OBAT adalah sesuatu yang diperlukan ketika manusia sakit, tetapi sekaligus juga merupakan bahan yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia. Membingungkan, bukan? Seseorang yang sakit, beberapa organ tubuhnya mengalami gangguan fungsi. Fungsi-fungsi selnya, yang semula normal, berubah menjadi tidak normal. Untuk mengembalikan fungsi-fungsi yang tidak normal menjadi normal, atau menghilangkan penyebab gangguan fungsi tersebut, diberikan obat. Kalau dalam mempengaruhi itu, obat tadi bekerja secara lebih dari semestinya, maka perubahan itu pun dapat "berlebihan". Maka, terjadilah keadaan yang disebut sebagai efek samping obat. Oleh karena itu, obat yang efektif akan selalu mempunyai potensi untuk menimbulkan efek samping. Kalau ada obat yang diklaim tidak mempunyai efek samping, justru perlu diragukan kemanjurannya. Tentu saja efek samping tersebut harus masih dalam batas yang dapat diterima. Jangan seperti thalidomide yang mampu menenangkan ibu hamil agar tidak muntah, tetapi menimbulkan cacat berat pada bayi dalam kandungan. Selain ada obat yang memang jelas berkhasiat menyembuhkan, ada pula obat yang disebut plasebo, atau mempunyai efek sebagai plasebo. Obat ini sebenarnya tidak jelas khasiatnya, atau sangat kecil andai pun ada. Tanpa obat ini pun sebenarnya penyakit akan sembuh. Tetapi industri farmasi yang lihai akan pandai membuat obat yang demikian itu diklaim sebagai sangat berkhasiat. Terhadap obat semacam ini pun banyak negara bersikap tegas melarangnya, karena kalau toh tidak berbahaya, ia hanya akan membebani kantung rakyat. Pemerintah di negara mana pun juga menggunakan wewenangnya untuk mengatur peredaran obat, dengan tujuan melindungi rakyat. Sebelum obat boleh diedarkan, harus dikaji benar khasiatnya dibandingkan dengan efek samping yang dapat timbul, dibandingkan dengan kebutuhan rakyat masing-masing, serta harga yang akan dibayar oleh pasien. Meskipun murah dan berkhasiat serta kecil efek sampingnya, obat antimalaria tentu tidak dibutuhkan oleh negara yang tidak mempunyai malaria. Ada pemerintah yang sangat ketat, FDA-nya Amerika misalnya, dan ada pula yang sangat longgar. Obat apa pun, asalkan membayar uang pendaftaran dan memenuhi syarat melampiri data ilmiah, boleh beredar. Tanpa diteliti kesahihan data ilmiah tersebut, dan tanpa dipikir apakah rakyatnya benar-benar memerlukannya. Milton Silverman, dalam bukunya Pills, Profits and Politics, menampilkan perbedaan sikap pemerintah AS dengan beberapa negara berkembang. Dan industri farmasi tentu saja dengan senang hati akan memanfaatkan setiap kelemahan yang dapat diterobos untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Betapapun juga, mereka adalah pedagang. Adakalanya efek buruk obat baru diketahui beberapa tahun kemudian, misalnya thalidomide dan kliokinol (di Jepang). Oleh karena itu, wajar saja kalau setiap negara melakukan reevaluasi terhadap setiap obat yang sudah diizinkan beredar. Reevaluasi dan penarikan obat dari pasaran memang hal yang wajar dan tidak perlu menimbulkan keributan. Bahwa penarikan yang dilakukan pemerintah kita baru-baru ini menghebohkan adalah karena dilakukan secara mendadak dan jumlah obat yang ditarik cukup besar dalam waktu yang bersamaan. Dan mengapa baru sekarang dilakukan. Beberapa obat yang ditarik sudah sejak awal dianjurkan oleh pakar farmakologi untuk tidak diizinkan beredar, karena tidak jelas efektivitasnya dan hanya membebani pasien, tetapi tetap saja diberi izin. Beberapa obat sudah diketahui bahwa indikasinya tidak benar (perangsang nafsu makan), dan pernah pula dimasalahkan oleh pakar farmakologi, tetapi tetap diizinkan. Maka, dapat dimengerti jika penarikan obat kali ini membuat ribut. Para dokter ikut bereaksi karena merasa citranya tersinggung, atau karena merasa yakin (atau diyakinkan oleh pabriknya) bahwa obat tersebut cukup efektif. Para dokter memang tidak biasa berhitung secara ekonomi bahwa adakalanya efek obat itu dibandingkan dengan harganya sungguh timpang. Mereka tidak tahu karena memang bukan mereka yang harus membayar. Menjadi lebih membingungkan lagi karena beberapa koran menyebut bahwa semua obat yang ditarik itu adalah obat berbahaya. Saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa obat yang ditarik itu semuanya berbahaya. Tetapi saya setuju dengan pertanyaan, mengapa obat-obat itu -kecuali kliokinol yang baru belakangan diketahui berbahaya -dari dulu diizinkan beredar. Adakah Panitia Penilai Obat Jadi, yang terdiri dari pakar farmakologi, mendukungnya ataukah pendapat mereka tidak didengar oleh penguasa? Maka, usul saya adalah mengetatkan pemberian izin lebih baik daripada menarik setelah diizinkan. Juga proses reevaluasi ini seyogianya dilakukan secara rutin dan tidak usah secara mengejutkan. Mekanismenya pun sebaiknya dibakukan dan terbuka, setidaknya bagi para dokter dan pedagang farmasi. Apa salahnya jika juga mendengar pendapat para dokter, sebelum menetapkan keputusan. Keterlibatan kelompok profesi kedokteran berguna untuk mempersiapkan penyaluran informasi yang lebih benar. Karena mereka juga yang menentukan resep dan yang berhadapan langsung dengan pasien. Dan akhirnya, kalau sudah ditetapkan, ya mbok jangan maju mundur. Sikap ragu-ragu hanya menunjukkan bahwa cara pemerintah mengambil keputusan tidak didasari alasan kuat, atau hanya membuka kesempatan bagi para pedagang farmasi untuk melakukan negosiasi. Penundaan dan sikap ragu-ragu lebih mencerminkan bahwa pemerintah masih tetap lebih menenggang kepentingan pedagang ketimbang kepentingan pasien. Kalau memang sudah dinyatakan berbahaya, tidak bermanfaat, atau hanya membebani rakyat, ya, tegas sajalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini