Semua berlangsung cepat. Pada suatu hari di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta, orang ramai menyeret lima lelaki yang disangka pencopet, lalu menghujani tubuh mereka dengan pukulan serta tendangan. Dan sebuah adegan final digelar, mengerikan sekaligus mengharukan. Setelah bensin diguyurkan, tubuh lima lelaki yang sudah lunglai tapi masih bergerak-gerak itu disulut korek api. Mereka berkobar seperti kayu bakar.
Kita dibuat bertanya: apa sebenarnya yang membuat orang-orang normal itu melakukan kegilaan sedemikian rupa?
Di Jakarta yang menegangkan, batas yang membedakan orang waras dengan orang gila menjadi semakin samar. Para pakar psikologi sosial punya penjelasan atas sadisme Kampung Rambutan—dengan nada memaafkan. Kerumunan massa adalah ibarat black hole di pinggir jagat raya: menyedot dan menelan siapa saja yang berada di dekatnya. Dalam kerumunan, individu kehilangan identitas pribadi masing-masing. Mereka menerjang seperti gelombang, digerakkan oleh pikiran-pikiran yang menghuni alam bawah sadarnya, dan karena itu tak mengenal takut akan berbagai risiko di kemudian hari. Kerumunan tidak pernah merasa bersalah melakukan apa saja.
Tapi itu tetap tak memuaskan: apa yang membedakan kegilaan dengan kewarasan? Pertanyaan ini nyaris abadi.
Pada abad ke-15, Eropa gencar berperang melawan tukang sihir, yang dianggap sebagai penyebar kegilaan. Kerajaan-kerajaan sempat menerbitkan buku petunjuk khusus untuk menentukan gila-tidaknya seseorang. Salah satu buku, berjudul The Witch's Hammer, berpegang pada prinsip bahwa kegilaan datang dari roh-roh jahat yang dikemudikan para tukang sihir. Keberadaan roh jahat dinyatakan positif—demikian menurut buku itu—bila seorang lelaki tak dapat berhubungan seks dengan lawan jenisnya. Cemburu berat dan aborsi yang terjadi tiba-tiba adalah pertanda para roh jahat pembawa kegilaan itu sedang beraksi. Simplistis, tapi mencerminkan semangat zamannya.
Semua itu kini dianggap tidak ilmiah, dan membuat orang tetap haus akan jawaban. Apalagi setelah Hollywood mengangkat ke layar putih novel karya Ken Kesey, One Flew over the Cuckoo's Nest (1975), yang amat berpihak pada orang-orang tak waras. Pengaruh Sigmund Freud dan psikiater R.D. Laing amat terasa di situ. Keduanya yakin, orang-orang yang terganggu jiwanya mengalami pengalaman "transendental" lewat delusi ataupun halusinasi.
Keberpihakan seperti itu mendapat sedikit koreksi dalam A Beautiful Mind, yang belum lama ini memperoleh Piala Oscar sebagai film terbaik. Film itu bercerita soal perjuangan penderita skizofrenia yang berhasil mengatasi penyakitnya. Skizofrenia, seperti ditunjukkan dalam film tersebut, adalah suatu penyakit ketimbang pengalaman batin belaka.
Dunia modern memang mulai merasa repot membedakan kewarasan dengan kegilaan sejak bapak psikoanalisis, Sigmund Freud, memperkenalkan teori tentang alam bawah sadar pada akhir abad ke-19. Bawah sadar, menurut Freud, adalah alam yang paling akurat mencerminkan kondisi kejiwaan manusia. Jiwa akan terganggu apabila segala gairah yang berasal dari alam itu ditekan habis. Tapi, kendati rasa bersalah sering kali menghalangi penyaluran gairah seksual ataupun keagresifan, manusia memiliki jurus kejiwaan khusus untuk memanipulasi perasaan bersalah tersebut. Itulah mekanisme pembelaan diri, yang bisa mengubah pahit menjadi manis, perasaan berdosa menjadi sesuatu yang bisa diterima.
Kalau sudah begitu, mungkin kita bisa memahami mengapa para algojo dalam kerumunan di Kampung Rambutan bisa pulang dengan perasaan tenang dan tidur nyenyak tanpa ada rasa berdosa. Toh, pembelaan diri bisa disuarakan dengan baik: mereka sekadar menggapai keadilan yang tak bisa diberikan aparat negara, ketika polisi tidak mau atau tak mampu memberantas kejahatan yang merugikan mereka.
Ataukah manusia menyimpan dalam dirinya kegilaan dan kewarasan sekaligus—suatu ambivalensi yang inheren? Dalam masyarakat Jawa, misalnya, orang mengenal falsafah sugih tanpa bandha (kaya tanpa berharta), yang merupakan pembelaan diri terhadap ketidakmampuan menjadi kaya. Begitu pula ungkapan kuasa tanpa bala (berkuasa tanpa tentara), yang tak lain adalah pembelaan atas ketidakberdayaan menghadapi penjajahan selama tiga abad.
Dalam banyak masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, ambivalensi memang sering diterima sebagai kewajaran. Jika begitu, haruskah kita heran jika kegilaan dan kewarasan bisa berdamai dalam tubuh yang sama?
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini