TAK ada yang tampak istimewa dari kerumunan 56 orang di sebuah lorong di lantai XI gedung BPPT, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka, Sabtu pekan lalu, sedang mengurus keberangkatan ke Jepang dan Prancis esok harinya. Tapi inilah sebagian angkatan pertama dari Proyek Latihan Ilmu dan Teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi itu. Di kantor Menteri Ristek B.J. Habibie sebenarnya sudah lama orang putar otak guna menambah tenaga terampil. Dunia universitas dan akademi di sini sendiri belum dianggap cukup menghasilkan pekerja-pekerja kelas tinggi. Terutama tenaga yang telah mendapatkan latihan secukupnya. Hambatannya, bukan rahasia lagi, kurangnya prasarana praktek. Maka, ketika Bank Dunia sanggup menyediakan beasiswa sebesar US$ 90-an juta, Habibie pun mulai bergerak. Dengan tes ketat, sejumlah tenaga ahli di lembaga-lembaga pemerintah - antara lain Badan Tenaga Atom, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan BPPT sendiri - dipilih yang dianggap memenuhi syarat. Mereka diminta memperdalam keahliannya di lembaga pendidikan tinggi di Jepang, Prancis, Amerika, dan Jerman Barat. Dan, yang menarik, BPPT pun pasang mata dan telinga di beberapa universitas dan institut. Hasilnya, untuk angkatan pertama yang lulus tes, Desember tahun lalu, sebanyak 198 orang, 36 di antaranya adalah mahasiswa tingkat I dan II. Boleh dianggap, ke-36 orang itu hanyalah lulusan SMA. Dan delapan dari mereka ikut berangkat dalam pengiriman pertama menuju Jepang, Minggu pekan lalu. Tak dijelaskan oleh pihak BPPT berapa peserta tes angkatan pertama proyek ini hingga baru menjaring 198 orang dari 1.400-an yang dicari. Tapi, menurut Handoko Manoto, 22 - salah seorang dari delapan mahasiswa yang diberangkatkan - tes BPPT memang sulit. Apalagi bila dibandingkan dengan soal-soal ujian sekolah SMA dan tes masuk perguruan tinggi negeri yang pernah ia alami. "Semua soal dari BPPT dalam bentuk esai, dan kebanyakan soalnya adalah membuktikan rumus dasar," kata Handoko kepada Gatot Triyanto dari TEMPO. Bekas mahasiswa tingkat II Teknik Industri ITB ini harus menempuh tes matematika, fisika, dan kimia. Sementara itu, tenaga ahli dari lembaga lain, masih peserta proyek ini tak kehilangan status di kantor lamanya. Sedangkan yang baru mahasiswa tentu saia putus hubungan dengan perguruan tingginya. Kecuali Bambang Suyanto dari Teknik Mesin UGM, yang mendapat cuti kuliah dua tahun. "Bagi saya, keluar dari ITB tak jadi soal," kata Handoko. "Semua sudah saya niatkan." Padahal, setelah lolos tes dari BPPT, di Jepang ia masih harus menempuh tes masuk universitas yang dituju. Bila gagal, berarti ia harus kembali ke tanah air. Untung, peserta program yang masih mahasiswa langsung diangkat menjadi karyawan BPPT. Proyek ini tampaknya dipersiapkan benar. Lima atau enam bulan sebelum berangkat, peserta mendapatkan kursus bahasa sesuai dengan negara yang dituju. Dan tambah enam bulan lagi kursus bahasa di negeri yang dituju. "Dan kami akan selalu memonitor mereka, agar bila ada kesulitan bisa cepat dicarikan jalan keluarnya," kata pejabat di BPPT yang tak bersedia disebutkan namanya. "Misalnya, tak cocok dengan bidang yang semula dipilihnya. Kalau masih mungkin, kami beri kesempatan pindah bidang." Proyek ini meliputi bermacam bidang. Dari teknik mesin, komputer, elektronika hingga teknik nuklir dan bioteknologi. Dan rencananya, dari 1.400-an peserta, 250 diprogramkan hingga meraih doktor, 600 program master, 300 sarjana muda, dan 300 lagi untuk program tanpa gelar. Mereka itulah, antara lain, yang bakal mendukung kota ilmu dan teknologi Serpong, yang telah disiapkan pihak BPPT di Tangerang, Jawa Barat. Sebab, peserta proyek ini memang terikat kontrak: setelah selesai studi harus bekerja untuk pemerintah selama dua kali masa ia menerima beasiswa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini