ADAKAH hubungan antara ari-ari bayi dan luka bakar? Dra. Nazly Hilmy dari Batan, siap dengan jawaban positif. Ia dan beberapa ahli lainnya telah mengembangkan metode baru yang berhasil memanfaatkan lapisan selaput amnion, dekat ari-ari bayi, untuk menyembuhkan luka bakar. Metode itu, meski sejak tahun 1913 telah diterapkan di luar negeri, baru belakangan ini digunakan banyak dokter di Indonesia. Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) turut aktif mengembangkannya. Pada acara Pendidikan Kilat Introduksi Teknik Nuklir di Semarang, September silam, sempat pula dibicarakan soal selaput amnion ini. Selaput amnion -- sering tercabik saat bayi lahir -- merupakan pembungkus tubuh janin dalam rahim. Ia memproduksi sekaligus membungkus cairan amnion atau ketuban. Jika bayi dilahirkan secara operasi Caesar, selaput ini tetap utuh. Nah, amnion utuh inilah yang dikembangkan Batan. Menurut Dra. Nazly Hilmy, Kepala Bidang Proses Radiasi, Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Batan -- sudah meneliti amnion 2 tahun lalu -- selaput transparan yang mirip martabak ini punya kelebihan dibanding kain kasa. Misalnya saja, struktur selnya yang mirip sekali dengan kulit manusia. "Karena merupakan jaringan hidup, amnion tidak tembus mikroba, tetapi tetap tembus uap air dan oksigen. Mirip sekali dengan kulit kita ini," ujar ibu tiga anak itu. Menyadari manfaatnya, Nazly sengaja mengawetkan amnion dengan proses radiasi. Dengan teknik ini, menurut Nazly, bahan pembalut luka bakar itu bisa tahan disimpan sampai setahun dalam suhu kamar. Sampai kini, peneliti yang apoteker itu telah mengembangkan tak kurang dari 500 amnion di kantornya di Pasar Jumat, Jakarta Selatan. Bahan mentahnya selama ini -- rata-rata 10 buah per minggu -- diperoleh Nazly dari Bagian Kebidanan dan Kandungan RSCM. Meski demikian, Nazly berharap, pengembangan usaha amnion kelak digarap sendiri oleh Rumah Sakit, karena di situlah sumbernya. Ternyata, harapan Nazly ini sudah dilaksanakan antara lain oleh dr. Sidik Setiamihardja dan rekan-rekannya dari bagian bedah plastik RSCM -- bahkan sejak 6 tahun lalu. Mereka membalut luka bakar dengan amnion tanpa proses sterilisasi. Dan menurut mereka, amnion segar memberi pengaruh yang lebih efektif ketimbang hasil pengawetan -- seperti yang dilakukan Batan itu. Di samping itu, dari praktek Sidik ditemukan hal menarik. Ketika selaput amnion dikirim ke Bagian Mikrobiologi, diketahui bahwa kuman yang ditanam pada piring petri tempat amnion justru berkurang jumlahnya. Artinya, selaput amnion ternyata mampu membunuh kuman. "Sayang, kemampuan membunuh ini terbatas beberapa hari saja," kata dr. Sidik. Setelah itu, mikroba-mikroba berbiak lagi. Menurut Sidik, amnion berguna untuk menguji apakah ada kuman pada jaringan luka bakar atau tidak. Jika ada, kuman akan segera dihabisi oleh amnion. "Jika tidak ada kuman, amnion bisa menggantikan fungsi kulit yang terbakar," Sidik menjelaskan. Ini berarti pembalut amnion bisa menahan penguapan, menahan infeksi dan menjalankan fungsi kulit yang lain. Sayang, amnion cuma tahan 2-3 hari, hingga Sidik mengganti pembalut alami itu setiap 2 hari. Itulah salah satu kelemahan amnion. Kelemahan yang lain: amnion hanya bisa membantu penyembuhan luka bakar derajat tertentu. Misalnya, derajat II, ketika luka hanya mengenai lapisan permukaan kulit. Bagaimanapun juga, amnion memang bukan pengganti kulit yang ideal, kendati memiliki beberapa keunggulan. Idealnya, benda yang ditempelkan untuk menyembuhkan luka bakar harus punya struktur yang sama dengan kulit. Ini, misalnya, bisa diperoleh dari kulit pasien, kulit kerabat, atau kulit orang mati. Sidik sebetulnya juga berharap kulit babi bisa dimanfaatkan lebih banyak karena "sangat mendekati kulit manusia". Ia bertanyatanya apakah ini mustahil bagi orang Islam di Indonesia? Ia mengharapkan jalan keluar sebab kalau luka bakar terjadi di banyak bagian tubuh, nyawa penderita akan sangat terancam. Diam-diam, Nazly sendiri juga meneliti pembalut kulit babi di Batan. Sayfiq Basri & Hedy Lugito (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini