Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendidikan adalah dunia lama bagi Indra Djati Sidi. Insinyur sipil alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini pernah bertahun-tahun mengajar di almamaternya sebelum menjadi Ketua Litbang ITB (1988-1989) dan Pembantu Rektor III (1989-1997). Pada 1998, ia dilantik menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) menggantikan Achmady.
Dari Achmady, Indra Djati mewarisi Proyek Buku Bank Dunia, yang telah dimulai sejak 1995. Indra Djati datang ketika proyek itu memasuki tahap terakhir atau tahap IV (1999-2000). Meski hanya kebagian ekor, dia mewarisi pula tradisi kolusi-nepotisme yang telah subur sejak masa Achmady—kolusi yang memungkinkan lolosnya buku-buku tak bermutu. Dia pun dituding berkroni dengan sejumlah penerbit besar asal Minang dan ITB dalam proyek itu, serta ikut menikmati upeti para penerbit.
Indra Djati menolak tudingan. ”Tidak satu sen pun uang itu dikorupsi. Malah, kami bisa menghemat Rp 150 miliar untuk negara lewat Bappenas,” ujarnya.
Namun, sumber TEMPO di Bagian Agama dan Pendidikan Bappenas meragukan kemungkinan uang yang disebut Indra Djati itu telah dikembalikan ke Bappenas. Sisa hasil proyek biasanya dikembalikan setelah ada laporan dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) ke Bappenas, sementara proyek itu sendiri belum tuntas.
Proyek itu memang belum tuntas karena Bank Dunia memutuskan menunda penyebaran buku-buku yang dihasilkan dalam tahap IV (yang semestinya selesai Oktober tahun ini). Bank Dunia juga meminta penilaian ulang terhadap pemenang tender. Alasannya, jumlah penerbit yang dipilih terlalu sedikit. Dan alasan kedua, mengapa penerbit itu yang dipilih.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan reporter TEMPO Rommy Fibri dua pekan lalu, Indra tetap berkeras dengan pendapatnya. Reporter TEMPO yang lain, IG.G. Maha Adi, mewawancarai pejabat Bank Dunia di Jakarta untuk melengkapinya. Berikut petikan wawancaranya.
Tenggat Proyek Buku Bank Dunia Tahap IV adalah 1 Oktober 2000. Mengapa belum ada eksekusi?
Ada berbagai masalah dan perlu ada klarifikasi karena diperkirakan ada yang tidak benar dalam proyek ini, sehingga tak bisa dieksekusi pada waktunya. Proyek ini diperpanjang. Hal ini sudah diketahui Departemen Keuangan RI dan Bank Dunia.
Apa yang Anda lakukan untuk klarifikasi?
Kita melakukan pemeriksaan intern. Kita undang Bank Dunia untuk memeriksa segala sesuatunya. Nah, yang salah adalah penetapan. Misalnya, dari 70 buku yang diterbitkan, kok cuma tujuh penerbit yang lolos. Semuanya diperiksa ulang, dari sistem skor, penilaian, justifikasi, sampai contohnya. Akhirnya ditemukan tidak ada masalah di situ, dan sangat fair. Bank Dunia mengakui bahwa apa yang kita lakukan sangat inovatif .
(Country Sector Coordinator for Human Development, Samuel L. Lieberman, dan Senior Procurement Specialist, Chitta Bhattacharya, dari Bank Dunia Jakarta, menyebutkan bahwa penilaian ulang terhadap buku-buku yang menang Proyek Tahap IV belum selesai. Sehingga, ”Kami belum bisa memberikan penilaian,” kata Lieberman.)
Jika tidak ada masalah, mengapa Bank Dunia meminta penilaian ulang?
Bukan penilaian ulang, melainkan tender ulang ketujuh buku yang lulus. Memang, muncul tuduhan mark-up dan titip-menitip penerbit segala macam. Itu sudah diperiksa semua dan tidak ditemukan apa-apa. Kalau pimpro kita ngawur, siapa pun dalam proyek ini akan ngawur dan kita akan mengambil tindakan.
Boleh kami mendapatkan salinan buku-buku yang menang tender tapi belum jadi diedarkan itu?
Wah, buku-buku itu ada pada pimpinan proyek, entah bisa diperoleh atau tidak. Kan, ada aturannya.
(Pimpinan Proyek Buku Bank Dunia 1998-2000, Hartoyo Wibowo, menolak permintaan. Namun, Tim Investigasi TEMPO akhirnya berhasil memperoleh salinan buku-buku yang lulus tender tahap IV itu. Tim ahli yang diundang TEMPO masih menemukan sejumlah kesalahan elementer seperti pada buku terbitan tahap-tahap sebelumnya.)
Kok, Anda tidak menindak para penerbit atau tim penilai yang meloloskan buku-buku dengan sejumlah kesalahan itu?
Kalau banyak salah, ya, enggak. Proyek ini kan belum dijalankan, sedang diproses. Jadi, kita belum tahu banyak salahnya atau tidak. Sebelum naik cetak, buku ini mesti dilampiri kekurangan-kekurangannya, sehingga ketika dicetak, buku-buku itu sudah direvisi sesuai dengan evaluasinya. Itu kita lakukan untuk mengurangi kesalahan. Kadang-kadang memang ada kesalahan, tapi kita berusaha menemukan mekanisme untuk memperbaikinya.
Saya kan baru datang di tahun keempat. Tender yang kita lakukan berlangsung sangat kompetitif sejak awal hingga tahap ini.
Jika sistemnya kompetitif, mengapa selalu ada kesalahan elementer dalam buku-buku yang dihasilkan setiap tahapan proyek?
Tim penyempurnaannya kan baru kali ini bekerja. Kita akan duduk bersama Bank Dunia untuk melihat kesalahan-kesalahan itu.
Bank Dunia pernah mempertanyakan kredibilitas penerbit-penerbit yang Anda loloskan. Mengapa?
Saya kira, Bank Dunia tidak pernah meragukan kualifikasi penerbit. Dokumen penawaran Bank Dunia kan jelas. Dokumen itulah yang kemudian kita berikan kepada para penerbit untuk verifikasi.
Masalah kemudian muncul karena ada sejumlah tudingan dari luar. Lo, bukankah kalau Bank Dunia menyatakan oke, itu artinya sudah memenuhi persyaratan standar?
(Bank Dunia: ”Kami menyetujui seluruh prosesnya hingga hari ini berdasarkan informasi yang mereka sampaikan—sekali lagi berdasarkan informasi yang disampaikan Depdiknas. Jika Menteri Pendidikan mengatakan bahwa evaluasi sudah berjalan, tendernya fair, kami hanya mengeluarkan pinjamannya.)
Bukankah Brigitte Duces, Staf Senior Bidang Pendidikan Sektor Asia Tenggara dan Pasifik Bank Dunia, pernah mempertanyakan kredibilitas sejumlah penerbit tambahan yang Anda sodorkan dengan garansi pribadi?
Bank Dunia bukan institusi yang memutuskan sesuatu berdasarkan garansi pribadi. Mereka melakukannya berdasarkan data. Dan saya pun tidak bisa mengatakan kalau tidak melihat data mereka. Jadi, semua ini sudah berdasarkan data. Proses yang dilakukan selama ini berdasarkan dokumen yang sudah disetujui Bank Dunia.
(Tim Investigasi TEMPO menyimpan surat Duces kepada Indra Djati bertanggal 23 Desember 1998. Surat itu mengisyaratkan telah terjadi dialog antara Indra dan Duces lima hari sebelumnya. Duces menyebutkan ada penerbit yang tidak memenuhi syarat Bank Dunia—yakni berpengalaman di bidang penerbitan buku-buku pendidikan selama empat tahun—tapi menang tender. Sementara itu, Indra menjamin kemampuan para penerbit itu.)
Penerbit Grafindo, Karya Kita, Multi Trust, dan Pribumi Mekar hanya dimiliki satu orang dan selalu menang tender. Apakah ini ada hubungannya dengan tuduhan kroni terhadap Anda?
Dulu memang biasa orang mengatur-atur dan membagi-bagi proyek. Dengan konsep saya sekarang, itu tidak bisa terjadi lagi. Pada waktu tender, secara spesial saya datang ke depan mereka, semua penerbit. Saya katakan, tender yang sekarang tidak bisa diatur, begitu pula seluruh proses penilaian. Jadi, ini tender yang betul-betul kompetitif.
Jadi, Anda tidak menjalin jaringan kroni dan berkolusi dengan penerbit asal Padang, penerbit alumni ITB dan berdomisili di Bandung itu?
Saya kira setiap orang bisa menginterpretasikan tuduhan itu sendiri. Saya enggak kenal mereka. Latar belakang saya adalah bidang sipil, bukan penerbitan.
Betulkah dalam sebuah pertemuan di Jakarta, pada Juni-September 2000, Anda menawarkan untuk membagi-bagi proyek dengan para penerbit yang kalah tender agar tidak usah ada ribut-ribut?
Pertemuan itu dimaksudkan supaya ada penawaran dokumen yang resmi, terbuka, dan transparan. Tidak ada rembukan apa pun dan di mana pun seperti yang Anda katakan itu. Saya tekankan lagi, seluruh penilaian terhadap buku-buku yang ikut tender ini berlangsung transparan.
(Reporter TEMPO ditolak masuk ke ruangan pertemuan di Ikapi Jakarta, awal September itu, ketika Indra Djati bertemu dengan 24 penerbit. Beberapa penerbit membisikkan isi pertemuan itu: antara lain membahas tawaran bagi-bagi itu.)
Penelusuran kami sampai pada informasi ini: Anda sudah menyiapkan draf dan merestui penerbit-penerbit mana yang akan menang. Jadi, sebagian penilaian itu cuma basa-basi belaka. Bisa begitu?
No, no, no! Dokumen-dokumen yang kita nilai itu telah dicocokkan dengan daftar kriteria penilaian yang rinci. Kalau mau lebih jelas, silakan tanya pada tim penilai seperti Marsetyo, Haryadi Supangkat (mantan rektor ITB), Mahmud Zaki, dan para senior lainnya. Saya ini murid Pak Haryadi Supangkat. Enggak mungkin saya mengajak kongkalikong dengan mereka.
(Syambari Munaf, dosen Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan salah satu anggota Tim Penilai Fisika, kepada TEMPO mengaku heran. Pasalnya, sejumlah perbaikan yang dia sarankan ke Depdiknas tidak ditindaklanjuti. Permintaan untuk melihat sejauh mana perbaikan itu dilakukan juga ditolak pihak Depdiknas dengan alasan: itu ada di dalam komputer.)
Apa komentar Anda tentang tuduhan kolusi dan korupsi?
Ini hanya soal bisnis. Dalam hal tender, ada yang kalah dan menang. Dan dalam situasi ekonomi seperti sekarang, kalau yang kalah lantas tidak senang, itu sih biasa-biasa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo