BOCAH kelas I SD ini, maaf, berwajah buruk. Nyaris idiot, lagi. Padahal, ayahnya berparas tampan, pintar, dan orang terpandang yang berwibawa. Ibunya juga rupawan dan cerdas. Kenapa bisa begitu ? Tak usah bingung. Karena ternyata anak malang itu bukanlah buah cinta perkawinan kedua sejoli itu. Maklum, yang suami ternyata mandul. Ngebet punya turunan, si suami malang itu pun meminjam lelaki lain untuk membuahi istrinya. Sudah jelas? Kisah yang terjadi pada 1949 ini bukan cerita kedai tuak, lho. Tapi terungkap pada diskusi panel yang diselenggarakan Pusat Dokumentasi & Pengkajian Kebudayaan Universitas HKBP Nommensen pada 21 September 1987 di Medan. Penulis makalah adalah Mgr. Dr. A.B. Sinaga, Uskup Katolik wilayah Tapanuli & Nias. Meraih Doktor Teologia dari Lowon Belgia, pada 1975, ia tampil dengan judul Mengalap Tua Menjamin Keturunan pada suku Batak Toba. Anak keempat dari sembilan bersaudara ini memang gandrung bicara adat. Dalam makalahnyalah muncul kisah bocah itu. "Dia teman sekelas saya dulu," kata Sinaga pada TEMPO. Pada 38 tahun yang lalu, Sinaga kecil ini tak mengusut keunikan temannya itu. Tapi selepas dari Seminari Teologia Pematang Siantar pada 1970, kejadian masa silam itu kembali menggayutinya. Ia pun menguber kisah temannya itu dengan etos seorang pastor. Ternyata, temannya itu masih hidup di satu desa di Tapanuli Utara. Namun, ia menyimpan identitas dan alamatnya. Hasilnya, kini Sinaga bisa menjawab kontroversi kisah lama itu. Itu pun, setelah uskup ini memasang teknik "pasang kuping" dan meriset 42 buku tentang kultur Batak Toba. Rupanya, yang "membuahi" istri si mandul dulu itu memang beraut muka buruk bodoh, dan tak terpandang dalam masyarakat. "Logis saja, anak itu mewarisi fisionominya," kata Sinaga dalam makalah 31 halaman itu. Inilah yang disebutnya sebagai anak yang lahir dari "meminjam daya" melalui "pintu darurat" dalam adat etnis Batak Toba. Sejauh yang ditelitinya, lelaki "pemberi jasa" itu haruslah berwibawa. Juga harus dari keluarga dekat, semarga, dan bisa memendam rahasia. Menghindari adanya unsur "ketagihan", seorang perjaka tabu jadi "pemberi benih". Tapi karena kedua sejoli tadi hidup dalam lingkup keluarga kecil, alternatif tunggal pun jatuh pada lelaki yang tak memenuhi kriteria itu. Karena semarga dengan si mandul tadi, ia pun tampil sebagai penyelamat. Setelah disepakati keluarga dalam rapat rahasia yang terbatas, pemberi benih itu pun menunaikan tugasnya. Dipilihlah pada malam hari, tatkala suaminya pura-pura pergi ke ladang menjaga tanamannya dari gangguan binatang liar. Menurut uskup itu, praktek ini masih berlangsung diam-diam hingga kini. "Ada 40 kasus yang saya temukan," kata ahli kebudayaan Batak yang menulis buku The High God of the Batak Toba pada 1981 itu kepada TEMPO. Posisi anak lelaki yang sentral dalam sistem nilai Batak Tobalah yang memungkinkan munculnya kasus ini. "Mate-mate tu anak lo roha ni jolma Batak," kata Sinaga mengutip falsafah perkawinan dalam masyarakat Batak Toba. Artinya, "Rindu orang Batak terpulang pada anak lelaki jua". Maklum, adat Batak memang patrilineal (garis bapak), yang menempatkan anak lelaki sebagai penerus marga. Jika tak punya anak putra, turunan yang membawa marga itu pun pupus. Bahkan harta warisan ayah yang malang itu jatuh ke tangan turunan saudara-saudaranya. "Pintu darurat" ini ditempuh hanya setelah gagal memintasi "pintu resmi" yang diatur dalam adat Batak Toba. Misalkan, pasangan itu tak beroleh turunan karena pernikahan mereka tak direstui hula-hula (orang tua istri). Nah, untuk ini, tata caranya diatur lewat ritual Mengalap Tua Ni Hula-Hula (memohon doa restu hula-hula. Lihat: Box). Turunnya makalah Sinaga tidak membuat peserta panel di perguruan tinggi swasta yang berdiri pada 1954 di Medan itu menerima "pintu darurat" ini sebagai adat Batak Toba. "Itu hanya tindakan pribadi-pribadi," kata Domine P.M. Sihombing, 55 tahun, seorang dosen ilmu etika di situ pada TEMPO. Menurut dia, kalau itu adat, pelaksanaannya harus terbuka di mata umum. "Tidak main rahasia-rahasiaan," kata ayah tujuh anak dan bekas sekjen HKBP itu. Rektor Universitas HKBP Nommensen, Prof. Dr. Amudi Pasaribu, 55 tahun, malah menuding praktek itu sebagai perzinahan terselubung. "Jadi, jika ada anak yang lahir dari tata cara itu, ya, anak haram," kata ayah tiga anak ini. Di sinilah kontroversinya kasus itu. Dalam makalahnya, Sinaga mengakui, kasus itu bukan adat. Tapi sebaliknya, adat mentolerirnya. "Adat bahkan memilih diam. Padahal, kasus itu banyak diketahui orang," katanya. Makalah uskup ini makin seru tatkala ia beranjak ke persoalan "pintu darurat" yang kedua: sistem jabu talak alias "rumah terbuka". Untuk soal ini Sinaga memang mengaku tak melakukan riset ke lapangan. Hanya riset kepustakaan. Untuk itu, dia merujuk buku Pustaha Tumbaga Holing karangan Raja Patik Tampubolon pada 1964, kini almarhum. Buku itu menukilkan tentang seorang janda muda yang boleh membuka rumahnya pada malam hari hingga datang seorang lelaki membuahinya. Tapi di sini pun didahului dengan rapat keluarga dekat secara rahasia. Tentu saja, untuk menentukan siapa yang dipilih untuk "membuahi" janda malang itu. Ini terjadi karena suaminya mati muda. Padahal, belum sempat menitiskan turunan. Agar sang mendiang tak pupus turunannya, keluarga suaminya pun memusyawarahkan sistem jabu talak itu. Mengutip buku itu, Sinaga pun menyebut tata cara ini sebagai sesuatu yang benar-benar menurut adat Batak Toba. Walaupun peserta panel menilainya sama saja dengan sistem "meminjam daya" itu, Raja Patik menulis dengan kalimat gamblang, yang artinya adalah adat di negeri Batak jika seorang janda melakukan "jabu talak". Terlepas dari keragu-raguan uskup ini untuk memastikan apakah sistem ini tergolong adat atau tidak, semua ini adalah karena masyarakat Batak terlalu mengkultuskan anak laki-laki. "Ini tidak adil dan tak manusiawi," katanya dalam semangat seorang rohaniwan. Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini