Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Organisasi eks, akan bubarkah?

Pengkopkamtib sudomo akan menerbitkan organisasi eks bromocorah, disinyalir organisasi tersebut cenderung digunakan penjahat untuk berlindung. (krim)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA tokoh organisasi bekas residivis tetap menolak anggapan, seolah anak buah mereka sering terlibat tindak kejahatan. Karena itu mereka merasa tak cukup alasan untuk merombak organisasi, apalagi sampai membubarkan diri. Tapi Rabu pekan lalu, Pangkopkamtib, Laksamana Sudomo, mengulangi kembali pernyataannya bahwa ia akan menertibkan organisasi eks-bromocorah. Pernyataan itu diucapkan ketika mengevaluasi pelaksanaan Operasi Clurit di Kodak Metro Jaya. Sudomo mensinyalir, organisasi semacam itu cenderung digunakan penjahat untuk berlindung. Sementara anggotanya juga disinyalir masih sering melakukan perbuatan melanggar hukum. Dua pekan lalu, misalnya, petugas Operasi Clurit menangkap tujuh anggota organisasi bekas residivis yang diduga kuat hendak melakukan tindak kriminal. Dalam mobil yang mereka naiki, petugas menjumpai lima bila senjata tajam dan bungkusan jimat. Kadit Serse Kodak Metro Iol. Pol. Hindarto (yang sejak Sabtu lalu menduduki jabatan baru di Mabak) sering pula mendapat laporan, beberapa anggota organisasi eks-residivis itu diperalat orang-orang tertentu untuk menagih utang dengan ancaman. Ada lagi yang menawarkan jasa sebagai petugas keamanan di kompleks pertokoan atau perumahan, dengan alasan "supaya lokasi itu aman". Padahal, kata Hindarto, yang sengaja mengacau tak lain teman mereka sendiri. Cara seperti itu, menurut Hindarto lagi, "sama seperti praktek mafia di AS tahun 1920-an." Tapi yang paling menonjol, barangkali disebut-sebutnya organisasi bekas residivis Prems, dalam kemelut di majalah wanita Kartini Willy Risakota dan Bram Tuapatinaya beserta lima orang lainnya, menurut pengacara mereka Danny Kailimang, direncanakan hendak dibunuh oleh Lukman Umar. Seorang pengurus Prems, menurut Danny, dijanjikan dibayar Lukman Rp 25 juta untuk pelaksanaan pembunuhan itu. Uang muka sebesar 10% telah diberikan. Namun Willy dan kawan-kawan yang mengetahui rencana itu, segera menghubungi Agus T.G.W., Ketua Umum Prems. Pihak Willy dikabarkan memberikan Rp 5 juta: Rp 2,5 juta untuk mengembalikan uang Lukman dan yang Rp 2,5 juta lagi untuk membatalkan rencana pembunuhan atas diri mereka. Polisi sempat mengusut laporan Willy dan kawan-kawan, tapi kemudian dihentikan karena dinilai tak ada bukti-bukti yang cukup. Lukman Umar membantah keras dituduh merencanakan pembunuhan itu. "Itu fitnah keji," kata pengelola majalah .Sarinah, yang diterbitkan setelah Lukman keluar dari Kartini. Agus T.G.W.pun membantah keras. Ia merasa tak pernah berurusan dengan Lukman Umar untuk rencana pembunuhan. Maka, dengan nada prihatin, dua pekan lalu ia menyatakan bahwa Prems mungkin akan membubarkan diri. "Kami terlalu sering difitnah. Beban moral rasanya tak kuat lagi kami hadapi," katanya. Namun, meski menghadapi tantangan berat, sebagian anggota organisasi itu menyatakan lebih baik tetap bertahan. "Tak ada peraturan yang melarang orang berhimpun dalam wadah yang bersifat kemanusiaan," kata Hermanady S.A., Sekretaris Umum Prems. PENGURUS Prems yang lain mengakui tentang adanya anggota Prems yang melanggar hukum. Tapi, katanya, itu menjadi tanggung jawabnya pribadi. Prems tak pernah mentoleransi anggotanya yang berbuat cela. Agus bahkan menyatakan, bisa saja kejahatan dilakukan residivis. "Tapi belum tentu dia orang Prems," katanya. Maka Hermanady tak yakin pemerintah bakal membubarkan organisasi seperti Prems. Sebab, katanya lagi, para pelacur saja dilokalisasikan dan dibina. Efendy Talo, Ketua Yayasan Bina Kemanusiaan (YBK) pun merasa tak ada alasan untuk membubarkan diri. Apalagi karena anggotanya yang katanya kini berjumlah tiga ribu, tak semuanya bekas napi atau bekas bromocorah. Anggota YBK juga ia nilai baik dan belum pernah terdengar ada yang "nyeleweng". "Mereka kami bina untuk bisa mandiri sebagai wiraswasta, dan bukan hanya menjadi satpam atau petugas keamanan belaka," kata Efendy, ayah empat anak itu. Dengan pembinaan yang dilakukan lewat YBK, menurut Efendy, para anggota merasa menemukan dirinya kembali sebagai orang baik-baik. Anggota Warga Jaya (WJ) banyak pula yang benar-benar sadar setelah bergabung dalam organisasi. Karena itu mereka menolak bila WJ disamakan dengan organisasi bekas bromocorah lain. Berdiri lewat SK Panglima Kodam, Jaya tahun 1967, WJ merasa turut berperan khususnya dalam menumpas sisa-sisa PKI yang menyusup ke berbagai daerah. Sekretaris Umum WJ Dedy Supriadi, menyebut WJ sebagai ujung tombak dan dinamisator Golkar. Ketua II WJ Bang Asmat, 53 tahun, menambahkan, "kami sebenarnya kumpulan detektif swasta." Bentuk penertiban yang direncanakan Sudomo barangkali baru akan dijelaskan minggu ini. Namun beberapa pimpinan Prems, YBK dan WJ, agaknya setuju pada penertiban itu -- selain, tentunya, mereka juga harus lebih menertibkan anggota masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus