Titiek Puspa memiliki kisah tentang bangsa yang sakit. Suatu hari, 14 Mei 1998, penyanyi terkenal ini menyaksikan berita kerusuhan massal di layar televisi. Tayangan yang membuatnya kaget setengah mati. Nenek yang kini 65 tahun ini langsung jatuh gering. Seluruh tubuhnya seolah lumpuh dan Titiek hanya berbaring sampai lebih dari dua minggu. "Saya wirang (malu teramat sangat)," kata Titiek, "duh, Gusti, kenapa bangsaku bisa sakit begini."
Bangsa yang sakit itu sampai kini belum juga sembuh. Bahkan kian bertambah parah dan makin centang-perenang. Belitan krisis ekonomi, sejak 1997, menciptakan 100 juta orang miskin dan 40 juta pengangguran. Tragedi kemanusiaan terus berlanjut di Ambon, Pontianak, Poso, juga Nunukan. Sementara itu, di sisi lain, para petinggi sedang sibuk mengamankan harta korupsi.
Di tengah situasi yang penuh tekanan ini, sudah pasti kualitas hidup fisik dan mental bangsa terus merosot. Survei kesehatan mental rumah tangga Departemen Kesehatan juga menunjukkan 185 dari tiap seribu penduduk mengalami gangguan jiwa. Artinya, dalam setiap rumah tangga, paling tidak ada satu orang yang kesehatan jiwanya terganggu.
Patut dicatat, survei tersebut digelar pada 1995, ketika hantu krisis ekonomi belum menggebrak. Kini, setelah tujuh tahun berselang, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia pasti telah meningkat. Meskipun harus diakui, data statistik yang memadai, lagi-lagi, tidak tersedia. Sebagai gambaran, seperti terungkap dalam forum peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, 10 Oktober 2002, di Jakarta, para ahli memperkirakan sekarang ini sedikitnya ada 20 juta penduduk Indonesia yang berjiwa kurang sehat.
Hanya, Dr. Irmansyah, psikiater yang Ketua Seksi Skizofrenia Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI), menekankan bahwa tidak semua 20 juta orang itu mengidap sakit jiwa yang parah. Jumlah penderita skizofrenia, gangguan jiwa berat, "cuma" sekitar 2 juta jiwa atau 1 persen dari jumlah total penduduk kita yang 200 juta (lihat boks Bersatulah Orang Gila Se-Indonesia).
Menurut Irmansyah, skizofrenia menekankan kondisi yang khusus. Jumlah penderitanya tidak serta-merta meningkat seiring dengan kekacauan negeri ini. Soalnya, penyebab skizofrenia bukan semata-mata adanya stressor (pemicu stres). Ada banyak faktor lain yang hingga kini belum diketahui persis. "Ada keyakinan bahwa faktor genetik atau kecenderungan turut berperan," kata Irmansyah, yang bersama koleganya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tengah meneliti gen apa gerangan yang menyebabkan timbulnya skizofrenia.
Sementara itu, berbeda dengan skizofrenia, gangguan jiwa yang lain seperti depresi dan gangguan emosi sangat bergantung pada stressor. Penyebab stres ini bisa berupa impitan ekonomi, suasana kerja yang tidak kondusif, patah hati, senewen menyaksikan kejahatan korupsi pejabat, atau dikejar-kejar penagih utang.
Profesor Sasanto Wibisono, psikiater yang pernah menjadi Ketua IDAJI, yakin bahwa gangguan jiwa semacam itulah yang dikhawatirkan terus melonjak seiring dengan kian amburadulnya situasi negeri. "Tahun-tahun belakangan, banyak stressor baru yang muncul," kata Sasanto. Stressor itu antara lain pemutusan hubungan kerja atau kehilangan uang investasi seperti yang menimpa ratusan investor PT Qurnia Subur Alam Raya.
Sasanto membenarkan, gangguan jiwa memang bukan penyakit yang langsung menyebabkan kematian. Tapi beban ekonomi yang disebabkan gangguan jiwa sama sekali tidak murah. Studi Bank Dunia tahun 2001 menunjukkan gangguan mental membuat seluruh dunia menanggung beban ekonomi (global burden of disease) sebesar 8,1 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dari beban akibat penyakit lain, misalnya tuberkulosis (7,2 persen), kanker (5,8 persen), penyakit jantung (4,4 persen), dan malaria (2,6 persen).
Dengan beban yang begitu besar, gangguan jiwa tak layak untuk diabaikan. Sikap acuh tak acuh hanya akan mengundang berbagai penderitaan fisik dan mental, mulai dari yang enteng seperti gatal kulit, sesak napas, rematik, tekanan darah tinggi, sampai penyakit jantung koroner. Risiko kanker yang ganas, misalnya payudara dan rahim, juga turut melambung di kalangan orang-orang yang gampang stres.
Lebih gawat lagi, yang menderita kanker bukan cuma perorangan tetapi masyarakat dan bangsa secara luas. Ini terutama muncul bila gangguan mental menumpuk di kalangan produktif usia 15-44 tahun. Mereka yang cemas, rendah diri, emosional, dan tidak puas akan cenderung melarikan diri ke narkotik, bertindak kriminal, dan menciptakan "kanker" dalam masyarakat.
Sasanto juga yakin, "kanker" jiwa itu sudah demikian parah menggerogoti sel-sel bangsa Indonesia. "Indikasinya," kata Sasanto, "angka kriminalitas meningkat baik dalam jumlah maupun kualitas." Tawuran pelajar, pengeroyokan, pembajakan bus kota, mutilasi, misalnya, menunjukkan betapa bangsa ini sedang sakit.
Data statistik pun menyuguhkan bukti. Dewasa ini paling tidak ada 4 juta pecandu obat terlarang yang bakal terus bertambah 10 persen per tahun. Angka kriminalitas pun meningkat pesat hampir di seluruh wilayah negeri. Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya, misalnya, mencatat hampir 24 ribu kasus kejahatan sepanjang tahun 2000. Kemudian, pada tahun 2001, jumlah kejahatan melesat sampai 40 ribu kasus, yang berarti ada lonjakan sampai 70 persen.
Lalu, adakah kiat untuk tidak tergerus gangguan jiwa ini?
Anjuran yang utama, menurut Sasanto, adalah pintar-pintar mengelola tekanan hidup. "Tak mungkin kita hidup tanpa stres," katanya. Stres ini harus dikelola supaya tidak menjadi depresi yang berkepanjangan. Olah raga, mempertebal keimanan, berlatih berpikir positif, cukup istirahat, menganut gaya hidup sehat seimbang, adalah resep yang wajib diamalkan.
Bila depresi sudah telanjur mampir, Sasanto menganjurkan Anda untuk mendatangi psikiater terdekat. Tapi, ini pun bukan pilihan yang gampang bagi seluruh penduduk Indonesia. Saat ini hanya ada 430 psikiater yang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Ini berarti, satu psikiater untuk 500 ribu penduduk. Sebuah rasio yang amat timpang.
Nah, dengan menyimak situasi ini, para ahli memandang tak ada kelirunya jika Anda berlatih menenangkan ketegangan jiwa dengan beragam cara alternatif. Tentu dengan catatan, obat antidepresi resep dokter tetap menjadi komponen utama terapi. Berzikir, meditasi, menari, melukis, bersenam, yoga, atau bahkan hipnotis boleh dicoba sebagai terapi pelengkap. Jurus-jurus alternatif ini diakui dunia kedokteran sanggup meningkatkan produksi hormon endorfin yang meredakan ketegangan.
Titiek Puspa pun telah membuktikan keampuhan jurus alternatif ini. Dalam usaha mengatasi kekagetan pada 1998 dulu, Mbak Titiek pergi menyepi menginap di hotel di Ancol. Setiap dini hari, usai salat subuh, Titiek bermeditasi menghirup udara di tepi pantai. "Saya tahu, sumber persoalan saya ada pada pikiran," kata Titiek. "Jadi, mengatasinya juga harus dengan mengistirahatkan pikiran." Syukurlah, tak sampai dua pekan, tubuh Titiek kembali pulih.
Sampai kini, agar terjauh dari depresi dan mental yang sakit, Titiek membiasakan diri meditasi. Duduk bersila, pejamkan mata, dan tarik napas dari perut dalam-dalam. Sirkulasi darah lebih lancar, pikiran tenang, stres menjauh, dan ketahanan tubuh meningkat. Tak perlu lama-lama, cukup 10 menit setiap hari. Maka, Anda telah ikut serta sedikit demi sedikit menyembuhkan sebuah bangsa yang sedang sakit.
Mardiyah Chamim, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini