DENGAN tekun ia mendengarkan sebuah lagu yang sedang dimainkan
muridnya. Sesekali ia bangkit memhetulkan permainan itu.
Meraba-rabakan jari-jarinya pada bilah-bilah nada piano yng
bertanda huruf-huruf Braille itu.
Cahyaningsih, 34 tahun, guru piano itu, buta sejak lahir. Ia
bukan satu-satunya yang tunanetra dari 12 anak keluarga Alimurni
Partokusumo yang tinggal di kawasan Candi, Semarang. Selain dia,
masih ada 4 saudara kandungny? yang juga buta. Karena itu sejak
awal Alimurni berusaha membekali anak-anaknya yang tidak melihat
agar kelak dapat berdiri sendiri. Antara lain, sejak berusia 3
tahun anak-anak itu dilatih mengenal huruf Braille, pada usia 5
tahun mereka diajari bermain piano. Tapi mereka tidak diberitahu
bahwa ada dunia terang yang tidak bisa mereka lihat. Setelah
mereka dewasa barulah sang ayah mengatakan bahwa dunia yang
sebenarnya adalah terang benderang.
Meskipun terlambat diberitahu, ternyata mereka tidak berkecil
hati dan tidak punya keinginan melihat. "Sejak lahir saya sudah
begini. Kalau tiba-tiba bisa melihat, saya harus memulai dengan
dunia baru. Melihat indahnya alam, tingginya gunung, mungkin
saya malah terheran-heran dan bingung," ujar Cahyaningsih.
Anak-anak Alimurni yang tunanetra ini sejak TK belajar di
sekolah-sekolah biasa -- tentu saja dengan modal pengenalan
huruf Braille. Cahyaningsih akhirnya berhasil menggondol gelar
sarjana sastra Inggris dari Undip. Sekarang, selain menjadi guru
piano dan menyanyi, ia juga membuka kursus bahasa Inggris.
Muridnya puluhan, semuanya melek.
Ia khusus mengajar conversatio, dengan mengandalkan kefasihan
melafalkan kata dan kalimat. Ia tak pernah menulis kata Inggris
di papan tulis dengan huruf Latin. Kalau ada buku referensi yang
dianggap perlu dibaca oleh murid-muridnya, terlebih dulu
Cahyaningsih menyalinnya ke dalam huruf-huruf Braille -- dengan
bantuan seorang temannya yang membacakan buku tersebut. Bila ia
harus membetulkan ucapan muridnya, Cahyaningsih cukup mengejakan
huruf atau kata-kata secara lisan.
Ada rekan-rekannya yang dengan senang membacakan koran untuk
dia. Cahyaningsih memang berlanganan beberapa koran. Tapi ia
tidak selamanya bisa membaca buku-buku baru dalam bahasa
Inggris. "Sebab tidak semua teman saya fasih membacanya,"
katanya.
Dengan membuka tempat kursus sejak tahun lalu di Jalan Singosari
XI/14 Semarang, ia mengaku mendapatkan penghasilan yang cukup.
Bahkan di tempat kursus yang sekaligus ia gunakan sebagai
tempat tinggal itu, ia telah memiliki perabot rumah tangga yang
tergolong mewah. Cahyaningsih juga mengaku sengaja memisahkan
diri dari keluarganya untuk membuktikan bahwa ia mampu berdiri
sendiri.
Di Yogya juga ada seorang tunanetra, juga sarjana, yang mengajar
orang-orang normal. Ia adalah Frans Harsana Sasraningrat, 51
tahun, sarjana pendidikan tamatan Universitas Boston, AS. Ia
seorang dosen yang juga menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Khusus
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta. Sebagai dosen ia
memberikan kuliah revalidasi dan validasi, psikologi
penyesuaian, pengembangan program pendidikan khusus, pengetahuan
ketunanetraan dan banyak lagi.
Kemanakan Nyi Hajar Dewantara ini masih punya beberapa jabatan
lagi: Sekjen Federasi Tunanetra Indonesia, Konsultan Sekolah
Guru Pendidikan Luar Biasa, Ketua Komite Pembina Olahraga
Tunanetra Indonesia, Ketua Koperasi Serba Usaha Tunanetra
Terpadu. Juga sebagai penasihat Himpunan Penghayat Kepercayaan
Kepada Tuhan YME.
Mengajar di depan para mahasiswanya, Harsana seperti layaknya
dosen yang lain. "Bahkan saya juga menggunakan papan tulis untuk
menjelaskan kata-kata yang sulit," katanya. Ia menuliskannya
dengan huruf Latin, sebab ia memang pernah belajar menulis Latin
sebelum menderita kebutaan.
Harsana buta sejak berusia 22 tahun setelah ia tamat dari Taman
Guru Taman Siswa Jakarta pada 1953. Ia sakit keras selama 4
bulan yang mengakibatkan matanya, yang memang agak rawan sejak
kecil, tidak berfungsi lagi. Matanya pernah 8 kali dioperasi,
tapi tak juga sembuh. Meski begitu semangat belajarnya tak
pernah padam. Akhirnya ia mendapat bea siswa ke AS.
Kesulitan kecil yang dihadapinya sehari-hari ialah bila
menyiapkan bahan kuliah dan memeriksa pekerjaan mahasiswa. Untuk
tugas itu ia dibantu asistennya. Memeriksa hasil ujian misalnya,
asistennya membacakan kertas jawaban mahasiswa (tanpa menyebut
nama si mahasiswa) dan Harsana memberi nilai.
Harsana tidak setuju dengan istilah "penderita cacat". Ia
mengusulkan istilah "penyandang cacat". Dengan menggunakan
istilah penderita cacat, berarti membiarkan mereka merasa tetap
menderita. "Sedangkan istilah penyandang cacat lebih tepat,"
kata ayah 2 orang anak ini.
Pulang-pergi ke kantor semula ia selalu berjalan kaki, karena
letak rumahnya tidak jauh dari fakultas. Tapi kini ia terbiasa
dibantu pula oleh asistennya. Sebb ia pernah menjumpai
pengalaman pahit. Got yang biasanya dengan aman ia lalui selama
bertahun-tahun, suatu saat tutupnya diambil orang, hingga suatu
hari Harsana terperosok. Selain itu lalu lintas juga sudah
terlalu padat oleh kendaraan.
Ada 5 orang tunanetra bekas asuhan Panti Wyata Guna, Bandung,
yang akhirnya juga berhasil menggondol gelar sarjana. Di
antaranya Yenny Heryani dan Ahmad Basri.
Ketika masih di SMA nilai bahasa Inggris dan Jerman Yenny
rata-rata 8 dan 9. Ia kemudian masuk IKIP jurusan sastra Jerman.
"Saya ingin membuktikan orang buta tidak selamanya tertinggal
dari orang normal," kata Yenny, kini 30 tahun. Tapi belakangan
ia kecewa karena lamarannya menjadi guru di SLA ditolak dengan
dalih ia buta. "Padahal belum tentu saya kalah dibandingkan
dengan guru-guru yang bisa melihat. Buktinya sekarang banyak
sarjana bahasa Jerman yang minta advis dalam hal mengajar kepada
saya," tambahnya.
Ia kini mengajar bahasa Inggris di SLB-A Wyata Guna, sementara
di rumahnya di Jalan Turangga ia membuka kursus bahasa Jerman.
Untunglah kini Yenny sudah mendapat hiburan istimewa dengan
hadirnya si kecil Okta Perdana Putra, 3 bulan, anak pertama dari
hasil pernikahannya tahun lalu dengan Samaun Suud, 32 tahun,
yang juga tunanetra. Samaun yang mendapat tugas belajar dari
SLB-A Medan, masih kuliah di IKlP jurusan Pendidikan Luar Biasa
Bandung.
Ahmad Basri, 34 tahun, juga sudah menikah. Istrinya, lin, sejak
dulu rajin membacakan buku-buku pelajaran untuk Basri.
Persahabatan itu kian lama menjadi jalinan kasih. Pada 1976
mereka pun menikah. Kini mereka dikaruniai 5 orang anak. Sarjana
sastra Inggris IKIP ini juga sudah menunaikan ibadat haji
bersama 17 orang lainnya (11 di antaranya tunanetra) atas
undangan Raja Faisal.
Sejak 1975 Basri mengajar bahasa Inggris di SLB-A Wyata Guna.
Seperti halnya Cahyaningsih di Semarang, baik Yenny maupun Basri
mengajar bahasa asing secara lisan. Tapi Yenny dan Basri juga
mendiktekan pelajarannya, dengan suara lantang, kepada
murid-muridnya yang menulis dengan huruf Braille. "Kalau ada
kata-kata yang sulit, saya mengeja huruf demi huruf dan
murid-murid menuliskannya dengan huruf Braille," tutur Basri.
Basri nampaknya juga cukup aktif. Jabatannya antara lain Ketua
Pertuni (Persatuan Tunanetra Islam) Cabang Bandung. Ia juga
mendirikan Yayasan Islam untuk tunanetra, Ummi Maktum, bersama
ketua MUI Jawa Barat, Dr. H. E.Z. Muttaqien. Di rumahnya, di
Cihampelas, Basri menampung beberapa rekannya sesama kaum
tunanetra sebagai pemijat. Ia juga menjadi koordinator beberapa
panti pijat tunanetra lewat Yayasan Kesejahteraan Keluarga
SLB-A. Pernah mengikuti konperensi tunanetra se Asia Timur di
New Delhi pada 1978, kegiatan Basri mendapat perhatian Presiden
Soeharto sehingga memberinya sebuah mobil Datsun Sena.
Para guru tunanetra yang mengajar anak-anak sesama tunanetra
juga sering harus memperagakan sesuatu. Mengajar merajut atau
menganyam, bermain piano atau mengetik, tentu bukan hal yang
sulit. Tetapi mereka juga harus bisa menjelaskan bentuk beberapa
benda atau binatang.
"Para murid perlu juga diperkenalkan dengan hewan-hewan piaraan
seperti ayam. Mereka meraba kepalanya, paruhnya, menghitung
jari-jarinya," ujar Agustina Hallatu, 39 tahun, seorang guru
SLB-A Yayasan Karya Murni, Medan. Mereka juga harus
pandai-pandai memanfaatkan keadaan di sekitar sekolah. "Misalnya
kalau kebetulan terdengar salak atau gonggong anjing, dijelaskan
suara anjing seperti itu, sambung Odasalulina br. Sijabat, 39
tahun, rekannya.
Tidak semua kaum penyandang cacat buta hanya bisa bekerja
sebagai guru. Setidaknya Otje Soedioto, 33 tahun, mampu
membuktikan bisa menjadi wartawan walaupun ia tunanetra. Sejak 3
tahun lalu ia menjadi wartawan harian Berita Yudha, Jakarta.
Matanya buta sejak ia berusia 6 bulan, setelah tamat SD ia
belajar di Australia.
Di sana ia sempat dua kali tampil sebagai juara I bermain piano
(1965 dan 1966) antar-anak-anak tunanetra di New South Wales.
Kembali ke Semarang, ia harus belajar sendiri untuk mendapatkan
ijazah SMP. Pada 1970 ia lulus SMA dengan nilai cukup tinggi
hingga menjadi juara II. Kini ia bertitel SH dari Fakultas Hukum
Undip.
Ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Dari tempat duduk di
kantornya, dengan sigap ia menuju tempat telepon dan
mengangkatnya. "Saya sudah hafal semua sudut ruangan ini. Begitu
pula letak telepon, saya sudah hafal berapa langkah dari tempat
duduk saya," katanya. Untuk mengetik laporan, ia tentu juga tak
mengalami kesulitan. Bukankah mengetik dengan menutup mata hal
biasa bagi orang normal?
Setiap hari Otje diantarjemput ke dan dari kantor. "Hanya dalam
melakukan wawancara saya selalu mengandalkan tape recorder,"
tambahnya.
Wartawan yang masih bujangan ini tahun lalu keliling Eropa
sendirian selama 3 1/2 bulan. Ia juga mengaku pernah
menginterview beberapa negarawan asing, antara lain Ratu Belanda
Juliana dan PM Australia Gough Whitlam. "Saya wartawan Indonesia
pertama yang diterima Ratu Juliana," katanya bangga dalam bahasa
Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini