Kondisi di Indonesia disorot. Penarikan 285 merek obat bukan pelarangan obat berbahaya, tapi mencari pola penggunaannya secara tepat. SEBUTAN obat laknat, brengsek, dan racun rajin muncul dalam pemberitaan dua pekan ini. "Saya risi membaca berita yang memakai kata-kata itu," ujar Slamet Soesilo. Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Departemen Kesehatan ini tak menduga bahwa penarikan 285 obat yang tidak rasional mengundang sebutan semacam itu. Pangkalnya, menurut Slamet Soesilo, mungkin salah menafsirkan karena aturan yang dikeluarkannya dua pekan lalu kurang dipahami secara lengkap. Penarikan itu bukan karena obatnya berbahaya, tapi tidak rasional. Lain dengan obat tradisional yang banyak dibuat dari tetumbuhan, obat kimia sering punya efek samping. Karena itu, memakainya senantiasa diperhitungkan untung ruginya. Juga, dihitung berapa besar manfaat dan risiko dampak samping. Dasar pertimbangannya: penggunaan yang tepat, efektif, serta aman dari dampak samping. Inilah penggunaan obat secara rasional. Penggunaan obat tidak rasional terjadi apabila perhitungan manfaatnya tidak tepat, bahkan bisa merugikan. Misalnya, daya sembuhnya diragukan dan risiko dampak sampingnya besar. Namun, batas antara penggunaan obat secara rasional dan tidak rasional sukar digariskan secara nyata. Pada dasarnya, mencari pola penggunaan obat secara rasional adalah perhitungan yang dilakukan dengan berkelanjutan. Upaya rasionalisasi obat itu melibatkan berbagai pihak. Dokter tentu diharapkan terus-menerus mencari informasi serta ikut melakukan perhitungan dalam pemberian obat. Pemerintah pun terus-menerus mengevaluasi. Inilah dasar penarikan 285 obat dua pekan lalu itu. Tidak semua negara di dunia peduli pada penggunaan obat secara rasional. Di negara yang tidak peduli itu pengawasan dilakukan berdasarkan apakah obat berbahaya atau tidak. Begitu ditemukan bahaya, izin edarnya dicabut, dan obat itu dilarang. Selebihnya dibiarkan beredar. Di negara yang peduli menggunakan obat yang tepat, pengawasan serta evaluasi juga dilakukan kepada obat-obat yang dianggap tidak berbahaya. Obat yang kurang manfaatnya, atau terlampau mahal karena kompisisinya, bisa saja ditarik walau tak bahaya. Indonesia termasuk dalam kelompok ini. Usaha melindungi konsumen dari penggunaan obat secara tidak tepat itu berawal pada boom industri obat di negara maju. Meningkatnya produksi obat secara besar-besaran dan munculnya terus-menerus obat baru membuat sulitnya menentukan pilihan. Kenyataan perkembangan industri obat telah menjadikan produksinya lebih mementingkan keuntungan. Rasa tanggung jawab dan perhitungan keamanan, sebaliknya, makin diabaikan. Kecurigaan pada pabrik obat kian keras setelah terbitnya buku Prescription for Death: The Drugging of The Third World. Buku ini dibuat berdasarkan penelitian selama delapan tahun yang dipimpin Dr. Milton Silverman, farmakolog dari California University. Dalam buku itu, Silverman menuduh perusahaan obat multinasional memasarkan produksinya tidak wajar. Khususnya di negara-negara berkembang, tempat pengawasan penggunaan obat sangat longgar. Buku ini membongkar praktek promosi yang dikategorikan "menyuap" dokter. Kondisi di Indonesia yang mengundang durian runtuh termasuk disorot oleh Silverman. Berkembangnya industri obat di sini didasari pada kebijaksanaan pemerintah menggalakkan investasi. Berbagai kelonggaran diberikan. Pada awalnya produsen dibebaskan memasarkan produknya tanpa prosedur pendaftaran. Baru pada 1988 Indonesia melaksanakan Kebijaksanaan Obat Nasional. Sejak itu, Pemerintah berangsur-angsur mengurangi pertimbangan ekonomis dalam memperhitungkan industri obat. Dalam deregulasi dan reregulasi tersebut, ketetapan Departemen Kesehatan memperlihatkan bahwa banyak kebijaksanaan ditekankan pada faktor kesehatan dan pengobatan. Terombang-ambingnya peraturan tentang industri obat, di antara kepentingan ekonomi dan aspek kesehatan, berkali-kali dibahas WHO, organisasi kesehatan sedunia. Kesimpulannya, tak bijaksana menarik keuntungan ekonomis dari industri obat. Dr. Half dan Mahler, bekas Direktur Jenderal WHO, menyebut ini "keuntungan yang sia-sia". Jim Supangkat, Sugrahetty Dyan K., Sri Pudyastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini