MENGAPA orang desa lebih sehat daripada orang kota? Dugaan yang sering kita dengar bahwa penduduk desa bekerja lebih keras, karena itu selalu fit. Benarkah? Ada bukti-bukti mengenai keunggulan orang desa. Yaitu pola makan mereka. Sejumlah peneliti baru-baru ini membuktikan bahwa tempe dan jengkol, yang dikenal sebagai makanan rakyat, ternyata mengandung senyawa yang punya pengaruh besar pada kesehatan tubuh. Peneliti pertama adalah Ignatius Sudigbia Partawihardja, yang mempertahankan disertasi doktornya di Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis pekan lalu. Sudigbia menemukan tempe mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, kalsium, fosfor, dan besi dalam kadar relatif tinggi. Di samping itu, makanan rakyat ini mengandung pula berbagai vitamin dan antibiotik untuk menangkal infeksi. Kandungan yang kaya ini membuat tempe bisa digunakan untuk mengatasi diare (berak-berak), infeksi, dan kekurangan gizi secara serentak. Ketiga ancaman kesehatan ini, menurut Sudigbia, biasanya berkaitan dan membentuk lingkaran setan -- khususnya pada anak-anak. Anak yang terkena diare akan terganggu pencernaannya. Gangguan pencernaan akan menimbulkan kekurangan gizi karena banyak makanan terbuang. Kondisi kurang gizi membuat seorang anak mudah terkena infeksi. Untuk mengatasi infeksi ini tubuh menyerap sebagian besar sumber energi. Bila suplai karbohidrat tidak cukup, cadangan energi -- di antaranya lemak -- terpaksa digunakan. "Akibatnya, si anak menjadi kurus kering, karena kondisi gizinya semakin merosot," kata Sudigbia. "Keadaan ini membuat ia kembali mudah terserang diare dan infeksi." Hasil penelitian Sudigbia memastikan bahwa tempe bisa memutus lingkaran setan itu -- khususnya pada anak-anak berusia 6-24 bulan. Pembuktian ini ditemukannya setelah mengadakan penelitian -- dilakukan Sudigbia pada musim kemarau, ketika diare sedang merajalela -- di 24 desa Kecamatan Beringin, Salatiga, Jawa Tengah. Pemberian tempe dalam bentuk tepung yang dicampur bubur beras ternyata bisa mengatasi diare dalam 4 hari. Hasil pemeriksaan sesudah itu menunjukkan, makanan tambahan ini sekaligus bisa mencegah terjadinya kekurangan gizi. Untuk hasil penemuan ini, Sudigbia dinyatakan lulus cum laude. Peneliti lainnya adalah sebuah tim dari Universitas Padjadjaran, Bandung. Tim ini, yang menyelesaikan penelitian dua pekan lalu, menggali khasiat batang dan kulit biji jengkol. "Ekstrak etanol yang diproses dari kulit halus biji jengkol itu ternyata mengandung senyawa aktif penurun gula darah," kata Dr. Soetijoso Soemitro, koordinator penelitian itu. Dengan kata lain, bisa menjadi obat diabetes (kencing manis). Batang dan kulit halus biji jengkol biasanya tidak dimakan. "Keduanya tergolong limbah jengkol," kata Soetijoso. Namun, tambahnya, di lingkungan masyarakat Jawa Barat, ada kebiasaan merendam limbah ini dan meminum airnya sebagai obat. Tim yang dipimpin Soetijoso ini juga mengadakan percobaan bagaimana membuat limbah jengkol itu menjadi bahan baku obat. Pada dasarnya, penelitian ini sebuah rangkaian petunjuk pembuatan obat diabetes -- terutama berguna untuk penderita kencing manis berat (diabetes mellitus). Penyebab penyakit kencing manis timbul karena kurang berfungsinya kelenjar pankreas memproduksi hormon insulin -- hormon yang mengontrol kadar gula darah. Maka, penderitanya bergantung pada penyuntikan insulin secara tetap, dan kadang-kadang harus disuntikkan tiap hari. Dengan ditemukannya obat limbah jengkol, diharapkan penyuntikan insulin tak perlu lagi dilakukan. Karena obat ini mampu menurunkan kadar gula darah. Selain itu, obat limbah jengkol juga bisa mempengaruhi kerja kelenjar pankreas, agar lebih aktif memproduksi hormon insulin. Dalam ilmu kedokteran, obat semacam ini -- juga sedang diteliti para ahli farmakologi Inggris -- disebutkan mampu menyembuhkan diabetes secara prinsip. Jis, Bandelan Amarudin, dan Heddy Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini