PARA tokoh organisasi bekas residivis tetap menolak anggapan,
seolah anak buah mereka sering terlibat tindak kejahatan. Karena
itu mereka merasa tak cukup alasan untuk merombak organisasi,
apalagi sampai membubarkan diri.
Tapi Rabu pekan lalu, Pangkopkamtib, Laksamana Sudomo,
mengulangi kembali pernyataannya bahwa ia akan menertibkan
organisasi eks-bromocorah. Pernyataan itu diucapkan ketika
mengevaluasi pelaksanaan Operasi Clurit di Kodak Metro Jaya.
Sudomo mensinyalir, organisasi semacam itu cenderung digunakan
penjahat untuk berlindung. Sementara anggotanya juga disinyalir
masih sering melakukan perbuatan melanggar hukum. Dua pekan
lalu, misalnya, petugas Operasi Clurit menangkap tujuh anggota
organisasi bekas residivis yang diduga kuat hendak melakukan
tindak kriminal. Dalam mobil yang mereka naiki, petugas
menjumpai lima bila senjata tajam dan bungkusan jimat.
Kadit Serse Kodak Metro Iol. Pol. Hindarto (yang sejak Sabtu
lalu menduduki jabatan baru di Mabak) sering pula mendapat
laporan, beberapa anggota organisasi eks-residivis itu
diperalat orang-orang tertentu untuk menagih utang dengan
ancaman. Ada lagi yang menawarkan jasa sebagai petugas keamanan
di kompleks pertokoan atau perumahan, dengan alasan "supaya
lokasi itu aman". Padahal, kata Hindarto, yang sengaja mengacau
tak lain teman mereka sendiri. Cara seperti itu, menurut
Hindarto lagi, "sama seperti praktek mafia di AS tahun 1920-an."
Tapi yang paling menonjol, barangkali disebut-sebutnya
organisasi bekas residivis Prems, dalam kemelut di majalah
wanita Kartini Willy Risakota dan Bram Tuapatinaya beserta lima
orang lainnya, menurut pengacara mereka Danny Kailimang,
direncanakan hendak dibunuh oleh Lukman Umar. Seorang pengurus
Prems, menurut Danny, dijanjikan dibayar Lukman Rp 25 juta untuk
pelaksanaan pembunuhan itu. Uang muka sebesar 10% telah
diberikan.
Namun Willy dan kawan-kawan yang mengetahui rencana itu, segera
menghubungi Agus T.G.W., Ketua Umum Prems. Pihak Willy
dikabarkan memberikan Rp 5 juta: Rp 2,5 juta untuk mengembalikan
uang Lukman dan yang Rp 2,5 juta lagi untuk membatalkan rencana
pembunuhan atas diri mereka. Polisi sempat mengusut laporan
Willy dan kawan-kawan, tapi kemudian dihentikan karena dinilai
tak ada bukti-bukti yang cukup.
Lukman Umar membantah keras dituduh merencanakan pembunuhan itu.
"Itu fitnah keji," kata pengelola majalah .Sarinah, yang
diterbitkan setelah Lukman keluar dari Kartini. Agus T.G.W.pun
membantah keras. Ia merasa tak pernah berurusan dengan Lukman
Umar untuk rencana pembunuhan.
Maka, dengan nada prihatin, dua pekan lalu ia menyatakan bahwa
Prems mungkin akan membubarkan diri. "Kami terlalu sering
difitnah. Beban moral rasanya tak kuat lagi kami hadapi,"
katanya. Namun, meski menghadapi tantangan berat, sebagian
anggota organisasi itu menyatakan lebih baik tetap bertahan.
"Tak ada peraturan yang melarang orang berhimpun dalam wadah
yang bersifat kemanusiaan," kata Hermanady S.A., Sekretaris Umum
Prems.
PENGURUS Prems yang lain mengakui tentang adanya anggota Prems
yang melanggar hukum. Tapi, katanya, itu menjadi tanggung
jawabnya pribadi. Prems tak pernah mentoleransi anggotanya yang
berbuat cela. Agus bahkan menyatakan, bisa saja kejahatan
dilakukan residivis. "Tapi belum tentu dia orang Prems,"
katanya. Maka Hermanady tak yakin pemerintah bakal membubarkan
organisasi seperti Prems. Sebab, katanya lagi, para pelacur saja
dilokalisasikan dan dibina.
Efendy Talo, Ketua Yayasan Bina Kemanusiaan (YBK) pun merasa tak
ada alasan untuk membubarkan diri. Apalagi karena anggotanya
yang katanya kini berjumlah tiga ribu, tak semuanya bekas napi
atau bekas bromocorah. Anggota YBK juga ia nilai baik dan belum
pernah terdengar ada yang "nyeleweng". "Mereka kami bina untuk
bisa mandiri sebagai wiraswasta, dan bukan hanya menjadi satpam
atau petugas keamanan belaka," kata Efendy, ayah empat anak itu.
Dengan pembinaan yang dilakukan lewat YBK, menurut Efendy, para
anggota merasa menemukan dirinya kembali sebagai orang
baik-baik.
Anggota Warga Jaya (WJ) banyak pula yang benar-benar sadar
setelah bergabung dalam organisasi. Karena itu mereka menolak
bila WJ disamakan dengan organisasi bekas bromocorah lain.
Berdiri lewat SK Panglima Kodam, Jaya tahun 1967, WJ merasa
turut berperan khususnya dalam menumpas sisa-sisa PKI yang
menyusup ke berbagai daerah. Sekretaris Umum WJ Dedy Supriadi,
menyebut WJ sebagai ujung tombak dan dinamisator Golkar. Ketua
II WJ Bang Asmat, 53 tahun, menambahkan, "kami sebenarnya
kumpulan detektif swasta."
Bentuk penertiban yang direncanakan Sudomo barangkali baru akan
dijelaskan minggu ini. Namun beberapa pimpinan Prems, YBK dan
WJ, agaknya setuju pada penertiban itu -- selain, tentunya,
mereka juga harus lebih menertibkan anggota masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini