Bambang Harymurti, 29, wartawan TEMPO termasuk di antara 46 sarjana yang menjalani seleksi menjadi astronaut Indonesia, pekan lalu. Lulus dari ITB dua tahun lalu, Bambang, sejak kecil memang bercita-cita ingin jadi antariksa?ean. Berikut ini pengalamannya selama menjalani seleksi di Lakespra. MENJADI antariksawan Indonesia ternyata tidak mudah. Selain harus membuat surat kelakuan baik, riwayat hidup, dan salinan ijazah, urusanurusan yang banyak makan waktu, juga mestl menialani tes-tes kesehatan sebagai seleksi tahap pertama di Jakarta, Senin hingga Rabu pekan lalu. Misalnya saja, dimasukkan dalam ruangan bertekanan rendah, diputar dalam sebuah mesin hingga black out, diambil darah, ataupun disuruh berlari. Untung, saya tak sendirian. Ada 46 manusia lain - termasuk lima wanita - berusia 23 hingga 63 tahun yang se"penderitaan". Semua itu dimulai gara-gara sebuah pemberitaan, sekitar awal tahun ini. Isinya berupa pengumuman kesempatan menjadi antariksawan Indonesia pertama yang akan dikirim ke angkasa luar, Juni tahun depan. Saya terpaksa mendaftar. Bukan karena berambisi men jadi manusia Indonesia pertama ke ruang angkasa. Toh, sayapikir, monyet, lebah, dan an)ing sudah ada yang lebih dahulu. Pasalnya, dulu, waktu kecil, saya bercita-cita menjadi antariksawan. Nah, Senin pekan lalu, pagi sekali saya sudah berada di Lembaga Kesehatan Penerbang dan Ruang Angkasa (Lakespra) Saryanto. Instansi yang bertugas menjaga kesehatan penerbang TNI-AU ini memang mendapat tugas memeriksa kesehatan para calon antariksawan. Maklum, peralatan yang dimiliki dan kualitas personilnya dianggap paling memadai untuk melakukan pekerjaan ini. Bahkan, Dr. Pollan, seorang ahli kesehatan angkatan udara AS, mengatakan bahwa Lakespra Saryanto, "Merupakan sarana kesehatan penerbangan terbaik di Asia Tenggara." Ia mengunjungi Lakespra awal Maret lalu. Mungkin Dr. Pollan benar. Paling tidak banyak di antara kami -- para calon antariksawan - berdesah kagum melihat peralatan yang tersedia di lembaga ini. Rasa kagum ini mulai bercampur dengan kecemasan ketika sebagian dari kami diminta masuk ke decompression chamber (DC) Ini adalah sebuah peti kemas besar yang dilengkapi jendela kaca dan tempat duduk untuk belasan orang di dalamnya. Kami pun dimintaduduk di kursi-kursi itu sambil mengenakan helm yang tersedia. Sebuah mikrofon menempel pada topeng oksigen yang tergantung di helm itu. Semua, tentunya, dimaksudkan untuk menjaga keselamatan kami. Soalnya, ruangan di dalam DC itu akan diturunkan tekanannya hingga setengah atmosfer. Jadi, mirip dengan tekanan udara pada ketinggian sekitar 6.000 m. "Dalam kondisi ini, biasanya orang akan pingsan setelah 40 menit," kata dr. Sukardji, kepala Lakespra. Untung, kami cuma diuji selama 20 menit. Pengujian pun dimulai. Mula-mula deru mesin terasa makin tak terdengar, dan rasa tak enak mulai merasuk telinga. Beruntung para petugas telah memperingatkan kemungkinan ini sebelumnya, dan memberitahukan cara menawarkannya: menelan ludah, menggerakkan rahang bawah ke kiri dan ke kanan, atau menutup hidung sambil meniup hingga pipi menggembung. Rasanya lucu memperhatikan belasan wajah peserta yang terus-menerus menggerakkan dagu mereka. Hanya saJa, saya tak berani tertawa - khawatir disangka menderita kelainan. Lama kelamaan helm terasa kian berat padahal kepala terasa bertambah ringan. Persis seperti setelah bergadang berhari-hari. Celakanya, justru ketika mengalami ini, para petugas membagikan kertas dan menyuruh mengarang bebas. Saya sempat menulis dua halaman ketika kemudian perintah diubah: Para peserta diminta mengerjakan soal matematika yang tersedia. Soal-soal itu rasanya mudah saja, walaupun saya agak sulit berkonsentrasi. Anak kelas VI SD pun, agaknya, dapat mengerjakan soal-soal ini dalam keadaan normal. Karena itu, banyak peserta tak percaya ketika melihat kembali jawaban mereka, setelah tekanan udara kembali normal. Para peserta bergelar doktor pun melakukan kesalahan yang menggelikan. Saya, misalnya tak habis pikir ketika mengetahui jawaban pertanyaan 153/4--81/4 saya tulis = 81/2. "Itu biasa dalam keadaan kurang oksigen," kata dr. Sukardji menjelaskan. Dalam dunia kedokteran, gejala ini disebut hypoxia. Selain itu, ada kemungkinan para calon yang mempunyai lubang di giginya akan mengalami sakit gigi. Hal ini disebabkan ada gelembung udara yang keluar dari lubang itu. Gejala ini disebut aerodontia. Maka, tak heran jika pemeriksaan gigi dilakukan dengan teliti, termasuk pengambilan rontgen. "Kami tak ingin antariksawan Indonesia sakit gigi di angkasa," kata dr. Sukardji berseloroh. Tapi hati saya jadi kecut, mengingat beberapa gigi saya memang harus ditambal dan dicabut. Tentu saja, bukan hanya gigi berlubang yang menjadi halangan untuk menjadi antariksawan. "Pokoknya, segala kelainan fisik ataupun mental yang dapat membahayakan antariksawan dan rekannya dalam tugas akan menurunkan peringkat calon," kata Sukardji, yang mengurutkan keadaan kesehatan para calon berdasarkan peringkat kesehatannya itu. Kemungkinan mengidap ayan, kelainan tekanan darah, mata, telinga maupun organ tubuh lainnya diperiksa dengan peralatan modern. Bahkan, kemungkinan wasir pun diperiksa dengan teliti. "Soalnya, wasir bisa berbahaya jika mendapat gaya G tinggi," kata dr. Sukardji, ahli kesehatan penerbangan itu. Gaya G adalah gaya yang diderita akibat adanya percepatan. Misalnya, pengemudi mobil yang menjalankan kendaraannya secara tiba-tiba akan mendapat gaya G yang akan menekannya ke sandaran. Gaya ini juga dialami antariksawan saat pesawatnya diluncurkan atau masuk kembali ke atmosfer bumi. Itulah sebabnya, para calon antariksawan juga diuji ketahanannya terhadap gaya G ini. Di Lakespra hal ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut human centrifuge (HC). Alatnya berupa sebuah lengan besi yang tengahnya bertumpu dan diputar oleh sebuah motor listrik. Pada salah satu ujung lengan digantungkan sebuah cockpit berbentuk silinder. Semakin cepat putaran motor, saya - di dalam cockpit - merasa semakin ditekan ke kursi. Bahkan semua anggota badan terasa semakin berat dan pipi seolah ditarik ke bawah. Bagaikan ada tirai yang turun ke bawah mempersempit pandangan mata hingga, akhirnya, semua gelap, dan saya minta agar motor dimatikan. Maka, pandangan pun mulai kembali normal. Darah hapgat terasa mengalir kembali ke atas. Pada saat itulah seolah badan terasa dijungkirkan ke depan. Padahal, sebenarnya tetap terikat ke kursi. Sialnya, "penderitaan" tak berhenti di sini. Ratusan soal psikotes harus dijawab dalam enam jam. Kepala pun terasa lelah dan tegang. Para ahli kejiwaan pun membentuk kurva kepribadian para calon berdasarkan jawaban yang diberikan. Yaitu atas 10 sifat utama, seperti kecenderungan histeris, cemas, dan psikopatik. PERSOALANNYA adalah: Kurva seperti apa yang dianggap ideal bagi antariksawan? "Kita memang belum punya, tetapi Amerika sudah," kata dr. Suryanto, dari klinik psikiatri Lakespra. Hanya saja, alumnus Universitas Airlangga ini tak mau menggunakan kurva milik NASA itu. "Soalnya, faktor lingkungan budaya kita 'kan berbeda," katanya. Misal saja, seorang yang tak memandang mata lawan bicaranya dianggap buruk di Amerika. Padahal, di Indonesia belum tentu begitu. Konon, banyak calon yang gugur karena keadaan jiwanya dianggap tak sesuai untuk menjadi antariksawan, walaupun rata-rata tingkat inteligensinya tinggi. "Seorang antariksawan harus mampu tetap bekerja sama pada keadaan stress tinggi," kata letnan kolonel kesehatan ini. Lantas ia menunjuk contoh sebuah misi NASA yang terpaksa dipercepat kepulangannya 24 jam, gara-gara astronaut dan mission specialist-nya bertengkar. Tak heran jika dalam seleksi tahap kedua, yang dimulai Rabu ini, penilaian kejiwaan dilakukan lebih intensif. Sekitar 10 calon yang tersisa dalam tahap ini dikarantina selama seminggu penuh. Tiga hari di antaranya digunakan untuk tes kejiwaan. Dari hasil seleksi akan dipilih empat calon yang akan dipertimbangkan Panitia Persiapan Antariksawan Indonesia. Pada akhirnya, hanya dua orang yang akan dikirim mengikuti latihan di Amerika Serikat. Tapi hanya satu yang akan dikirim ke angkasa luar. Siapakah dia? Wallahualam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini