Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam usia yang masih sangat muda, 14 tahun, Prima Rachim telah dirundung skizofrenia. Penyakit jiwa yang biasanya menyerang orang dewasa ini rupanya sudah menyusup ke tubuh remaja yang gampang marah dan kalap itu. Prima dibawa ke Klinik Jiwa Puri Nirmala, Yogyakarta, karena perilakunya semakin tak terkendali. Ia diantar ke sana dalam kondisi meledak-ledak. Ia mengamuk dan berusaha kabur dengan menjebol atap eternit. ”Sekarang dia sudah jinak,” kata Siti, seorang perawat jaga. Prima tampak terbaring lemah, dengan kedua tangan dan kaki terikat pada rangka besi tempat tidur klinik.
Bahwa remaja itu bisa ditenangkan, tak lain karena terapi kilat yang populer dengan sebutan terapi blitzkrieg. Menurut Siti, terapi blitzkrieg—meniru nama serangan kilat ala pasukan Nazi—tak perlu waktu bertahun-tahun. Dengan terapi ini, pasien cukup minum obat selama tujuh hari. Tarifnya sekitar satu juta rupiah, hasilnya 90-95 persen pasien sembuh total. Persentase penyembuhan ini dikemukakan sendiri oleh Profesor Dr. Soejono Prawirohadikusumo, psikiater yang merintis blitzkrieg di Puri Nirmala dan Rumah Sakit Lokapala, Yogyakarta. Menurut Soejono, 35 mahasiswa pasien skizofrenia yang diterapi blitzkrieg kini hidup normal dan kembali kuliah.
Kabar tentang keampuhan blitzkrieg segera menyebar. Harapan baru tersembul di tiap keluarga yang salah satu anggotanya penderita skizofrenia. Terapi baru itu pun diharapkan mampu menawarkan penyembuhan bagi sekitar dua juta penderita skizofrenia di Indonesia.
Tapi, mengapa penderitanya sampai dua juta orang? Sebagai penyakit kejiwaan, skizofrenia mengancam kesehatan mental seseorang dalam waktu yang panjang. Inilah penyakit menahun disertai dua gejala. Pertama, gejala positif seperti sering mengamuk, gelisah, suka berkhayal, gaya bicara susah dipahami, dan memiliki waham kebesaran. Yang kedua gejala negatif, yakni apatis, malas, tidak mau bekerja, dan perasaan tertekan yang digayuti keinginan bunuh diri.
Kondisi pasien skizofrenia yang kacau, menurut Inu Wicaksana, psikiater dari RS Jiwa Pusat Magelang, Jawa Tengah, disebabkan tiga faktor yang muncul bersamaan. Bila satu faktor absen, penyakitnya bukan skizofrenia, tapi depresi, yang lebih gampang diobati.
Dan Inu pun memaparkan tiga faktor pemicu skizofrenia itu. Yang pertama, ketidakseimbangan neurotransmitter—zat kimia dopamin dan serotonin yang berperan sebagai tukang pos penyampai pesan—pada jaringan saraf otak. Tukang pos yang tidak beres ini menghasilkan perilaku yang juga tidak normal. Pemicu kedua adalah perkembangan mental yang tidak sehat di masa anak-anak—misalnya orang tua sering bertengkar atau si anak kerap dianiaya. Yang terakhir adalah derasnya stressor (pencetus stres) dari lingkungan sekitar, yang bisa berupa kesulitan ekonomi, pemutusan hubungan kerja, kerusuhan, atau gonjang-ganjing keluarga. ”Ketiga faktor ini berimpit hingga mencuatkan tekanan yang tidak tertanggungkan,” tutur Inu.
Akhirnya, muncul skizofrenia yang kambuh gara-gara stressor. Pada kondisi yang parah, pemicu yang sepele pun—misalnya udara sedikit lebih panas—bisa membuat pasien kumat. Itulah sebabnya, mengapa sebagian besar pasien adalah penderita kronis dan bertahun-tahun keluar masuk rumah sakit. Dan tak kurang dari 33 persen yang tak bisa hidup normal hingga tinggal menetap di rumah sakit jiwa.
Karena peluang untuk sembuh kecil, terapi blitzkrieg semakin menarik perhatian. Ada mukjizat apa sehingga berani menawarkan kesembuhan total? Soejono mengakui, tak ada yang istimewa dalam obat, dosis, serta isolasi ala blitzkrieg. Pokoknya, tak ada yang betul-betul baru. Obatnya juga yang lazim digunakan di kalangan medis. Tapi, ”Ibarat lagu, saya mengatur aransemennya,” katanya. Hasil aransemen inilah yang efektif mengikis gejala negatif dan positif skizofrenia. Kunci utama blitzkrieg, menurut Soejono, terletak pada gempuran obat berdosis maksimal selama tujuh hari. Yang dipilih adalah obat skizofrenia generasi kedua—modifikasi terbaru dunia medis—yang menyeimbangkan neurotransmitter dan menekan gejala negatif pasien.
Selain itu, pasien harus menjalani isolasi total. Ia tidak boleh bersentuhan dengan dunia luar, termasuk keluarga. Pada hari kedelapan, pasien boleh pulang, dan setelah kontrol teratur selama 2-3 bulan, Soejono memastikan, pasien bisa sembuh seratus persen.
Namun, Psikiater Danardi Sosrosumihardjo, Ketua Ikatan Dokter Ahli Jiwa Indonesia (IDAJI) cabang DKI Jakarta, meragukan keampuhan blitzkrieg. Lagi pula, belum ada laporan yang menyebut terapi semacam ini memberi kesembuhan total. Mengapa?
Soalnya, penyebab utama stressor skizofrenia belum ditemukan. Misteri ini membuat tangan medis tak sanggup mengikis biang penyebab skizofrenia. ”Obat hanya menekan gejala permukaan dan mencegah kerusakan otak lebih lanjut,” kata Danardi. Sedangkan pada pasien skizofrenia kronis, sebagian jaringan otaknya telanjur cacat sehingga tak bisa sembuh seratus persen.
Danardi juga mempertanyakan konsep sembuh total ala blitzkrieg. Sebab, cacat saraf otak hanya memungkinkan pasien skizofrenia sembuh sosial. Pasien memang bisa kembali bekerja dan hidup di tengah masyarakat. Tetapi kestabilan emosinya diragukan, bahkan setiap saat bisa meledak dan tak tersembuhkan oleh obat apa pun. Memang, ada jenis skizofrenia yang bisa sembuh total. Tapi penyakit itu, seperti kata Danardi, adalah jenis skizofrenia semu, yang frekuensinya sangat sedikit.
Tapi, dari sisi lain, Inu menyoroti kelemahan penanganan skizofrenia. Selama ini, rumah sakit jiwa milik pemerintah—total 33 buah—cenderung mengabaikan pendekatan manusiawi. Pasien hanya dicekoki obat-obatan dan terapi kejang listrik. Wawancara, diskusi kelompok, dan eksplorasi kondisi batin pasien nyaris tak dilakukan. ”Pendekatan psikologis diyakini tak berguna bagi pasien skizofrenia,” kata Inu, menyesali.
Sejauh yang diketahui Inu, periset Malaysia dan Amerika Serikat telah membuktikan bahwa pendekatan psikologis cukup efektif. Pasien yang diberi cognitive-behavior therapy ternyata menunjukkan kemajuan kualitas hidup yang berarti. Karena itu, Inu menyarankan reformasi penanganan skizofrenia di Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan lebih responsif. Bila ada anggota keluarga yang sering melamun, meracau, mendengar bisikan aneh, atau merasa terancam, ajaklah ia untuk segera ke psikiater. ”Supaya kerusakan otak bisa dicegah sedini mungkin,” kata Inu.
Yang banyak terjadi adalah ketidaksiapan masyarakat, terutama karena masih banyak yang berobat ke dukun atau paranormal. Setelah jampi-jampi dan pemasungan tak kunjung berhasil, barulah pasien dibawa ke dokter atau psikiater. Hanya bila terlambat, blitzkrieg sedahsyat apa pun tak akan lagi bermanfaat.
Mardiyah Chamim, Dwi Wiyana (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo