GURU SMTP dan SMTA Negeri di Jawa Timur kini dituntut menjadi
detektif partikelir. Mereka harus mengetahui latar belakang
keluarga siswa. Ini gara-gara Januari lalu Kanwil P & K Ja-Tim
menyebarkan formulir Data Pribadi Murid. "Tapi murid tidak boleh
mengetahui isi daftar ini," tutur seorang wali kelas di sebuah
SMP di Surabaya.
Banyak hal yang perlu diisikan dalam formulir itu tidak ada
kaitannya dengan proses belajar-mengajar. Di antara 16 nomor
yang harus diisi memang ada hal biasa (nama murid, nama dan
pekerjaan orangtua murid atau walinya, kegiatan murid dalam
Organisasi Siswa Intra Sekolah, dan catatan prestasi murid di
kelas). Tapi pada nomor 10 perlu dituliskan pula kegiatan
politik dan kegiatan lain orangtua atau wali. Dan nomor 12
meminta keterangan tentang kegiatan murid yang bersifat
subversi, politik praktis, tindak pidana/kejahatan, perkelahian
fisik.
Seorang wali murid yang dulu pernah aktif dalam politik dan kini
menjadi wiraswasta agak was-was dengan data pribadi itu. "Kalau
tidak disalahgunakan, ya baik," katanya kepada TEMPO. "Tapi
mungkin terpakai sebagai kriteria bila siswa nanti melanjutkan
sekolah." Kekhawatiran timbul karena ia mendengar para lulusan
ITB dan UI, yang ketika mahasiswa aktif menjadi "aktivis",
dipersulit menjadi pegawai negeri.
"Ini tidak mendidik," kata seorang DPRD Ja-Tim. "Pekerjaan guru
sudah dicampuradukkan dengan pekerjaan aparat keamanan." Menurut
Syumly Sadly, anggota Komisi Pendidikan dan Kebudayaan DPRD
Tingkat I Ja-Tim, formulir pribadi itu bisa mendiskreditkan anak
didik.
Pamoedji, Ketua Musyawarah Perguruan Swasta Ja-Tim, menyatakan
keheranannya: "Untuk apa sebenarnya data seperti itu?" Lantas
dia berandai-andai: "Andaikata orangtua beroposisi terhadap
pemerintah, apakah anaknya harus diperlakukan sebagai oposan
pula?"
Dari Kanwil P&K Ja-Tim diperoleh keterangan, sebenarnya Daftar
Pribadi Murid itu adalah penjabaran Petunjuk Usaha Peningkaun
Ketahanan Sekolah dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam petunjuk itu para kepala sekolah diharuskan membuat apa
yang disebut "peta kelas." Salah satu unsur dalam peta itu ialah
daftar kegiatan siswa dan orangtua siswa, menyangkut kegiatan
politik praktis, tindak pidana, dan kegiatan subversi.
Untuk apa? Soegijo, Kakanwil P&K Ja-Tim menyebut manfaatnya
untuk mendekatkan hubungan guru dan murid. "Kalau pihak pendidik
tidak mengetahui latar belakang keluarga murid, kecil
kemungkinannya pendidik itu akan berhasil." Ia menjamin bahwa
data itu tidak akan disalahgunakan.
Masih banyak wali kelas yang konon belum sanggup mengisi data
itu, terutama yang menyangkut latar belakang politik orangtua
murid atau walinya. "Anak-anak itu masih belasan tahun, tak ada
hubungannya dengan kegiatan politik orangtuanya, " kata seorang
wali kelas di sebuah SMA Negeri di Surabaya. Pendataan wali
kelas biasanya hanya meliputi pekerjaan orangtua dan latar
belakang pendidikannya.
Sejumlah guru tidak melihat relevansi kegiatan politik orangtua
murid dengan prestasi belajar murid. "Kami menjadi merasa
seperti intel, bukan guru," kata seorang wali kelas di sebuah
SMP Negeri di Surabaya.
Seperti intel? Memang mereka harus secara diam-diam, mengorek
dari berbagai sumber, untuk mengetahui latar belakang orangtua
murid. Si murid dan orangtuanya boleh pula ditanya, asal mereka
tak menyadari bahwa itu semua untuk mengisi formulir tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini