Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sebenarnya tidak gelap

Beberapa tuna netra ternyata sanggup mengembangkan kemampuannya dengan cukup menonjol, ada yang menjadi guru piano, ngajar bahasa inggris, dosen, dsb. (sd)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN tekun ia mendengarkan sebuah lagu yang sedang dimainkan muridnya. Sesekali ia bangkit memhetulkan permainan itu. Meraba-rabakan jari-jarinya pada bilah-bilah nada piano yng bertanda huruf-huruf Braille itu. Cahyaningsih, 34 tahun, guru piano itu, buta sejak lahir. Ia bukan satu-satunya yang tunanetra dari 12 anak keluarga Alimurni Partokusumo yang tinggal di kawasan Candi, Semarang. Selain dia, masih ada 4 saudara kandungny? yang juga buta. Karena itu sejak awal Alimurni berusaha membekali anak-anaknya yang tidak melihat agar kelak dapat berdiri sendiri. Antara lain, sejak berusia 3 tahun anak-anak itu dilatih mengenal huruf Braille, pada usia 5 tahun mereka diajari bermain piano. Tapi mereka tidak diberitahu bahwa ada dunia terang yang tidak bisa mereka lihat. Setelah mereka dewasa barulah sang ayah mengatakan bahwa dunia yang sebenarnya adalah terang benderang. Meskipun terlambat diberitahu, ternyata mereka tidak berkecil hati dan tidak punya keinginan melihat. "Sejak lahir saya sudah begini. Kalau tiba-tiba bisa melihat, saya harus memulai dengan dunia baru. Melihat indahnya alam, tingginya gunung, mungkin saya malah terheran-heran dan bingung," ujar Cahyaningsih. Anak-anak Alimurni yang tunanetra ini sejak TK belajar di sekolah-sekolah biasa -- tentu saja dengan modal pengenalan huruf Braille. Cahyaningsih akhirnya berhasil menggondol gelar sarjana sastra Inggris dari Undip. Sekarang, selain menjadi guru piano dan menyanyi, ia juga membuka kursus bahasa Inggris. Muridnya puluhan, semuanya melek. Ia khusus mengajar conversatio, dengan mengandalkan kefasihan melafalkan kata dan kalimat. Ia tak pernah menulis kata Inggris di papan tulis dengan huruf Latin. Kalau ada buku referensi yang dianggap perlu dibaca oleh murid-muridnya, terlebih dulu Cahyaningsih menyalinnya ke dalam huruf-huruf Braille -- dengan bantuan seorang temannya yang membacakan buku tersebut. Bila ia harus membetulkan ucapan muridnya, Cahyaningsih cukup mengejakan huruf atau kata-kata secara lisan. Ada rekan-rekannya yang dengan senang membacakan koran untuk dia. Cahyaningsih memang berlanganan beberapa koran. Tapi ia tidak selamanya bisa membaca buku-buku baru dalam bahasa Inggris. "Sebab tidak semua teman saya fasih membacanya," katanya. Dengan membuka tempat kursus sejak tahun lalu di Jalan Singosari XI/14 Semarang, ia mengaku mendapatkan penghasilan yang cukup. Bahkan di tempat kursus yang sekaligus ia gunakan sebagai tempat tinggal itu, ia telah memiliki perabot rumah tangga yang tergolong mewah. Cahyaningsih juga mengaku sengaja memisahkan diri dari keluarganya untuk membuktikan bahwa ia mampu berdiri sendiri. Di Yogya juga ada seorang tunanetra, juga sarjana, yang mengajar orang-orang normal. Ia adalah Frans Harsana Sasraningrat, 51 tahun, sarjana pendidikan tamatan Universitas Boston, AS. Ia seorang dosen yang juga menjadi Ketua Jurusan Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta. Sebagai dosen ia memberikan kuliah revalidasi dan validasi, psikologi penyesuaian, pengembangan program pendidikan khusus, pengetahuan ketunanetraan dan banyak lagi. Kemanakan Nyi Hajar Dewantara ini masih punya beberapa jabatan lagi: Sekjen Federasi Tunanetra Indonesia, Konsultan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa, Ketua Komite Pembina Olahraga Tunanetra Indonesia, Ketua Koperasi Serba Usaha Tunanetra Terpadu. Juga sebagai penasihat Himpunan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan YME. Mengajar di depan para mahasiswanya, Harsana seperti layaknya dosen yang lain. "Bahkan saya juga menggunakan papan tulis untuk menjelaskan kata-kata yang sulit," katanya. Ia menuliskannya dengan huruf Latin, sebab ia memang pernah belajar menulis Latin sebelum menderita kebutaan. Harsana buta sejak berusia 22 tahun setelah ia tamat dari Taman Guru Taman Siswa Jakarta pada 1953. Ia sakit keras selama 4 bulan yang mengakibatkan matanya, yang memang agak rawan sejak kecil, tidak berfungsi lagi. Matanya pernah 8 kali dioperasi, tapi tak juga sembuh. Meski begitu semangat belajarnya tak pernah padam. Akhirnya ia mendapat bea siswa ke AS. Kesulitan kecil yang dihadapinya sehari-hari ialah bila menyiapkan bahan kuliah dan memeriksa pekerjaan mahasiswa. Untuk tugas itu ia dibantu asistennya. Memeriksa hasil ujian misalnya, asistennya membacakan kertas jawaban mahasiswa (tanpa menyebut nama si mahasiswa) dan Harsana memberi nilai. Harsana tidak setuju dengan istilah "penderita cacat". Ia mengusulkan istilah "penyandang cacat". Dengan menggunakan istilah penderita cacat, berarti membiarkan mereka merasa tetap menderita. "Sedangkan istilah penyandang cacat lebih tepat," kata ayah 2 orang anak ini. Pulang-pergi ke kantor semula ia selalu berjalan kaki, karena letak rumahnya tidak jauh dari fakultas. Tapi kini ia terbiasa dibantu pula oleh asistennya. Sebb ia pernah menjumpai pengalaman pahit. Got yang biasanya dengan aman ia lalui selama bertahun-tahun, suatu saat tutupnya diambil orang, hingga suatu hari Harsana terperosok. Selain itu lalu lintas juga sudah terlalu padat oleh kendaraan. Ada 5 orang tunanetra bekas asuhan Panti Wyata Guna, Bandung, yang akhirnya juga berhasil menggondol gelar sarjana. Di antaranya Yenny Heryani dan Ahmad Basri. Ketika masih di SMA nilai bahasa Inggris dan Jerman Yenny rata-rata 8 dan 9. Ia kemudian masuk IKIP jurusan sastra Jerman. "Saya ingin membuktikan orang buta tidak selamanya tertinggal dari orang normal," kata Yenny, kini 30 tahun. Tapi belakangan ia kecewa karena lamarannya menjadi guru di SLA ditolak dengan dalih ia buta. "Padahal belum tentu saya kalah dibandingkan dengan guru-guru yang bisa melihat. Buktinya sekarang banyak sarjana bahasa Jerman yang minta advis dalam hal mengajar kepada saya," tambahnya. Ia kini mengajar bahasa Inggris di SLB-A Wyata Guna, sementara di rumahnya di Jalan Turangga ia membuka kursus bahasa Jerman. Untunglah kini Yenny sudah mendapat hiburan istimewa dengan hadirnya si kecil Okta Perdana Putra, 3 bulan, anak pertama dari hasil pernikahannya tahun lalu dengan Samaun Suud, 32 tahun, yang juga tunanetra. Samaun yang mendapat tugas belajar dari SLB-A Medan, masih kuliah di IKlP jurusan Pendidikan Luar Biasa Bandung. Ahmad Basri, 34 tahun, juga sudah menikah. Istrinya, lin, sejak dulu rajin membacakan buku-buku pelajaran untuk Basri. Persahabatan itu kian lama menjadi jalinan kasih. Pada 1976 mereka pun menikah. Kini mereka dikaruniai 5 orang anak. Sarjana sastra Inggris IKIP ini juga sudah menunaikan ibadat haji bersama 17 orang lainnya (11 di antaranya tunanetra) atas undangan Raja Faisal. Sejak 1975 Basri mengajar bahasa Inggris di SLB-A Wyata Guna. Seperti halnya Cahyaningsih di Semarang, baik Yenny maupun Basri mengajar bahasa asing secara lisan. Tapi Yenny dan Basri juga mendiktekan pelajarannya, dengan suara lantang, kepada murid-muridnya yang menulis dengan huruf Braille. "Kalau ada kata-kata yang sulit, saya mengeja huruf demi huruf dan murid-murid menuliskannya dengan huruf Braille," tutur Basri. Basri nampaknya juga cukup aktif. Jabatannya antara lain Ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Islam) Cabang Bandung. Ia juga mendirikan Yayasan Islam untuk tunanetra, Ummi Maktum, bersama ketua MUI Jawa Barat, Dr. H. E.Z. Muttaqien. Di rumahnya, di Cihampelas, Basri menampung beberapa rekannya sesama kaum tunanetra sebagai pemijat. Ia juga menjadi koordinator beberapa panti pijat tunanetra lewat Yayasan Kesejahteraan Keluarga SLB-A. Pernah mengikuti konperensi tunanetra se Asia Timur di New Delhi pada 1978, kegiatan Basri mendapat perhatian Presiden Soeharto sehingga memberinya sebuah mobil Datsun Sena. Para guru tunanetra yang mengajar anak-anak sesama tunanetra juga sering harus memperagakan sesuatu. Mengajar merajut atau menganyam, bermain piano atau mengetik, tentu bukan hal yang sulit. Tetapi mereka juga harus bisa menjelaskan bentuk beberapa benda atau binatang. "Para murid perlu juga diperkenalkan dengan hewan-hewan piaraan seperti ayam. Mereka meraba kepalanya, paruhnya, menghitung jari-jarinya," ujar Agustina Hallatu, 39 tahun, seorang guru SLB-A Yayasan Karya Murni, Medan. Mereka juga harus pandai-pandai memanfaatkan keadaan di sekitar sekolah. "Misalnya kalau kebetulan terdengar salak atau gonggong anjing, dijelaskan suara anjing seperti itu, sambung Odasalulina br. Sijabat, 39 tahun, rekannya. Tidak semua kaum penyandang cacat buta hanya bisa bekerja sebagai guru. Setidaknya Otje Soedioto, 33 tahun, mampu membuktikan bisa menjadi wartawan walaupun ia tunanetra. Sejak 3 tahun lalu ia menjadi wartawan harian Berita Yudha, Jakarta. Matanya buta sejak ia berusia 6 bulan, setelah tamat SD ia belajar di Australia. Di sana ia sempat dua kali tampil sebagai juara I bermain piano (1965 dan 1966) antar-anak-anak tunanetra di New South Wales. Kembali ke Semarang, ia harus belajar sendiri untuk mendapatkan ijazah SMP. Pada 1970 ia lulus SMA dengan nilai cukup tinggi hingga menjadi juara II. Kini ia bertitel SH dari Fakultas Hukum Undip. Ia menguasai bahasa Inggris dan Belanda. Dari tempat duduk di kantornya, dengan sigap ia menuju tempat telepon dan mengangkatnya. "Saya sudah hafal semua sudut ruangan ini. Begitu pula letak telepon, saya sudah hafal berapa langkah dari tempat duduk saya," katanya. Untuk mengetik laporan, ia tentu juga tak mengalami kesulitan. Bukankah mengetik dengan menutup mata hal biasa bagi orang normal? Setiap hari Otje diantarjemput ke dan dari kantor. "Hanya dalam melakukan wawancara saya selalu mengandalkan tape recorder," tambahnya. Wartawan yang masih bujangan ini tahun lalu keliling Eropa sendirian selama 3 1/2 bulan. Ia juga mengaku pernah menginterview beberapa negarawan asing, antara lain Ratu Belanda Juliana dan PM Australia Gough Whitlam. "Saya wartawan Indonesia pertama yang diterima Ratu Juliana," katanya bangga dalam bahasa Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus