Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jebakan Untuk Haji Rachmat

Pungli dalam pengurusan IMB digebrak opstib, kepala seksi perizinan suku dinas pengawasan pembangunan kota jak-sel, Haji Rachmat Suprapto Disastro dituduh telah memungli para pemohon IMB. (krim)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGURUS Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) memang tidak gampang. Meskipun prosedur telah dipampangkan di kantor instansi yang mengurusi soal itu, pelaksanaannya bisa berbelit-belit. Karena "pungli di sektor itu memang keterlaluan dan memberatkan banyak orang," ujar Ketua Opstibpus, E.Y. Kanter ketika menyerahkan perkara pejabat bagian perizinan IMB di Jakarta Selatan, Rachmat, ke kejaksaan. Berkas Rachmat itu, kata Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI, A.l. Adnan akan disampaikan ke pengadilan akhir bulan ini juga. Kepala Seksi Perizinan Suku Dinas Pengawasan Pembangunan (P2) Kota Jakarta Selatan, Haji Rachmat Suprapto Disastro, menurut Kanter sudah memungli setiap pemohon IMB di wilayahnya sejak 1974. Dalih yang selalu dikemukakan Rachmat, kata pejabat Opstib itu, adalah uang untuk ongkos membuat gambar atau membuat laporan. Jika permintaan uang itu tidak dipenuhi pemohon, susah diharapkan IMB akan keluar dengan mulus. Ada saja kesalahan pemohon. Misalnya syarat-syarat permohonan tidak lengkap. Begitu juga meski pembangunan telah dilaksanakan si pemilik bangunan bisa-bisa kena penyegelan dengan alasan tertentu. Pungli yang dilakukan Rachmat, menurut tuduhan itu, tidak berdiri sendiri. Tapi bekerja sama dengan pejabat-pejabat lain yang juga memproses IMB di kantor P2K Jakarta Selatan, bahkan di kantor Pemda DKI. Ternyata dari pengusutan Opstib, pungli semacam itu juga terjadi di kantor wilayah Jakarta lainnya. Rachmat, misalnya, selain menerima hagiannya juga menjadi perantara untuk rekan-rekannya yang terlibat dalam pengurusan IMB. Untuk dirinya sendiri Rachmat mengaku kepada pemeriksa telah menerima Rp 199 juta selama 9 tahun terakhir ini dan uangnya digunakan untuk membeli rumah, tanah dan mobil. "Sudah tiga puluh empat orang tersangka dan saksi yang diperiksa dalam kasus ini," tambah Kanter. Terbongkarnya kasus pungli yang sudah bertahun-tahun di kantor P2k itu, seperti dikatakan Kanter, tidak akan terjadi kalau saja pejabat pengurusan IMB pilih-pilih korban. "Sebab jarang korban yang mau melapor atau jadi saksi, walau kesal," kata Kanter kepada TEMPO. Rachmat, 49 tahun, terkena batunya ketika memproses IMB untuk Koperasi Pengrajin Kayu (Koperka) yang diketuai bekas Menteri Pertanian Kabinet Wilopo, M. Sarjan. Seorang karyawan perusahaan jasa, PT Teratai Intan, bernama M. Anas, menemui Rachmat untuk mengurus IMB di tanah koperasi di Jalan Ciputat Raya sekitar Juli 1981 lalu. Seperti biasanya, Rachmat, ayah dari tujuh anak (dari dua istri), menetapkan tarif sekitar Rp 5 juta kepada Anas. Yang sebanyak itu, kata Anas dalam pemeriksaan, harus dilunasi sebelum IMB keluar. Anas setuju dengan permintaan itu, asal IMB bisa didapatkannya. Beberapa hari kemudian ia menyetorkan cek senilai Rp 3 juta kepada Rachmat. Namun urusan ternyata tidak selancar yang diperkirakan. Dua hari setelah uang muka dibayar, seorang petugas P2K Jakarta Selatan, Sahid, datang menyegel pembangunan di tanah Koperka itu. Buntutnya mudah ditebak, Rachmat menagih Rp 1 juta lagi ketika Anas melaporkan penyegelan itu. Lagi-lagi Anas memenuhi permintaan itu. Ketika waktu yang ditentukan untuk mendapatkan IMB sampai, Anas datang lagi ke kantor Rachmat. Tapi harapannya untuk membawa pulang IMB itu tidak terwujud. Malah tanah yang lagi diurus IMB-nya menurut Rachmat, perlu diukur. Untuk itu Sarjan -- ayah peragawati Titi Qadarsih -- mengaku merogoh koceknya Rp 250 ribu lagi. Pengeluaran demi pengeluaran ternyata belum membawa hasil. Beberapa bulan kemudian Rachmat yang sudah berdinas 27 tahun itu, menyuruh Sarjan dan Anas datang ke atasannya, Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota DKI, Ir. Kaunang. Ternyata Kaunang malah memberitahukan tanah Sarjan akan dijadikan jalan, kecuali kalau bekas menteri itu menunjukkan bukti pemilikan tanah dan gambar bangunan. Anas kembali ke Rachmat untuk meminta surat ukur dan gambar bangunan. Kali ini, pejabat P2K itu memasang tarif Rp 1,5 juta untuk kedua jenis surat yang sudah ada di tangannya itu. Anas rupanya kehilangan kesabaran dan langsung mengancam, "kalau berbelit terus saya akan laporkan ke Opstib," ujarnya. Ancaman itu tidak menggetarkan Rachmat, malah ia balik menantang, "silakan," seperti dituturkan M. Sarjan kepada TEMPO. Anas ternyata tidak main-main, laporannya segera masuk ke kantor Kanter di Tanah Abang Timur, Jakarta Pusat. Tanggapan Opstib juga cepat. Konon Anas dimodali uang untuk memenuhi perminuan Rachmat. Pejabat itu segera digeledah Opstib begitu Anas memberikan uang Rp 750 ribu 7 Oktober 1981 lalu. Petugas Opstib malah menemukan uang sebanyak Rp 5,5 juta di tas milik Rachmat. Sejak hari itu dimulailah pembongkaran besar-besaran terhadap pungli di kantor pengurusan IMB itu. RACHMAT dalam pemeriksaan mengakui hampir semua jaringan pungli itu. Ia malah mengaku pula membayar upeti kepada beberapa atasannya antara Rp 250 ribu sampai Rp 1 juta, setiap dapat obyekan. Bahkan uang yang ada dalam tasnya diakui Rachmat baru diterimanya dari beberapa perusahaan real estate dan seorang ekonom yang mengajukan permohonan IMB. Dilahirkan di Jakarta, Rachmat menganggap semua peristiwa yang dialaminya itu sebagai jebakan. "Nampaknya sudah diatur, kenapa orang lain tidk diberlakukan demikian," kata Rachmat yang kemudian dipindahkan ke kantor Rencana Bangunan Pemda DKI, dan belakangan diskors. Ia mengaku tidak mengutip pungli dari para pemohon, kecuali restribusi yang ditetapkan Pemda. "Saya merasa dipojokkan sekali dalam kasus ini," tambah Rachmat yang sarjana muda Untag itu. Alasannya, praktek yang sekarang dituduhkan kepadanya itu merupakan hal yang umum terjadi di kantornya. Ia hanya mengaku menerima imbalan sebagai ucapan terima kasih dari orang-orang yang sudah mendapatkan IMB. Dan itu pun secara sukarela. Semuanya itu, katanya, sudah biasa terjadi. Beberapa orang pejabat P2K di Jakarta Selatan yang merasa tidak terlibat dalam kasus Rachmat, juga menyesalkan tindakan penjebakan oleh Opstib itu. "Mestinya kalau memang sudah ada kesepakatan kenapa mesti menjebak segala," ujar seorang rekan Rachmat. Bahkan seorang pejabat yang sekarang diberi tugas menanggulangi pungli di kantor itu merasa tidak senang dengan jabatan itu. "Saya tidak bangga dengan batan ini, bagaimanapun kasus Rachmat itu menyangkut keseluruhan korpskami," karanya. Rupanya pejabat ini lebih setia kepada korpsnya daripada tugasnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus