INDONESIA baru kali ini mereevaluasi obat secara besar-besaran. Di Jepang, reevaluasi dilakukan sejak 1967. Dari sekitar 19.600 obat yang dikonsumsi rumah sakit, 1.100 merek dipangkas. Pada 1988 sistem itu diperbarui, yaitu lima tahun sekali obat menjalani reevaluasi rutin. Tahun ini, 145 jenis obat di Jepang diteliti lagi oleh pabriknya, dan 122 ditarik karena memberi mudarat. Di Bangladesh, 1.700 dari 4.500 obat yang beredar 1982, usai dievaluasi ulang, 1986, dinilai tak layak dikonsumsi. Di negara langganan banjir ini evaluasi obat sangat ketat. Toh reevaluasi tak selalu mulus. Di AS mandat reevaluasi obat dari Kongres, 1962, untuk lembaga pengawasan obat dan makanan (FDA) baru dilaksanakan 1966. Waktu itu 3.500 obat diperiksa ulang, walau FDA tak mengumumkan hasilnya. Belakangan ketahuan lembaga ini ditekan pihak produsen. Akibatnya, beberapa organisasi konsumen protes. Pada 1970 dan 1980, FDA digugat ke pengadilan, antara lain, oleh American Public Health Association serta Senior Council for Citizen. Keputusannya: FDA tidak berhak menunda pengumuman. Pada 1984 FDA baru menggelar hasilnya. Ternyata, lebih dari separuh obat yang terdaftar tadi kena babat. Kemudian reevaluasi baru sekarang dijalankan di Indonesia, menurut Dirjen POM Slamet Soesilo, karena ahli obat di sini terbatas, sedang tiap obat mempunyai banyak data ilmiah. "Kami tak bisa semena-mena mengambil tindakan. Bisa diprotes," katanya. Sementara itu, menurut Zaim Saidi, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, WHO memiliki daftar 8.000 obat yang dilarang peredaran di beberapa negara. Bukti reevaluasi itu bisa dijadikan patokan untuk mempermudah dan mempersingkat penilaian. Indonesia, seperti dikatakan Slamet Soesilo, sedang dalam transisi. Dulu obat yang beredar tak perlu didaftar. Obat apa saja bebas masuk. Registrasi baru diterapkan pada 1972. Obat yang tak didaftar disikat. Lalu pada 1980 Departemen Kesehatan membuat kriteria reevaluasi. Acuannya diambil dari petunjuk WHO untuk obat bebas dan FDA untuk yang spesifik seperti obat jantung dan diabetes. Pada 1984, untuk pertama kali Ditjen POM mengumumkan hasil reevaluasi. Beberapa obat antibiotik ditarik dari pasar. Tapi evaluasi ulang terhadap "obat tua" yang didaftar sebelum 1980 terus dilakukan. Hasilnya, yaitu penarikan 285 obat tadi. Di Bangladesh, obat yang akan diedarkan harus melewati 16 kriteria. Di antaranya, perusahaan multinasional yang tidak punya pabrik di negara itu tidak boleh memasarkan obatnya di sana. Kriteria yang diterapkan dengan ketat itu memberi hasil positif: obat esensial bertambah, harga obat turun, dan PMA bermunculan. Tapi jika obat esensial diperketat seleksinya, seperti di Bangladesh itu, menurut Slamet, obat inovasi tidak terekspos. Peraturan ketat juga berakibat meluasnya penyelundupan obat. Namun, menurut Zaim yang juga anggota Action for Rational Drugs in Asia itu, tidak benar jika pengetatan obat menghambat inovasi. Dari 800-an obat yang muncul usai direevaluasi FDA, hanya 3% terbukti meningkatkan mutu terapi. Artinya seleksi terhadap obat esnsial tetap bermanfaat. Di luar itu, toh Slamet yakin, Indonesia paling maju di antara negara berkembang. Malaysia, yang pendapatan per kapitanya lebih tinggi dari Indonesia, baru menerapkan registrasi sekitar dua tahun silam. Itu pun belum semuanya terdaftar. Singapura malah baru mulai tahun ini. "Jadi, kita tak ketinggalan, dong. Apalagi dengan adanya reevaluasi ini," ujar Slamet Soesilo. Sri Pudyastuti R., G. Sugrahetty Dyan K. (Jakarta), dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini