Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Modern Vs Patrimonial

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denny J.A. *)
*) Direktur Eksekutif Yayasan Universitas dan Akademi Jayabaya serta Direktur Pusat Studi Demokrasi

DI Athens, Ohio, Amerika Serikat, pada minggu ketiga Oktober 2000, belasan mahasiswa Indonesia yang belajar di Negara Paman Sam itu berkumpul. Topik yang dibahas adalah masalah politik Indonesia mutakhir. Salah satu isu yang dikembangkan dalam pertemuan itu adalah perlunya rekomendasi agar Abdurrahman Wahid mengundurkan diri sebagai presiden supaya reformasi dapat terus berlangsung.

Rupanya, tuntutan mundurnya Gus Dur kini disuarakan oleh segmen masyarakat yang semakin beragam. Pada mulanya, keinginan itu dikumandangkan oleh orang partai, lalu pemimpin formal di parlemen, kemudian para pengamat politik dan ekonomi. Namun, sampai saat itu, tuntutan tersebut dianggap memiliki kepentingan politik golongan yang kuat, mengingat para pelopornya adalah orang yang terkait dengan politik praktis.

Tapi, ketika permintaan untuk mundur itu disuarakan juga oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, kualitas tuntutan tersebut menjadi berbeda. Para mahasiswa di luar negeri ini adalah mereka yang paling kurang terlibat dalam politik praktis. Mereka masih dikuasai oleh idealisme dan kemurnian ilmu yang dipelajari dari aneka buku kuliah. Jika mereka, yang dulunya kebanyakan pengagum Gus Dur, kini meminta ia mundur, tentu ada masalah yang sangat serius dengan kepemimpinannya selama setahun Gus Dur menjadi presiden.

Apa kesalahan Gus Dur? Melihat kesalahan politik Gus Dur paling tepat adalah dengan menggunakan kerangka yang digunakan Max Weber. Max Weber membuat pemisahan secara tegas antara birokrasi modern dan corak organisasi patrimonial. Dengan memakai kerangka ini, kesalahan Gus Dur dapat disederhanakan. Gus Dur diharapkan bisa memimpin sebuah birokrasi modern dan terus memodernkan birokrasi agar sampai pada pemerintahan demokratis yang bersih. Namun, yang dikembangkan Gus Dur justru sistem pemerintahan yang patrimonial. Tak aneh jika ia kemudian mengecewakan banyak pihak dan membuat masa depan reformasi menjadi suram.

Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern. Unsur pertama adalah klientisme. Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order (hukum). Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada pribadi penguasa. Dalam birokrasi modern, ada pembagian wewenang yang dihormati, seperti yang digariskan dalam trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Tapi, dalam klientisme, penguasa menerabas batas itu sesukanya, mencampuri atau mengintervensi wewenang legislatif ataupun yudikatif.

Dalam birokrasi modern, hubungan antara penguasa dan lingkungannya bersifat legal, rasional, serta terbuka. Namun, dalam klientisme, hubungan yang dominan bersifat patron-klien. Loyalitas terhadap penguasa diikat oleh karisma individual ataupun reward material (ekonomi) yang didistribusikan secara tertutup. Tak jarang, dalam pemerintah yang patrimonial, ada sejumlah pengusaha yang "dipelihara" oleh penguasa. Pengusaha ini diberi perlindungan politik dari aneka tuntutan hukum, serta mendapatkan fasilitas tambahan. Sebagai imbalannya, mereka menyetor dana yang besar bagi kas politik penguasa untuk menjalankan politik patrimonialnya.

Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik. Dalam birokrasi modern, wilayah publik dan pribadi sangat terpisah. Segala urusan sang pemimpin, di luar urusan rumah tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di wilayah publik, urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan pertanggungjawabannya mesti transparan. Sedangkan dalam pemerintah patrimonial, batas wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang dari luar negeri, misalnya, yang seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke wilayah pribadi, tanpa keterbukaan dan tanpa pertanggungjawaban. Kekaburan inilah yang menjadi sumber maraknya korupsi di semua pemerintahan yang bergaya patrimonial.

Unsur ketiga adalah kultur nonrasional. Birokrasi modern berkembang dalam kultur yang rasional, yang sumber informasi dan validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang nyata. Sedangkan corak pemerintahan patrimonial mengembangkan kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. Dalam birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa yang menang pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali. Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan, informasi yang menjadi landasan kebijakan publiknya sebagian dianggap turun dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di dunia nyata.

Reformasi dan transisi ke demokrasi adalah gerakan yang memutuskan corak pemerintahan patrimonial dan menuju birokrasi modern. Tak ada satu pun pemerintahan modern yang ekonominya maju, ilmu pengetahuannya tinggi, dan pemerintahannya bersih, serta jaminan hak asasinya baik, yang bercorak patrimonial. Sangatlah aneh jika Gus Dur, yang diharap memutuskan corak patrimonial itu, justru mengembangkan pemerintahan patrimonial.

Berdasarkan kerangka Max Weber itu, pilihan Gus Dur kini tak banyak. Ia harus mengubah gaya pemerintahannya. Atau ia harus melepaskan kursi presiden, agar reformasi dipimpin oleh orang yang anti terhadap corak politik patrimonial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum