MENGURUS Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) memang tidak
gampang. Meskipun prosedur telah dipampangkan di kantor instansi
yang mengurusi soal itu, pelaksanaannya bisa berbelit-belit.
Karena "pungli di sektor itu memang keterlaluan dan memberatkan
banyak orang," ujar Ketua Opstibpus, E.Y. Kanter ketika
menyerahkan perkara pejabat bagian perizinan IMB di Jakarta
Selatan, Rachmat, ke kejaksaan. Berkas Rachmat itu, kata Asisten
Operasi Kejaksaan Tinggi DKI, A.l. Adnan akan disampaikan ke
pengadilan akhir bulan ini juga.
Kepala Seksi Perizinan Suku Dinas Pengawasan Pembangunan (P2)
Kota Jakarta Selatan, Haji Rachmat Suprapto Disastro, menurut
Kanter sudah memungli setiap pemohon IMB di wilayahnya sejak
1974. Dalih yang selalu dikemukakan Rachmat, kata pejabat Opstib
itu, adalah uang untuk ongkos membuat gambar atau membuat
laporan.
Jika permintaan uang itu tidak dipenuhi pemohon, susah
diharapkan IMB akan keluar dengan mulus. Ada saja kesalahan
pemohon. Misalnya syarat-syarat permohonan tidak lengkap. Begitu
juga meski pembangunan telah dilaksanakan si pemilik bangunan
bisa-bisa kena penyegelan dengan alasan tertentu.
Pungli yang dilakukan Rachmat, menurut tuduhan itu, tidak
berdiri sendiri. Tapi bekerja sama dengan pejabat-pejabat lain
yang juga memproses IMB di kantor P2K Jakarta Selatan, bahkan
di kantor Pemda DKI. Ternyata dari pengusutan Opstib, pungli
semacam itu juga terjadi di kantor wilayah Jakarta lainnya.
Rachmat, misalnya, selain menerima hagiannya juga menjadi
perantara untuk rekan-rekannya yang terlibat dalam pengurusan
IMB. Untuk dirinya sendiri Rachmat mengaku kepada pemeriksa
telah menerima Rp 199 juta selama 9 tahun terakhir ini dan
uangnya digunakan untuk membeli rumah, tanah dan mobil. "Sudah
tiga puluh empat orang tersangka dan saksi yang diperiksa dalam
kasus ini," tambah Kanter.
Terbongkarnya kasus pungli yang sudah bertahun-tahun di kantor
P2k itu, seperti dikatakan Kanter, tidak akan terjadi kalau
saja pejabat pengurusan IMB pilih-pilih korban. "Sebab jarang
korban yang mau melapor atau jadi saksi, walau kesal," kata
Kanter kepada TEMPO.
Rachmat, 49 tahun, terkena batunya ketika memproses IMB untuk
Koperasi Pengrajin Kayu (Koperka) yang diketuai bekas Menteri
Pertanian Kabinet Wilopo, M. Sarjan. Seorang karyawan perusahaan
jasa, PT Teratai Intan, bernama M. Anas, menemui Rachmat untuk
mengurus IMB di tanah koperasi di Jalan Ciputat Raya sekitar
Juli 1981 lalu. Seperti biasanya, Rachmat, ayah dari tujuh anak
(dari dua istri), menetapkan tarif sekitar Rp 5 juta kepada
Anas. Yang sebanyak itu, kata Anas dalam pemeriksaan, harus
dilunasi sebelum IMB keluar. Anas setuju dengan permintaan itu,
asal IMB bisa didapatkannya. Beberapa hari kemudian ia
menyetorkan cek senilai Rp 3 juta kepada Rachmat.
Namun urusan ternyata tidak selancar yang diperkirakan. Dua hari
setelah uang muka dibayar, seorang petugas P2K Jakarta Selatan,
Sahid, datang menyegel pembangunan di tanah Koperka itu.
Buntutnya mudah ditebak, Rachmat menagih Rp 1 juta lagi ketika
Anas melaporkan penyegelan itu. Lagi-lagi Anas memenuhi
permintaan itu.
Ketika waktu yang ditentukan untuk mendapatkan IMB sampai,
Anas datang lagi ke kantor Rachmat. Tapi harapannya untuk
membawa pulang IMB itu tidak terwujud. Malah tanah yang lagi
diurus IMB-nya menurut Rachmat, perlu diukur. Untuk itu Sarjan
-- ayah peragawati Titi Qadarsih -- mengaku merogoh koceknya Rp
250 ribu lagi.
Pengeluaran demi pengeluaran ternyata belum membawa hasil.
Beberapa bulan kemudian Rachmat yang sudah berdinas 27 tahun
itu, menyuruh Sarjan dan Anas datang ke atasannya, Kepala Dinas
Pengawasan Pembangunan Kota DKI, Ir. Kaunang. Ternyata Kaunang
malah memberitahukan tanah Sarjan akan dijadikan jalan, kecuali
kalau bekas menteri itu menunjukkan bukti pemilikan tanah dan
gambar bangunan.
Anas kembali ke Rachmat untuk meminta surat ukur dan gambar
bangunan. Kali ini, pejabat P2K itu memasang tarif Rp 1,5 juta
untuk kedua jenis surat yang sudah ada di tangannya itu. Anas
rupanya kehilangan kesabaran dan langsung mengancam, "kalau
berbelit terus saya akan laporkan ke Opstib," ujarnya. Ancaman
itu tidak menggetarkan Rachmat, malah ia balik menantang,
"silakan," seperti dituturkan M. Sarjan kepada TEMPO.
Anas ternyata tidak main-main, laporannya segera masuk ke
kantor Kanter di Tanah Abang Timur, Jakarta Pusat. Tanggapan
Opstib juga cepat. Konon Anas dimodali uang untuk memenuhi
perminuan Rachmat. Pejabat itu segera digeledah Opstib begitu
Anas memberikan uang Rp 750 ribu 7 Oktober 1981 lalu. Petugas
Opstib malah menemukan uang sebanyak Rp 5,5 juta di tas milik
Rachmat. Sejak hari itu dimulailah pembongkaran besar-besaran
terhadap pungli di kantor pengurusan IMB itu.
RACHMAT dalam pemeriksaan mengakui hampir semua jaringan pungli
itu. Ia malah mengaku pula membayar upeti kepada beberapa
atasannya antara Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta, setiap dapat
obyekan. Bahkan uang yang ada dalam tasnya diakui Rachmat baru
diterimanya dari beberapa perusahaan real estate dan seorang
ekonom yang mengajukan permohonan IMB.
Dilahirkan di Jakarta, Rachmat menganggap semua peristiwa yang
dialaminya itu sebagai jebakan. "Nampaknya sudah diatur, kenapa
orang lain tidk diberlakukan demikian," kata Rachmat yang
kemudian dipindahkan ke kantor Rencana Bangunan Pemda DKI, dan
belakangan diskors. Ia mengaku tidak mengutip pungli dari para
pemohon, kecuali restribusi yang ditetapkan Pemda. "Saya merasa
dipojokkan sekali dalam kasus ini," tambah Rachmat yang sarjana
muda Untag itu.
Alasannya, praktek yang sekarang dituduhkan kepadanya itu
merupakan hal yang umum terjadi di kantornya. Ia hanya mengaku
menerima imbalan sebagai ucapan terima kasih dari orang-orang
yang sudah mendapatkan IMB. Dan itu pun secara sukarela.
Semuanya itu, katanya, sudah biasa terjadi.
Beberapa orang pejabat P2K di Jakarta Selatan yang merasa tidak
terlibat dalam kasus Rachmat, juga menyesalkan tindakan
penjebakan oleh Opstib itu. "Mestinya kalau memang sudah ada
kesepakatan kenapa mesti menjebak segala," ujar seorang rekan
Rachmat. Bahkan seorang pejabat yang sekarang diberi tugas
menanggulangi pungli di kantor itu merasa tidak senang dengan
jabatan itu. "Saya tidak bangga dengan batan ini, bagaimanapun
kasus Rachmat itu menyangkut keseluruhan korpskami," karanya.
Rupanya pejabat ini lebih setia kepada korpsnya daripada
tugasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini