula (glukosa) di dalam darah akibat resistansi insulin atau tubuh tak cukup memproduksi hormon tersebut.

Dua penyakit yang berlainan ini ternyata bisa berkaitan. Keberadaan yang satu bisa mendorong munculnya yang lain. Diabetes bisa meningkatkan risiko terjangkit TBC. TBC pun bisa menyebabkan penderitanya menyandang diabetes. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam situsnya menyebutkan TBC dapat menyebabkan gangguan intoleransi glukosa yang merupakan faktor risiko berkembangnya diabetes.

Dokter penyakit dalam konsultan penyakit infeksi tropik, Erni Juwita Nelwan, mengatakan diabetes membuat imunitas menurun. Akibat kadar gula darah yang tinggi, sel-sel dalam tubuh menggendut, termasuk sel yang bertugas melawan infeksi. Karena gemuk, gerakan sel menjadi lambat sehingga, ketika tubuh diserang kuman, mereka tak bisa menangkap kuman tersebut dengan cepat dan membunuhnya. “Karena itu, orang yang menyandang diabetes lebih gampang terserang infeksi, termasuk TBC, ketimbang orang yang sehat,” ujar Erni. Ia menambahkan, TBC adalah infeksi yang paling sering dialami penderita diabetes.

Menurut WHO, penyandang diabetes berisiko tiga kali lipat menderita TBC. Namun, kata dokter spesialis paru, Erlina Burhan, karena Indonesia adalah wilayah endemis, potensi risikonya bisa sampai tujuh kali lipat. Indonesia menempati urutan ketiga beban jumlah penderita TBC terbesar di dunia di bawah India dan Cina. “Apalagi penularan penyakit ini mudah, lewat udara.”

Selain itu, diabetes bisa membuat bakteri TBC yang semula “tidur” di dalam tubuh menjadi “terbangun”. Pada orang yang memiliki daya tubuh baik, kuman TBC yang masuk ke tubuh tak langsung aktif. Kuman bisa melakukan dormanasi alias “tidur” sehingga tidak menimbulkan gejala penyakit—disebut juga dengan TBC laten. Bakteri tersebut bisa bertahan bertahun-tahun di dalam badan. Nah, ketika daya tahan tubuh melemah akibat diabetes, bakteri TBC yang semula tak aktif ini bangun. Akhirnya, muncullah gejala TBC.

Erlina sering menerima pasien dengan keluhan batuk. Hasil diagnosis menyatakan ia terkena TBC. Setelah ditelusuri dan diminta mengecek gula darah, ternyata si pasien juga menderita diabetes. “Kira-kira 25 persen yang TBC juga diabetes,” tutur dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan itu.

Menurut Erni Juwita, TBC dapat mengubah sensitivitas insulin. Kondisi ini umumnya terjadi pada penderita TBC yang tak terdiagnosis atau tak diobati. Jumlah pasien seperti ini banyak. Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2017, dari perkiraan 841.650 penderita, yang terdiagnosis menderita TBC hanya 687.039. Dari jumlah itu, baru 583.983 yang menjalani pengobatan. Adapun pada 2018, dengan perkiraan jumlah penderita TBC sebanyak 842 ribu, hanya 514.773 yang terdiagnosis.

Infeksi kronis pada mereka yang menderita TBC dan tak diobati ini, Erni melanjutkan, lambat-laun bisa membuatinsulin yang tadinya sensitif menjadi resistan. Akibatnya, muncul gejala seperti menderita kencing manis.

Erni pernah mengikuti penelitian pengukuran gula darah pada penderita TBC di Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. Mereka yang sebelumnya tak menyandang diabetes tapi gula darahnya tinggi saat menderita TBC didapati tak lagi memiliki diabetes ketika TBC-nya diobati dan sembuh.

Namun bukan berarti diabetes yang sementara itu boleh diabaikan. Penyandang TBC dengan gula darah tinggi juga harus mengkonsumsi obat untuk mengendalikan gula darahnya. Sebab, segala risiko penyakit diabetes bisa terjadi, termasuk ketoasidosis, yakni produksi asam dalam tubuh tinggi karena tubuh menggunakan lemak untuk mengganti glukosa. “Ketoasidosis yang tak ditangani dengan cepat bisa mengakibatkan kematian,” kata Erni, yang berpraktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Sejak 2014, WHO merekomendasikan penderita TBC juga menjalani tes diabetes. Pada wilayah dengan jumlah penderita TBC banyak, penyandang diabetes juga direkomendasikan menjalani tes TBC.

Kementerian Kesehatan pun mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Setiap penyandang diabetes harus mendapat evaluasi TBC meskipun belum ada gejala. Demikian juga penyandang human immunodeficiency virus positif—infeksi kronis yang juga melemahkan sistem kekebalan tubuh. Tapi masih banyak petugas kesehatan yang belum menerapkan aturan ini. “Kami juga memasukkannya sebagai syarat akreditasi puskesmas dan rumah sakit, serta ke Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Hasilnya belum juga optimal,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu.

Menurut Erlina, diagnosis TBC pada penyandang diabetes bisa dilakukan dengan roentgen. Erni menambahkan, orang dengan TBC juga mesti rutin mengecek gula darah.

Keduanya sama-sama menyarankan penyandang diabetes mengontrol gula darah. Gula darah yang terkontrol akan meningkatkan daya tahan tubuh sehingga TBC tak mudah menyerang. Bagi yang sudah terinfeksi TBC, gula darah juga tetap perlu dikontrol agar kedua penyakit bisa dikendalikan. “Kalau gula darahnya naik-turun terus, pengobatan TBC yang seharusnya bisa enam bulan bisa ditambah jadi sembilan bulan,” ucap Erlina. Nur Alfiyah


Penyandang diabetes di dunia:

> 415 juta saat ini 

> 642 juta perkiraan pada 2040

Prevalensi penyandang diabetes di Indonesia:

> 5,7 persen pada 2007

> 6,9 persen pada 2013

> 8,5 persen pada 2018

Tuberkulosis:

> Indonesia menempati urutan ketiga beban jumlah penderita TBC terbesar di dunia (842 ribu kasus) setelah India dan Cina

> 300 orang meninggal tiap hari akibat TBC di Indonesia

> 1 orang penderita TBC bisa menulari 10-15­ ora­ng per tahun, 1-5 orang di antaranya berpotensi sakit TBC

> 75 persen dari total kasus TBC di Indonesia pada 2017 terjadi pada kelompok usia produktif

 

SUMBER: International Diabetes Federation Atlas 2016, Riset Kesehatan Dasar, Kementerian Kesehatan

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus