Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Inpres di antara hirarki & aspirasi

Inpres No.4/1985 dipersoalkan para ahli hukum dan DPR. PN Jak-Ut berpendapat, inpres ini tidak mengubah ordonansi bea, kasus Budi Setiawan & Robert Sumampow dalam manipulasise tetap harus diadili. (hk)

25 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADAKAH Inpres No. 4/1985, tentang penyederhanaan prosedur ekspor-impor yang diinstruksikan Presiden Soeharto belum lama ini, bertentangan atau mengubah undang-undang yang ada? Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang diketuai Soeharto, Rabu pekan lalu, memutuskan bahwa inpres itu tidak mengubah asas dan jiwa ordonansi bea yang selama ini mengatur prosedur ekspor-impor. Sebab itu, majelis menolak eksepsi tim pembela perkara manipulasi Sertifikat Ekspor (SE). Sebelumnya tim pembela, Moh. Assegaf dan kawan-kawan, meminta hakim membatalkan tuduhan jaksa bahwa Budi Setiawan dan Robert Sumampow melanggar ordonansi bea: hampir 100 kali memanipulasikan SE sehingga merugikan negara Rp 2,5 milyar (TEMPO, 4 Mei). Sebab, menurut Assegaf, beberapa pasal dalam ordonansi itu telah ditangguhkan pelaksanaannya oleh Inpres No. 4/1985. Akibatnya, tentu saja ancaman hukuman yang diatur ordonansi itu tidak berlaku lagi. "Jika ada perubahan perundang-undangan, maka seharusnya yang diterapkan adalah peraturan yang menguntungkan terdakwa," ujar Assegaf. Pendapat tim pembela itu tentu saja ditentang Jaksa T.M. Siahaan, yang membawa perkara itu ke pengadilan. Inpres itu, kata Siahaan, hanya mengubah tata cara dan pelaksanaan impor dan ekspor, tapi tidak mengubah kemauan undang-undang itu. "Kalau orang menyelundup, ya, tetap harus dihukum," kata Siahaan. Menurut Siahaan, inpres yang baru itu tidak mengubah kaidah pidana dan ancaman hukuman yang dlatur Ordonansi Bea No. 471 tahun 1931 Keputusan hakim seperti hendak menjawab juga kritik-kritik ahli hukum ke alamat inpres itu. Seorang guru besar di FH UI, misalnya, mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan Juga segl hirarki perundang-undangan: sebuah undang-undang hanya bisa diubah dengan peraturan setingkat undang-undang. Inpres No. 4/1985, kata guru besar tadi, terlihat lebih mengutamakan segi pragmatis saja, yaitu menanggulangi suatu keadaan mendesak. Hakim-hakim yang akan dibikin repot. "Sebab, hakim harus konsisten menerapkan peraturan dalam keputusannya," ujarnya. "Mbok ya dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), sebab inpres saja tidak bisa menggantikan undang-undang," tambahnya. Pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution sependapat dengan guru besar tadi. "Secara materi, saya setuju sekali dengan inpres itu. Malah saya menyayangkan, kok tidak dari dulu-dulu peraturan itu keluar," kata Buyung. Tapi ia tidak sependapat peraturan itu berbentuk inpres. "Sebab, menurut asas hukum, suatu peraturan yang menyangkut orang banyak harus dlatur dalam undang-undang," ujar Buyung. Beberapa orang anggota DPR memberikan pendapat senada. "Saya melihat inpres itu sifatnya temporer. Karena anggapan itu, saya bisa mengerti keberadaannya. Tapi, jika inpres itu dimaksudkan untuk jangka panjang, seharusnya secepatnya diubah menjadi undang-undang atau perpu," kata anggota Komisi III DPR, Albert Hasibuan. Bukan hanya Inpres No. 4/1985 yang pernah ramai dipersoalkan karena dianggap bertentangan dengan undang-undang. Inpres No. 2/1980 (untuk mempercepat proses pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) dan Keppres No. 13/ 1980 (tentang mempercepat proses permohonan kewarganegaraan) juga tidak luput dari protes. Prof. Mr. Sunario, bekas menlu, atas nama Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB), bahkan menilai keppres dan inpres itu bertentangan dengan Undang-Undang No. 62/1968 (tentang kewarganegaraan) dan Undang-Undang Dasar 1945 (TEMPO, 10 Mei 1980). SEMENTARA itu, ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Suardi Tasrif, pernah pula mengkritik peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan Menpen untuk memberlakukan (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) SIUPP, 31 Oktober lalu, bertentangan dengan hukum dagang. Misalnya tentang yayasan sebagai badan hukum. "Setahu saya, belum ada undang-undang yang menentukan yayasan sebagai badan hukum," ujar Tasrif (TEMPO, 16 Maret). Guru besar ilmu negara FH UI, Prof. Dr. Padmo Wahyono, membenarkan bahwa memang ada berbagai peraturan di bawah undang-undang yang mengatur materi undang-undang, seperti inpres yang terbaru itu. "Tapi saya, sebagai sarjana hukum ketatanegaraan, tidak hanya melihat dari segi formal begitu, tapi juga dari maksud dan tujuan mpres itu. Jika tujuannya sesuai dengan aspirasi rakyat banyak, ya, biarkan saja," kata Padmo. Jika dalam pelaksanaannya inpres itu ada masalah, kata Padmo, seharusnya pihak yang tidak setuju mengajukan pertanyaan ke Mahkamah Agung. Lembaga peradilan tertinggi itu, kata Padmo, jangan diam saja. "Kalau peraturan simpang-siur, 'kan nanti hakimnya yang menjadi korban," kata Padmo, yang juga deputi ketua BP-7 itu. Sebab itu, seandainya Mahkamah Agung tidak mau mengeluarkan pernyataan resmi, "'Kan lembaga itu bisa kirim surat ke pemerintah agar inpres itu secepatnya disesuaikan secara hirarki perundang-undangan," Padmo menambahkan lagi. Ketua Mahkamah Agung Ali Said sendiri menegaskan bahwa suatu inpres tidak bisa mengalahkan undang-undang yang sudah ada. Tapi ia tidak dapat memastikan ada atau tidaknya pasal-pasal Inpres No. 4/1985 yang mengubah ordonansi bea. "Saya belum membaca inpres itu," kata Ali Said kepada TEMPO, dua pekan lalu. Karni Ilyas Laporan Eko Yoeswanto dan Agus Basri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus