Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini adalah akhir dari sebuah era.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Avengers generasi Robert Downey Jr. dimulai dan diakhiri oleh penampilannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Avengers: Endgame ditunggu-tunggu tidak hanya karena merupakan sekuel dari kisah Avengers: Infinity War (2018), tapi juga, yang lebih penting, lantaran film sepanjang tiga jam ini adalah akhir cerita perjalanan setiap superhero dari sebelas tahun Marvel Cinematic Universe.
Film ini dimulai dengan Tony Stark (Robert Downey Jr.) yang merekam pesan kepada Pepper Potts (Gwyneth Paltrow) tentang kehidupannya yang tengah berlayar di ruang angkasa ketika persediaan oksigen menipis. Tapi jangan khawatir, meski seolah-olah sekarat, ternyata Stark selamat dan berhasil bertemu dengan “sisa geng Avengers” yang sudah dalam keadaan layu. Setelah Thanos (Josh Brolin) berhasil mengumpulkan enam batu Infinity untuk menghancurkan setengah umat manusia dengan jentikan jarinya, inilah yang terjadi: seluruh bumi hanya terdiri atas sisa-sisa reruntuhan yang berserakan; separuh umat manusia menghilang dan hanya menyisakan makam dengan nisan ribuan nama; mereka yang bertahan hidup sudah berada pada tubir keputusasaan.
Demikian pula keadaan sisa Avengers seperti Natasha Romanoff (Scarlett Johansson) alias Black Widow yang berduka tak berkesudahan, Bruce Banner alias Hulk (Mark Ruffalo) yang akhirnya berwujud “the best of both Banner and Hulk” hingga kini berubah menjadi Banner yang Hulk, Thor (Chris Hemsworth) yang tubuhnya menjadi tambun dengan rambut awut-awutan karena menuangkan kepedihannya ke dalam berbotol-botol bir, serta Clint Barton alias Hawkeye (Jeremy Renner) yang berubah menjadi pembunuh bayaran karena tak bisa menyalurkan kemarahannya.
Steve Rogers alias Captain America satu-satunya yang masih bisa berpikir positif dan mencoba mencari jalan keluar untuk mengobati kesedihan massal ini. Tiba-tiba terjadi sebuah keajaiban: Scott Lang alias Ant-Man (Paul Rudd) yang selama ini dianggap turut “hilang” ternyata muncul kembali. Setelah bolak-balik mencari penyebabnya, Ant-Man ternyata satu-satunya dari mereka yang hilang yang berhasil kembali karena ada persoalan ilmiah yang seharusnya bisa membantu mereka menyelesaikan problem dunia. Setelah meyakinkan Tony Stark, yang ogah mengguncang kebahagiaan kehidupan berkeluarga, para superhero jenius ini saling melempar jargon fisika seperti quantum mechanics, Deutsch propositions, dan seterusnya yang tidak kita pahami. Sebetulnya kita cukup paham akan satu terminologi: time travel. Karena si raja jahat Thanos sudah menghancurkan enam batu Infinity itu, tugas para Avengers adalah kembali ke masa lalu untuk memungut satu per satu batu Infinity yang bertebaran tersebut agar umat manusia yang tewas bisa hidup kembali.
Tapi ada satu hal yang perlu diingat: mereka tak bisa mengacak hal yang sudah terjadi seperti dalam film Back to the Future (mereka menyebut-nyebut film ini sembari meledek). Yang bisa “hidup kembali” hanyalah mereka yang tewas akibat batu Infinity.
Maka kini terjawab sudah mengapa film ini sampai sebegitu panjang: tiga jam! Semua anggota Avengers dan kawan-kawan superhero lain harus punya porsi, punya peran dalam pencarian batu ini dan dalam perang besar terakhir. Semua akan diberi konteks kembali seperti pada film masing-masing. Thor akan kembali menemui ibunya, Captain America bakal melihat perempuan yang paling dicintainya, dan seterusnya. Tapi mereka tetap harus ingat bahwa waktu mereka “di masa lalu” terbatas dan harus digunakan untuk mencari batu bertuah tersebut.
Tentu saja akan terjadi kekacauan konsep waktu, misalnya Captain America masa kini bertemu dengan Captain America masa lalu. Atau, yang lebih mengharukan, Tony Stark bertemu dengan ayahnya—yang tentu saja tak mengenalinya karena saat itu Stark seharusnya masih dalam kandungan sang ibu.
Seperti perang besar di setiap epik, Avengers: Endgame memiliki premis sama. Dalam perang, akan ada tokoh yang menjadi korban dan ada yang mengorbankan diri. Akan ada yang bertahan dan akan ada yang pergi selamanya. Bagi penggemar Mahabharata, sama seperti Gatotkaca yang dengan penuh kesadaran mengorbankan diri saat Karna bertarung melawan paman Arjuna, soal pengorbanan diri pasti terjadi dalam setiap kisah perang akhir. Namun film ini sudah mengaturnya sedemikian rupa sehingga siapa pun yang harus mengorbankan diri memiliki “tugas” menyelamatkan separuh umat manusia—memang terdengar gagah betul ketika diucapkan, tapi, saat menyaksikannya, segalanya berjalan dengan alami, sesuai dengan karakter para superhero.
Film ini, dibanding film-film jagat Marvel sebelumnya, memberikan ruang bagi tokoh-tokoh yang berkontemplasi, adegan yang sunyi tanpa musik, bahkan suasana yang sesekali puitis sebelum akhirnya menghadapi perang besar pada paruh kedua. Dan, saat berlangsung perang besar itu, tentu saja momen ini menjadi hadiah khusus bagi para pengabdi setia jagat Marvel yang sudah pasti bertepuk tangan girang setiap kali salah satu superhero muncul dan beraksi. Jangan lupa, di sini ada superhero baru, Captain Marvel, yang sayangnya hanya bisa sesekali mampir karena “saya juga harus mengurus planet lain yang mengalami problem yang pelik pula”.
Para penonton Marvel akhirnya mengucapkan selamat jalan kepada sebuah generasi superhero yang sudah melekat di hati para penggemarnya dan siap menyediakan jalan baru bagi generasi berikutnya. I love you 3000.
Leila S. Chudori
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo