Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Senjata Pemberantas Demam Berdarah

Masyarakat merasakan manfaat penelitian nyamuk ber-Wolbachia. Penelitiannya kini diperluas di Kota Yogyakarta.

19 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMBER-ember putih kecil mirip kaleng cat tembok itu nangkring di sela-sela pot tanaman di depan rumah Mbah Gito di Kampung Sidomulyo, Kelurahan Bener, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta. Di sekeliling dinding atas ember diberi lubang kecil. Ember itu berisi air, pelet, dan kain panel warna oranye dengan bercak hitam kecil yang bergerombol di atasnya. "Iki (ini) lho, telur nyamuknya," kata perempuan 72 tahun itu, Selasa pekan lalu.

Bersama beberapa orang dalam rukun tetangga di wilayahnya, Mbah Gito ikut mengasuh telur-telur nyamuk yang diletakkan di ember, seperti di depan rumahnya itu. Mereka sedang mengembangbiakkan nyamuk Aedes aegypti, si pembawa virus demam berdarah. Ember tersebut dibagikan oleh tim peneliti Eliminate Dengue Project pada Agustus lalu.

Mereka bukan bermaksud membuat penderita demam berdarah dengue bertambah, tapi justru sedang berusaha menurunkannya. Sebab, yang mereka pelihara bukan sembarang nyamuk Aedes aegypti. Serangga kecil itu sudah disuntik dengan Wolbachia, bakteri alami yang umum hidup di badan serangga, seperti kupu-kupu, lalat buah, capung, kumbang, dan beberapa jenis nyamuk.

Tapi Wolbachia tak ditemukan di tubuh Aedes aegypti. Peneliti di Australia yang penasaran lalu berusaha mengujinya untuk menjadi senjata pembunuh bagi virus dengue, si penyebab demam berdarah dengue. Hasil penelitian laboratorium membuktikan Wolbachia bisa menumpas virus dengue langsung di badan Aedes aegypti.

Penelitian lanjutan pun digeber, terutama di negara endemis demam berdarah dengue. Indonesia menjadi salah satu negara peserta, selain Brasil, Vietnam, Kolombia, dan Australia. Di Tanah Air, riset ini dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan didanai Yayasan Tahija dengan nama Eliminate Dengue Project (EDP). "Programnya berjalan sejak 2011," ujar Ketua Tim EDP Adi Utarini, Selasa pekan lalu.

Larva nyamuk yang sudah disuntik Wolbachia diterbangkan dari Australia. Di Yogyakarta, kata Adi, mereka dikembangkan menjadi nyamuk dewasa di laboratorium sebelum dilepaskan ke permukiman penduduk yang endemis demam berdarah. Nyamuk ini diharapkan kawin dengan nyamuk lokal dan menyebarkan bakteri Wolbachia. Maka virus dengue di tubuh nyamuk lama-lama habis dan jumlah penularan pun pelan-pelan diharapkan hilang.

Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti betina, yang perlu mengisap darah untuk perkembangan telurnya. Saat si nyamuk betina menggigit orang yang terkena demam berdarah, virus dengue di dalam darah manusia ikut terisap. Dengue yang sudah masuk ke dalam tubuh nyamuk itu akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh badan nyamuk, termasuk di kelenjar ludah dan telur.

Ketika nyamuk tersebut menggigit orang lain, virus yang ada di ludah akan ikut masuk ke tubuh korbannya. Demikian pula gigitan nyamuk yang diwarisi dengue saat masih berbentuk telur mengandung virus tersebut. Korban demam berdarah dengue pun bertambah.

Untuk mencegah penularan tersebut, virus dengue yang sudah keburu masuk ke tubuh nyamuk dibasmi. Caranya, menurut Adi, dengan memasukkan pesaingnya ke tubuh nyamuk, yakni bakteri Wolbachia. Dengue dan Wolbachia akan berkompetisi memperebutkan makanan dalam tubuh nyamuk. Kompetisi ini dimenangi oleh Wolbachia. Sedangkan dengue yang hidup di tubuh nyamuk pelan-pelan akan lenyap.

Menurut Adi, Wolbachia di tubuh nyamuk yang diasuh di laboratorium ataupun rumah penduduk akan menyebar ke nyamuk lain melalui perkawinan. Mereka akan terbang ke permukiman penduduk dan kawin dengan nyamuk lokal, termasuk nyamuk yang membawa virus dengue. Jika nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina tidak ber-Wolbachia, mereka menghasilkan telur, tapi telurnya tidak bisa menetas.

Sebaliknya, kalau nyamuk jantan tidak ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia akan menghasilkan telur yang ber-Wolbachia. "Jadi yang sakti itu yang betina," ujar Adi.

Namun, dalam tubuh nyamuk yang ditetaskan dari telur hasil perkawinan nyamuk jantan tidak ber-Wolbachia dengan nyamuk betina ber-Wolbachia, masih terdapat virus dengue. Tapi, karena kadar virus denguenya kalah dari Wolbachia, gigitannya tak jadi masalah, hanya menimbulkan rasa gatal. "Jadi ludah nyamuk saat menggigit orang sudah tidak mengandung dengue," ucap Adi.

Penyebaran nyamuk ber-Wolbachia itu dilakukan sejak Januari 2014. Ini merupakan fase kedua penelitian, setelah melalui fase pertama berupa persiapan dan keamanan sejak 2011. Pada fase kedua ini, nyamuk yang sudah diberi Wolbachia disebar di empat lokasi penelitian secara bertahap, yakni di Desa Nogotirto dan Dukuh Kronggahan, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, serta Desa Singosaren dan Dusun Jomblangan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Keempatnya merupakan endemis demam berdarah.

Penyebaran nyamuk di kedua kabupaten ini dilakukan dengan cara berbeda. Di Sleman, penyebaran dilakukan dengan menerbangkan nyamuk-nyamuk dewasa. Tapi ini sempat menimbulkan pertentangan di Nogotirto. Sebagian kecil warga menolak karena penelitian ini belum terjamin keampuhannya. "UGM tidak mau memberikan jaminan tertulis. Warga jadi bahan percobaan yang belum 100 persen dipastikan keberhasilannya," kata bekas pengurus organisasi kepemudaan desa itu, yang menolak disebut namanya.

Belajar dari hal ini, penyebaran nyamuk di Bantul dilakukan mulai dari telur. Warga dititipi ember yang berisi telur nyamuk untuk diasuh sampai menetas. Selain mengantisipasi sikap reaktif, penitipan telur ini membuat penduduk ikut merasa memiliki. "Efeknya bagus. Kalau air dalam ember tumpah karena kesenggol kucing atau embernya hilang, warga melapor ke kami," ujar Adi.

Nyamuk di lokasi penelitian tersebut kemudian dipantau. Menurut Adi, hingga pekan lalu, persentase nyamuk ber-Wolbachia 85-95 persen dari total nyamuk yang berkeliaran di daerah tersebut. Soal penurunan angka kasus demam berdarah, Adi mengatakan masih perlu dibuktikan di lokasi yang lebih luas karena lingkup empat tempat riset tadi masih terlalu kecil. Rata-rata jumlah penduduknya 2.000 jiwa dengan mobilitas cukup tinggi, sehingga penularan demam berdarah bisa jadi dari tempat lain.

Karena itu, menurut anggota tim peneliti EDP Bidang Komunikasi dan Penyertaan Masyarakat, Bekti Dwi Andari, sejak Agustus lalu penelitian masuk ke fase ketiga. Lokasinya diperluas ke Kota Yogyakarta. Nyamuk ber-Wolbachia disebar di tujuh perkampungan, meliputi kawasan Patangpuluhan, Wirobrajan, Pakuncen, Tegalrejo, Bener, Kricak, dan Karangwaru. Penelitiannya direncanakan sampai 2019.

Meski hasil penurunan kejadian demam berdarahnya belum terbukti, manfaatnya sudah mulai kelihatan. Kepala Dukuh Kronggahan 2, Desa Trihanggo, Kabupaten Sleman, Anton Sudadi, mengatakan daerahnya merupakan endemis demam berdarah pada 2012-2014. Dengan jumlah penduduk 2.010 jiwa, dalam satu bulan rata-rata bisa terjadi 5-10 kasus penularan demam berdarah.

Tapi, sejak nyamuk ber-Wolbachia disebar, baru ada satu kasus pada Juni lalu. Itu pun diduga ditularkan bukan di dusunnya, melainkan di tempat lain. "Tingkat mobilitas penduduk di sini tinggi, rata-rata pegawai kantoran atau karyawan lepas," tuturnya.

Menurut Adi, warga yang terkena demam berdarah seperti ini masuk radar timnya. Mereka kemudian memantau penularan setempat, dengan jarak 200 meter dari tempat tinggal penderita, dalam waktu dua pekan, sesuai dengan rata-rata jangkauan terbang dan umur nyamuk betina. Jika dalam jarak dan waktu itu ada warga lain yang terkena, berarti nyamuk pembawa virus denguenya ada di sana. "Tapi dari hasil penelitian tidak ada penularan setempat." 

Adi mengatakan ini pertanda baik. Tapi bukan berarti warga bisa mengandalkan nyamuk ber-Wolbachia untuk memberantas demam berdarah. Metode ini hanya sebagai penunjang. Cara utamanya, menurut Adi, tetap dengan memberantas sarang nyamuk karena ada banyak jenis nyamuk lain yang mengganggu kesehatan.

Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Nur Alfiyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus