IDI kecewa karena tidak disertakan. Pabrik dan apotek rugi dan bingung. "SAYA susah sekarang. Disalahkan dari sana-sini," kata Slamet Soesilo, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan. Hari-hari ini ia sibuk menghadapi reaksi penarikan 285 merek obat yang diumumkannya dua pekan silam. Selain mengadakan rapat dengan stafnya, Slamet juga harus menjawab pertanyaan wartawan. Ingar-bingar muncul dari dokter, masyarakat, pemilik apotek yang bingung, dan tentu produsen obat. Ia juga tak menyangka terjadi ribut itu secara tiba-tiba. Maka, Slamet kembali mengutarakan bahwa Departemen Kesehatan sebenarnya telah mengambil ancang-ancang untuk melaksanakan penarikan obat itu. "Jauh sebelum keputusan penarikan diterbitkan, sebenarnya produsen obat telah lebih dulu diberi tahu," katanya. Kini, setelah obat mereka dilarang, produsen diberi tempo hingga 21 November mendatang, untuk menarik produknya yang kini sudah dilarang itu. Penarikan 285 merek obat dimaksud, menurut Menteri Kesehatan Adhyatma bukan karena berbahaya, tetapi obat-obat itu tidak rasional. "Obat yang ditarik itu sudah 20 tahun beredar di Indonesia. Kalau berbahaya, sudah dulu dilarang," katanya. Obat yang tidak rasional, kata Adhyatma, antara lain karena khasiatnya diragukan. Kalau digunakan juga, obat itu malah memberatkan kantong konsumen karena manfaatnya belum pasti menyembuhkan. Sebut, misalnya, obat-obat protektor hati seperti Essentialle atau Liver All. Obat tersebut tak banyak menolong karena di dunia ini belum ada obat untuk mengobati penyakit liver. Kesembuhan pasien bukanlah lewat obat, tetapi cukup dengan bed rest atau istirahat total. Pendapat yang menyebutkan obat tidak bermanfaat itulah yang banyak mengundang komentar dokter. "Yang membuat kebijaksanaan itu orang Departemen Kesehatan. Walaupun mereka adalah dokter, kebanyakan bukan klinisi," begitu protes seorang dokter yang melayangkan keluhannya lewat surat kepada TEMPO. Dokter yang berdomisili di Kalimantan dan keberatan namanya disebut itu menuduh, "Mereka sudah lupa cara mengobati pasien." Ia juga mengkritik anggota Tim Penilai Obat Jadi yang dibentuk Departemen Kesehatan. Farmakolog yang duduk di tim obat itu bahkan dinilainya terlalu kaku. Alasannya, mereka yang duduk dalam tim tersebut selalu melihat secara hitam dan putih saja, tanpa kenal warna abu-abu. "Kita yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam pengobatan pasien lebih paham adanya faktor positif dalam penggunaan obat," ujarnya. Ia, misalnya, tak setuju dengan penarikan obat protektor hati karena selain tidak berbahaya, juga bersifat membantu penyembuhan. Farmakolog terkemuka Prof. Iwan Darmansyah, yang juga anggota Tim Obat Jadi, menepis tuduhan itu. Menurut dia, banyak dokter yang tak bisa menilai obat karena memang sulit sekali. Mengevaluasi obat, menurut Iwan, tak bisa begitu saja berdasar pengalaman semata. Apalagi perkembangan obat sedemikian pesat. "Bayangkan, dalam satu tahun paling sedikit ada 70 obat baru," katanya. Kepala memang boleh sama berambut, tapi pendapat bisa beragam. Begitu pula di kalangan dokter, ada yang "pro-penarikan" ada yang "kontra-penarikan". Skornya di kalangan dokter ternyata banyak yang pro kepada penarikan itu. Simak, misalnya, pengalaman seorang ahli penyakit dalam yang mengkhususkan diri di bidang alergi dan asma. Ia justru melihat masih banyak obat yang harus ditarik. "Saya heran jika obat kuno yang ditarik itu bisa dijual bebas selama ini," kata Heru Sundoro. Makanya, dokter ahli yang selalu mengikuti perkembangan obat asma ini tidak terkejut melihat penarikan obat tadi. Menurut IDI (Ikatan Dokter Indonesia), problemnya bukan lagi soal setuju atau tidak setuju. "Dari 285 merek obat itu, memang semuanya layak ditarik dari peredaran," kata Kartono Mohamad, Ketua IDI. Kini yang dibutuhkan dokter adalah alasan serta informasi yang jelas mengenai penarikan obat. "Sayang, mengapa IDI tidak disertakan. Kami tak diajak bicara, dan tahu-tahu sudah diumumkan," kata Kartono. Padahal, jika ada komunikasi, IDI agaknya bisa menyiapkan diri lebih baik untuk mencari alternatif obat lainnya. Selain itu, informasi yang rinci juga diperlukan untuk memberikan informasi kepada pasien. Ia khawatir, bila pasien salah tafsir, lalu menganggap obat yang ditarik dari peredaran itu adalah obat jelek yang berbahaya. Departemen Kesehatan punya alasan yang masuk akal menanggapi keinginan IDI itu. Menurut Dirjen POM, dalam prosedur penilaian obat, tak mesti dilibatkan banyak pihak karena yang perlu adalah para ahli. "Reevaluasi perlu mempertimbangkan macammacam dan perlu ada sekuriti. Karena nanti bisa jadi lain jika terlalu banyak campur tangan," ujar Slamet Soesilo. Campur tangan itu malah bisa disalahgunakan untuk mempengaruhi keputusan. Misalnya, dokter dipengaruhi agar obat tertentu terus dipakai. Rupanya, berbagai pertimbangan reevaluasi yang rumit, termasuk aspek ekonomi serta perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi, turut menghadang Departemen Kesehatan memberi tahu para dokter jauh hari sebelum keputusan itu diumumkan. "Kami tahu dari media massa," kata Direktur PT Kimia Farma, H. Tjetje. Ia mengaku tidak menerima pemberitahuan khusus dari Departemen Kesehatan. BUMN ini kini sedang memproses penarikan sembilan merek obat produksinya sehingga menyebabkan omsetnya susut Rp 150 juta dalam setahun. Sementara itu, Presiden Direktur PT Kenrose, Anthony Soenarjo, tak yakin mampu menarik obatnya dalam jangka sebulan ini. "Sekarang saja baru diumumkan ke distributor dan apotek," ujarnya kepada Bina Bektiati dari TEMPO. "Kesulitan paling krusial adalah who will take the cost," kata Hartono Mangunsentana. Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi ini sedang memasalahkan biaya penarikan obat. Pabrik, menurut Hartono, mungkin keberatan. Tampaknya, biayanya harus dipikul distributor. Ini akan membuat kelompok ini ikut ribut pula. Berbagai kritik dan masalah tampaknya masih akan bermunculan menjelang berakhirnya batas waktu penarikan 285 obat itu. Ini memang pertama kali Pemerintah menarik obat dalam jumlah besar sekaligus. "Orang hanya belum biasa dengan reevaluasi. Nanti, ini menjadi rutin," kata Slamet Soesilo. G. Sugrahetty Dyan K., Sri Pudyastuti, Siti Nurbaiti, Bambang Sujatmoko, Reza Rohadian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini